Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Vale Indonesia mencatatkan kenaikan angka produksi nikel.
Industri baterai kendaraan listrik bakal mendominasi penggunaan nikel.
Produksi nikel Indonesia memicu surplus dunia.
ADA kabar baik dari industri nikel nasional. Beberapa hari sebelum Idul Fitri 2023, PT Vale Indonesia Tbk (INCO) mengumumkan kenaikan angka produksi yang cukup signifikan. Sepanjang kuartal pertama tahun ini, perusahaan yang menguasai 118 ribu hektare tambang nikel di Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Tenggara itu memproduksi nikel dalam matte (nickel matte) sebanyak 16.769 ton. Dibanding pada kuartal pertama tahun lalu, angka produksi nickel matte Vale Indonesia melesat hingga 21 persen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Direktur Utama Vale Indonesia Febriany Eddy, kenaikan besar terjadi karena tungku pembakaran atau furnace keempat perseroan di smelter Sorowako, Sulawesi Selatan, sudah beroperasi penuh sejak tahun lalu. Fasilitas pengolahan dan pemurnian bijih nikel ini sebelumnya vakum beberapa bulan selama penggantian. “Perseroan terus menjaga keandalan operasi Furnace 4 setelah pembangunan kembali rampung tahun lalu," katanya pada Selasa, 18 April lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebelumnya, gara-gara penggantian Furnace 4, jumlah produksi nickel matte Vale Indonesia melorot hingga 65 ribu ton pada 2021. Penurunan angka produksi berlanjut sampai 2022, yaitu sebesar 60 ribu ton. Angka ini jauh di bawah capaian pada 2020, saat jumlah produksi nickel matte mencapai 72 ribu ton. Agar penurunan tak terus terjadi, Vale Indonesia menerapkan sejumlah strategi. Salah satunya, Febriany mengungkapkan, adalah memperbaiki tungku lain lebih dini. Vale pun memperbaiki Furnace 2 pada Maret lalu, sebelum tenggat pada kuartal keempat. "Ini untuk menjaga keandalan produktivitas Furnace 2," ujarnya.
Pekerja di samping nikel subsulfida di pabrik peleburan nikel PT Vale Tbk di Sorowako, Sulawesi Selatan, 30 Maret 2023. Reuters/Ajeng Dinar Ulfiana
Tak main-main, Vale Indonesia menargetkan jumlah produksi nickel matte sampai 70 ribu ton pada tahun ini, mendekati capaian 2020. Setelah bertahun-tahun hanya memproduksi nickel matte, Vale dan perusahaan tambang nikel lain mulai melirik produk lain, yaitu bahan baku baterai kendaraan listrik yang pasarnya terus bertumbuh.
Vale Indonesia pun menggandeng sejumlah perusahaan besar dunia untuk membangun fasilitas pengolahan. Salah satunya dalam pembangunan smelter penghasil mixed hydroxide precipitate (MHP) dan mixed sulphide precipitate (MSP) dengan teknologi high-pressure acid leach di Blok Pomalaa, Sulawesi Tenggara.
Di Pomalaa, Vale Indonesia akan membangun smelter MHP dan MSP dengan kapasitas produksi 120 ribu ton per tahun. MHP dan MSP akan menjadi bahan baku baterai jenis nickel manganese cobalt dan nickel cobalt aluminium. Kendati demikian, dua komoditas itu masih harus diolah lagi menjadi katoda dan nickel sulphate yang merupakan material utama baterai kendaraan listrik.
Selain Vale Indonesia, beberapa perusahaan sedang membangun smelter serupa, seperti Grup Harita dan PT Aneka Tambang Tbk atau Antam. Proyek-proyek ini bakal menambah jumlah pasokan nikel untuk industri baterai kendaraan listrik dan industri lain di Indonesia.
Menjamurnya smelter nikel penghasil bahan baku baterai sudah diproyeksikan oleh sejumlah lembaga. Pada Maret 2020, firma riset dan konsultan Wood Mackenzie menyatakan pada 2040 dunia membutuhkan 4 juta ton nikel. Angka ini naik dua kali lipat dari kebutuhan 2020.
Penggunaan nikel pun bergeser. Sementara pada 2020 industri baja nirkarat atau stainless steel masih menjadi pelahap terbesar nikel dunia, pada 2040 posisinya bakal tergeser oleh industri baterai. Pada 2040, kebutuhan nikel untuk stainless steel diperkirakan menurun 32 persen menjadi hanya 48 persen dari total pasokan dunia. Sedangkan permintaan nikel untuk bahan baku baterai meningkat dari 163 ribu ton menjadi 1,22 juta ton.
