Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KURANG dari dua bulan sebelum pemilihan presiden dan pemilihan umum, Nahdlatul Ulama menggelar musyawarah nasional alim ulama dan konferensi besar sejak Rabu hingga Jumat pekan lalu. Perhelatan yang berlangsung di Pondok Pesantren Mifahul Huda Al-Azhar Citangkolo, Kota Banjar, Jawa Barat, itu dihadiri belasan ribu orang, termasuk Presiden Joko Widodo dan sejumlah menterinya pada saat pembukaan.
Sejumlah pengamat politik menyamakan Musyawarah Nasional NU—dipandang sebagai organisasi massa pendukung Joko Widodo-KH Ma’ruf Amin—dengan Malam Munajat 212 di lapangan Monumen Nasional, Jakarta Pusat, sepekan sebelumnya. Doa bersama yang diprakarsai antara lain oleh Majelis Ulama Indonesia DKI Jakarta itu menuai kontroversi setelah Wakil Ketua Badan Pemenangan Nasional Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Neno Warisman, melantunkan puisi yang berisi kekhawatiran tak ada lagi yang menyembah Tuhan kalau Tuhan tidak memenangkan calon presiden pilihannya.
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Kiai Haji Said Aqil Siroj membantah tudingan bahwa Munas NU berisi agenda politik. Dia mengatakan, sejak 2010, muktamar sebagai forum tertinggi NU mewajibkan pengurus menggelar dua musyawarah nasional dalam satu periode kepengurusan. Said memimpin NU selama dua periode, yaitu 2010-2015 dan 2015-2020. “Munas pertama pada 2017 di Lombok. Mau tidak mau, munas kedua harus tahun ini,” kata Said dalam wawancara khusus dengan Tempo, Kamis pekan lalu.
Said, 65 tahun, mengatakan pergelaran rutin itu beragendakan serangkaian diskusi tentang berbagai isu, dari sampah plastik, revolusi industri 4.0, Rancangan Undang-Undang Pesantren dan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, hingga konsep Islam Nusantara. Diskusi itu berlangsung dalam forum Bahtsul Masail—musyawarah panjang yang merujuk pada kitab kuning seperti yang biasa berlangsung di pesantren—dan terbagi dalam komisi Waqi’iyyah (persoalan aktual), Maudhuiyyah (persoalan tematik), serta Qanuniyyah (persoalan perundang-undangan). Rekomendasi alim ulama diserahkan kepada Wakil Presiden Jusuf Kalla, yang menutup musyawarah nasional tersebut.
Meski menolak disebut berpolitik praktis, Said mengatakan organisasi dengan pengikut lebih dari 60 juta itu memiliki bobot politis karena massanya yang besar. “Jadi rebutan berbagai kepentingan untuk memenangkan kelompok satu atau yang lain,” ujar profesor ilmu tasawuf ini.
Di tengah padatnya jadwal musyawarah nasional, Said menerima wartawan Tempo Mohammad Reza Maulana dan Raymundus Rikang di Kota Banjar. Ia berbicara panjang-lebar tentang majunya KH Ma’ruf Amin—mantan Rais Am (dewan penasihat) PBNU—sebagai calon wakil presiden, hubungannya dengan Presiden Jokowi, serta sikap politik organisasi kemasyarakatan Islam terbesar di dunia tersebut. Said enggan berkomentar tentang Ustad Abdul Somad, dai kondang yang dianggap berseberangan dengan pemerintah, yang baru-baru ini berkunjung ke sejumlah kiai sepuh NU. “Penting banget apa? Somad aja kok ditanyakan.”
Banyak pihak menghubungkan Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama dengan pemilihan presiden. Tanggapan Anda?
Tidak ada kaitannya. Penjadwalannya memang begini. Munas pertama kepengurusan 2015-2020 berlangsung pada 2017 di Lombok. Harus segera munas sekali lagi sebelum Muktamar 2020. Mau tidak mau, ya, sekarang. Sama sekali tidak berhubungan dengan politik praktis. Adapun NU punya bobot politis, diperhitungkan siapa pun dari sisi politik, iya. Sebab, NU massanya besar, jadi rebutan berbagai kepentingan untuk memenangkan kelompok satu atau yang lain. Karena itu, saya wanti-wanti tidak ada spanduk dan umbul-umbul yang bergambarkan Jokowi-Ma’ruf.
Di sepanjang jalan dari Kota Banjar ke Pesantren Citangkolo, banyak sekali spanduk Jokowi-Ma’ruf....
Itu sudah ada sebelum munas. Panitia munas cuma pasang bendera NU. Saya wanti-wanti tidak ada yel-yel politik. Memang salah seorang calon wakil presiden kita, Kiai Ma’ruf Amin, adalah tokoh senior NU, bahkan mantan rais am. Masyarakat NU terpanggil memenangkan orang tuanya, tanpa didorong-dorong. Kader militan NU, terutama santri, sudah pasti mendukung Jokowi-Ma’ruf.
Apakah tema munas, memperkuat ukhuwah wathaniyah (persaudaraan sebangsa), berkorelasi dengan pemilihan presiden?
Pilpres harus kita songsong dengan gembira. Ini pesta demokrasi. Seperti lomba olahraga atau baca Al-Quran. Semua ingin menang, tapi seharusnya hubungan peserta dan pendukungnya berjalan seperti biasa. Yang saya rasakan, sengaja atau tidak sengaja, tapi saya yakin sengaja, pendukung Prabowo dan pendukung Jokowi jadi bermusuhan. Ada kelanjutan dari pemilihan Gubernur DKI Jakarta. Isunya Jokowi antek Cina; anti-Islam; mengkriminalisasi agama dan umat Islam; sekarang membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia, di masa datang bisa membubarkan NU dan Muhammadiyah; sekarang Habib Rizieq dikriminalkan, siapa tahu yang akan dikriminalkan di masa datang?
Said Aqil?
Hi-hi-hi.... Ini serius. Ini lebih panas daripada 2014. Saya berpikir, pasca-pilpres, permusuhan ini juga masih bisa terjadi. Mudah-mudahan tidak. Makanya kami ingatkan dengan tema memperkuat ukhuwah wathaniyah. Mari kita jaga persatuan, sebelum, ketika, dan sesudah pilpres.
Lebih utama ukhuwah islamiyah (persaudaraan sesama muslim) atau ukhuwah wathaniyah?
Dalam situasi sekarang, ukhuwah wathaniyah, karena isu agama sudah menjadi isu politik. Lihat saja Neno Warisman sambil menangis bilang enggak bisa beribadah kalau mereka kalah. Itu isu agama. Maka, dalam hal ini, sangat penting ukhuwah wathaniyah.
NU dinilai bermain politik di pemilihan presiden ini. Anda setuju?
Bukan NU. Cuma Kiai Ma’ruf pribadi. Saya, misalnya, tidak masuk tim sukses beliau.
Namun ada pernyataan dukungan NU terhadap Jokowi-Ma’ruf....
Tidak pernah ada pernyataan seperti itu. Secara institusional, NU tidak mendukung Jokowi-Ma’ruf. Tapi NU punya bobot politis. Kami terpanggil untuk mendukung Kiai Ma’ruf karena beliau tokoh NU.
Sikap seperti itu bukan bentuk dukungan?
Bukan. Ini sikap realistis yang sifatnya serta-merta. Kiai Ma’ruf adalah rais am (mengundurkan diri setelah ditetapkan sebagai calon wakil presiden). Beliau sejak muda aktivis NU. Kami terpanggil, dong. Kenapa dukung yang lain?
Jika Jokowi tidak memilih Ma’ruf sebagai calon wakil presiden, sikap NU berbeda?
Ya. Tidak akan ada keterpanggilan seperti ini. Berbeda dengan pemilihan presiden 2004. Waktu itu, NU tidak solid karena kami punya dua tokoh yang ikut kontestasi, yaitu KH Hasyim Muzadi, yang mendampingi Megawati, dan Salahuddin Wahid, yang mendampingi Wiranto. Sekarang, insya Allah solid.
Anda disebut berperan mempengaruhi Jokowi untuk menunjuk Ma’ruf Amin sebagai calon wakil presiden. Benarkah?