Meningkatnya jumlah permintaan nikel dari industri baterai serta industri lain bakal memicu perlombaan produksi. Efek lain adalah cadangan nikel kian tipis karena terus-menerus dieksploitasi. Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia Rizal Kasli mengatakan cadangan bijih nikel di Indonesia sebanyak 3,6 miliar ton hanya tersisa untuk 13 tahun ke depan. Proyeksi tersebut berangkat dari asumsi setiap tahun smelter dengan teknologi pirometalurgi mengolah bijih nikel kadar tinggi (saprolite) hingga 100 juta ton per tahun.
Apabila smelter yang ada menggunakan teknologi hidrometalurgi, umur cadangan bijih nikel Indonesia bisa cukup sampai 60 tahun ke depan dengan asumsi kapasitas input smelter nikel 60 juta ton per tahun. "Jika pemain nikel makin agresif melakukan produksi, efek yang pasti terjadi adalah cadangan nikel akan habis dalam waktu lebih cepat dan efek ke lingkungan yang merusak," ucap Rizal.
Rizal menyitir penelitian Universitas Halu Oleo, Kendari, pada 2022 yang menyimpulkan kenaikan aktivitas pengolahan nikel di smelter sekitar Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, telah menyebabkan degradasi lingkungan. Memang, pengolahan nikel mengerek produk domestik bruto daerah itu. Tapi hal itu harus dibayar dengan kerusakan lingkungan seperti sedimentasi atau pengendapan olahan nikel, masalah sampah, serta polusi air, udara, dan suara. Rizal pun mendesak pemerintah memperketat aktivitas pertambangan dan pengolahan nikel sebelum kerusakan alam makin tak terkendali.
Soal menipisnya cadangan nikel dibantah oleh Menteri Investasi Bahlil Lahadalia. Menurut dia, cadangan nikel Indonesia diproyeksikan hanya sampai 9-13 tahun ke depan karena banyak tambang dan wilayah kerja pertambangan yang belum dieksplorasi. "Ada cadangan terkira yang belum dieksplorasi. Di Papua kan belum diapa-apain. Di Jayapura, Nabire, itu banyak. Di Raja Ampat masih ratusan juta. Nikel kita masih banyak," ujarnya.
Berdasarkan hitungan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, hingga 2020, sumber daya bijih nikel Indonesia sebesar 11,7 miliar ton dengan cadangan 4,5 miliar ton. Sebagian besar atau 90 persen dari cadangan itu tersebar di Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Maluku Utara. Adapun cadangan bijih nikel Papua, seperti disebutkan Bahlil, hanya 0,06 miliar ton.
Berdasarkan angka-angka tersebut, Kementerian Energi menghitung, jika smelter menggunakan teknologi pirometalurgi, cadangan bijih nikel Indonesia yang sebanyak 2,6 miliar ton baru akan habis pada 2047 atau 27 tahun sejak 2020. Hitungan ini menggunakan asumsi kapasitas input smelter sebesar 95 juta ton per tahun. Jika smelter menggunakan teknologi hidrometalurgi, cadangan bijih nikel 1,7 miliar ton akan habis pada 2093 atau 73 tahun sejak 2020 dengan asumsi kapasitas input smelter tahunan hanya 24 juta ton per tahun.
Toh, tetap saja, meski cadangan nikel Indonesia masih banyak, tanpa pengaturan, yang terjadi hanya perlombaan produksi. Ujung-ujungnya, lingkungan rusak dan bakal berdampak terhadap pasar global.Hal ini yang terekam dalam laporan International Nickel Study Group (INSG) pada Rabu, 26 April lalu. INSG menyebutkan produksi nickel pig iron (NPI) dan konversi NPI menjadi nickel matte di Indonesia akan terus meningkat, seiring dengan beroperasinya sejumlah fasilitas pengolahan.
Kenaikan angka produksi di Indonesia akan mengerek pasokan nikel dunia dari 2,61 juta ton pada 2021 menjadi 3,06 juta ton pada 2022. Tahun ini, jumlah produksi nikel bisa mencapai 3,37 juta ton. Walhasil, terjadi surplus pasokan besar-besaran karena lonjakan produksi Indonesia melampaui permintaan global. INSG memperkirakan surplus sebesar 239 ribu ton tahun ini, angka terbesar dalam satu dekade terakhir. Dampaknya, harga komoditas ini bakal melorot.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Aisha Saidra berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Artikel ini terbit di edisi cetak di bawah judul "Naik-naik Produksi Nikel"