Saya masih ingat, waktu itu Rabu (8 Agustus 2018), sehari sebelum pengumuman cawapres Jokowi. Saya, Muhaimin Iskandar (Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa), dan Kiai Ma’ruf, satu per satu, diundang Pak Jokowi ke Istana. Saya jam 13, Muhaimin jam 14.30, dan Kiai Ma’ruf jam 17. Pak Jokowi bertanya, “Menurut sampean, siapa yang kira-kira paling pas mendampingi saya?” Saya jawab, “Muhaimin.”
Bukan Ma’ruf Amin?
Bukan. Muhaimin. Alasannya, dia cicit Mbah Bisri Syansuri, salah satu pendiri NU, pengalaman politiknya banyak, dan didukung kiai-kiai Jawa Timur. Saya hanya menyampaikan pendapat. Selanjutnya, kami mengobrol hal lain. Bakda magrib, kami bertiga bertemu di kantor PBNU (Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat). Kami saling bertanya, “Tadi ngomong apa dengan Presiden?” Semua cuma ditanya pendapat, tapi tidak dikasih tahu keputusan Presiden.
Ada kabar NU akan menarik dukungan jika Jokowi tidak memilih kadernya....
Seandainya Pak Jokowi menentukan, misalnya, Pak Mahfud Md., kami enggak akan demo atau apa gitu. Itu hak Presiden. Artinya, pemilihan Kiai Ma’ruf murni keputusan Pak Jokowi.
Pemilihan Kiai Ma’ruf memicu penolakan sebagian tokoh NU, seperti Salahuddin Wahid.
Tiap-tiap orang punya sikap politik. Politik itu bersifat ijtihadiyah (upaya memutuskan perkara yang tidak diatur Al-Quran) untuk urusan duniawi. Beda dengan urusan agama, yang punya garis yang jelas dari Al-Quran dan hadis. Kalau ijtihad politik, silakan tiap orang punya pilihan dengan argumentasi dan pertimbangan subyektif.
Sebagian cucu pendiri NU terang-terangan mendukung Prabowo. Ini menunjukkan perpecahan di NU?
Silakan saja. Kalau ijtihad diniyah, misalnya, ada kiai yang melenceng soal agama, baru bisa kita protes.
Mereka menjanjikan 60 persen suara Jawa Timur untuk Prabowo....
Monggo. Wong, cuma ngomong. Kita juga bisa bilang insya Allah Jokowi mendapat 70 persen suara, ha-ha-ha....
Dalam wawancara dengan Tempo pada November 2016, Anda mengatakan Jokowi berjarak dengan ulama. Sekarang bagaimana?
Tidak. Ketika itu, sebelum pemilihan Gubernur DKI Jakarta, sebelum demo 2 Desember 2016, Pak Jokowi memang masih kurang sowan ke ulama.
Perubahan sikap itu terjadi sejak kapan?
Sebenarnya, dari awal, Pak Jokowi merupakan pemeluk Islam yang baik. Namun, karena baru menang pilpres, dipilih langsung oleh rakyat, kayaknya belum membutuhkan dukungan ulama. Tapi, setelah menyadari tantangannya berat, harus menggandeng ulama. Ulama termasuk stakeholder bangsa ini.
Seberapa dekat Anda dengan Jokowi?
Tidak dekat secara pribadi. Cuma, kalau beliau undang, saya datang.
Jokowi sering dipersepsikan anti-Islam. Bagaimana NU menangkal isu tersebut?
Satu, yang paling berharga, Hari Santri. Baru kali ini Presiden Indonesia mengakui peran santri dalam perjuangan kemerdekaan. Tanggal 22 Oktober, fatwa KH Hasyim Asy’ari, membela tanah air hukumnya fardhu ‘ain, wajib bagi setiap muslim. Tanpa fatwa Hasyim Asy’ari, belum tentu masyarakat Surabaya dan sekitarnya bergerak melawan penjajah mati-matian dan melahirkan Hari Pahlawan. Oleh Jokowi, pada 2015, tanggal 22 Oktober dijadikan hari nasional.
Selain Hari Santri?
Salah satu anggota Dewan Pertimbangan Presiden adalah Yahya Cholil Staquf, Khatib Am PBNU. Lalu salah satu anggota staf khusus Presiden adalah Abdul Ghofar Rozin, putra Kiai Sahal (KH Ahmad Sahal Mahfudh, Ketua Majelis Ulama Indonesia 2000-2014). Di bawah Pak Moeldoko, di Kantor Staf Presiden, ada Juri Ardiantoro, Ketua Komisi Pemilihan Umum 2016-2017, yang juga Ketua NU. Pak Jokowi haji, bapaknya haji. Ibunda Jokowi, Sujiatmi Notomihardjo, aktivis majelis taklim Muslimat NU di Solo. Kurang Islam apa? Saya bukannya memuji-muji.
Jokowi juga diisukan keturunan PKI....
Itulah, ya Allah. Jangan sampai karena politik kita jadi seperti Afganistan, Irak, Suriah, dan Yaman. Ada pihak yang ingin men-Suriah-kan Indonesia. Itu yang disampaikan Syekh Taufiq Ramadhan al-Buthi (ketua persatuan ulama Suriah yang hadir dalam Munas NU di Kota Banjar). Dimulai dengan pengibaran bendera itulah Suriah hancur.
Maksud Anda, bendera berlafaz tauhid?
Ya. Alasannya itu bendera Rasulullah. Rasulullah enggak punya bendera, tidak pernah mengibarkan bendera di masjid, misalnya. Kalau perang, bendera atau panji-panji itu sebagai tanda. Pernah berwarna putih, merah, hitam, kuning, abu-abu. Menulis kalimat tauhid di sembarang tempat hukumnya makruh. Kalau ditulis di kopiah saya, lailahaillallah muhammadarrasulullah, makruh. Lalu, kalau kopiah saya jatuh di WC, jadi haram. Ini salah satu fatwa Syekh Utsaimin, ulama Wahabi dari Arab Saudi. Dia mengatakan, kalimat tauhid di uang satu riyal, makruh. Kalau uang itu sampai keinjek, haram jadinya. Jadi semua klaim tentang bendera itu enggak benar.
Ada yang meyakini tulisan kalimat tauhid memperkuat iman....
Ada hadis menyebutkan perbaruilah atau segarkanlah imanmu setiap saat dengan ucapan lailahaillallah muhammadarrasulullah. Dengan ucapan, bukan dengan tulisan, bukan dengan bendera.
Pernahkah Jokowi meminta NU merangkul ulama-ulama yang memiliki persepsi miring terhadap pemerintah?
Sebagai Ketua NU, diminta atau tidak, saya tetap mengawal konstitusi ini. Saya kawal presiden yang sah. Sebab, kita punya preseden buruk yang sangat menyakitkan, yaitu dilengserkannya Gus Dur (Abdurrahman Wahid, Presiden Indonesia keempat) tanpa pelanggaran yang jelas.
Gus Dur sempat dikaitkan dengan raibnya kas Bulog dan bantuan Sultan Brunei.
Semua manusia punya kesalahan, tapi bukan pelanggaran, misalnya melanggar undang-undang dasar. Tapi Gus Dur tetap dilengserkan, meski perannya di kedua kasus itu tidak terbukti. Itu pengalaman berat. Maka saya punya komitmen, siapa pun presidennya, selama tidak ada pelanggaran yang sifatnya konstitusional, NU akan menjaga presiden.
Kunjungan sejumlah dai yang dianggap berseberangan dengan pemerintah, seperti Ustad Abdul Somad, menunjukkan perubahan sikap politik ulama?
Saya enggak tahu apa tujuannya. Orang bertamu, kenapa antum pertanyakan? Biasa itu. Ustad Somad mau bertamu ke Mbah Moen (KH Maimoen Zubair), ke Habib Luthfi (Muhammad Luthfi bin Yahya), kenapa harus dipertanyakan. Penting banget apa?
“Sebagai Ketua NU, diminta atau tidak, saya tetap mengawal konstitusi ini. Saya kawal presiden yang sah.”
Karena Ustad Somad punya banyak pengikut....
Halah. Menurut saya, enggak penting. Enggak perlu dipertanyakan, enggak perlu dikomentari. Kalau yang bertamu adalah duta besar, Grand Syekh Al-Azhar Muhammad Ahmad al-Thayyeb, Imam Masjid al-Haram Syekh Sholeh bin Abdullah bin Humaid, itu baru boleh ditanyakan. Lah, Somad aja kok ditanyakan.
Apa hal menarik dari kunjungan itu?
Menurut saya, tidak menarik. Mubalig belum tentu punya ilmu. Mubalig adalah orang yang bisa ngomong dan punya retorika yang manis. Orang yang ilmunya mapan, siap menjaga agama, dan menjawab urusan agama, itu namanya ulama. Seperti Kiai Maimoen Zubair; Kiai Nawawi Abdul Jalil di Sidogiri, Pasuruan; Gus Mus (Mustofa Bisri); dan Kiai Ma’ruf. Mereka ulama yang disegani.
Benarkah latar belakang Ustad Somad dari NU?
Enggak tahu. Saya tidak kenal. Mau masuk NU, silakan. Tidak juga tidak apa-apa.
Universitas Gadjah Mada merekomendasikan NU dan Muhammadiyah sebagai calon peraih Nobel Perdamaian karena mendorong perdamaian dalam dan luar negeri. Sampai mana prosesnya?
Sedang diperjuangkan Pak Todung Mulya Lubis sebagai Duta Besar untuk Norwegia dan Islandia. Universitas Gadjah Mada meng-endorse melalui seminar-seminar. Saya baru tahu belakangan, setelah disuarakan oleh Universitas Gadjah Mada dan Todung Mulya Lubis.
Nyatanya, sejumlah insiden yang terkait dengan agama masih terjadi, seperti pembubaran ritual larung laut dan pemotongan nisan salib di Yogyakarta.
Saya memahami betul budaya orang Indonesia. Tidak mungkin seradikal itu, kecuali kalau ada yang mem-backup. Maksudnya backup, ada uang, ada power.
Ada gambaran siapa beking itu?
Saya tahu, tapi enggak boleh kasih tahu.
NU kerap bersuara lantang membela Negara Kesatuan RI. Bagaimana dengan ancaman separatisme di Papua?
Selalu kami berikan pandangan. NU mendukung pengiriman tentara ke Papua, tapi dengan pendekatan kemanusiaan, tidak langsung dibedil. Gus Dur jadi presiden cuma 23 bulan, banyak bepergian ke luar negeri, sampai DPR menuding pelesiran dan menghabiskan uang negara. Saya pernah diajak ke Kuwait dan Arab Saudi. Ketika ke negara Islam, beliau ngomong ringkasnya begini, “Itu Aceh mau merdeka, jangan dibantu, ya.” Ke Australia bilang, “Itu Papua mau merdeka, jangan dibantu, ya.” Kepentingannya hanya itu. Artinya, Gus Dur punya peran besar mempersatukan kembali NKRI yang waktu itu hampir terpecah. Tuntutan memisahkan diri muncul di mana-mana. Bahkan, waktu itu, Riau juga mau merdeka.
Bagaimana NU sebagai organisasi massa Islam terbesar memandang fenomena gerakan 212 yang membesar?
Al-Quran mengatakan segala gerakan yang tidak didukung hati yang ikhlas, yang betul-betul tulus, akan seperti buih. Muncul sebentar, lalu hilang. Tapi gerakan yang muncul dari hati yang ikhlas, seperti NU dan Muhammadiyah, enggak pernah hilang. Naik-turun iya. Kayak apa dulu NU dizalimi Orde Baru. Alhamdulillah, tidak pernah hilang. Waktu Gus Dur meninggal, pada 2009, orang khawatir siapa yang bisa menggantikannya. Ternyata ada. Saya yakin NU tidak akan bubar.
Menurut Anda, gerakan 212 didorong keikhlasan atau faktor politis?
Semua orang bisa menilailah.
Said Aqil Siroj
Tempat dan tanggal lahir: Cirebon, Jawa Barat, 3 Juli 1953
Pendidikan: S-1 King Abdulaziz University, Jeddah, Arab Saudi, Jurusan Ushuluddin dan Dakwah (1982); S-2 Umm al-Qura University, Mekah, Arab Saudi, Jurusan Perbandingan Agama (1987); S-3 Umm al-Qura University, Jurusan Akidah/Filsafat Islam (1994)
Karier: Dosen Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta (1995-sekarang); Wakil Direktur Universitas Islam Malang (1997-1999)
Organisasi: Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (2010-sekarang) ; Rais Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (1999-2004); Wakil Ketua Tim Gabungan Pencari Fakta Kerusuhan Mei 1998 (1998)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo