Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Dua raksasa otomotif dunia berencana masuk ke proyek smelter nikel Vale Indonesia.
Pemerintah hanya mendapat sedikit manfaat dari jorjoran penerbitan izin penambangan nikel.
Muncul potensi masalah besar jika baterai listrik tidak lagi memakai material nikel.
PEMERINTAH perlu mengkaji secara mendalam kebijakan membuka besar-besar keran eksploitasi nikel bagi investor dalam dan luar negeri. Kendati memberi manfaat jangka pendek menyelamatkan neraca perdagangan, kebijakan tersebut berpotensi mengandung risiko besar dalam jangka panjang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejumlah perusahaan otomotif besar papan atas berencana masuk ke industri nikel. Ford Motor Co menjalin kerja sama dengan PT Vale Indonesia Tbk dan perusahaan Cina, Zhejiang Huayou Cobalt Co, membangun smelter senilai US$ 4,5 miliar (Rp 67,5 triliun) di Pomalaa, Sulawesi Tenggara. Pertengahan April lalu, Vale juga berhasil menggaet Volkswagen AG, pabrik otomotif terbesar Eropa, masuk ke proyek tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sekilas masuknya raksasa otomotif dunia itu memberi angin segar meningkatnya kepercayaan investor asing kepada Indonesia. Namun sentimen itu tidak otomatis menutup kecurigaan bahwa pemerintah sedang menerapkan asas aji mumpung, menggenjot penerimaan negara dengan mengizinkan pembukaan besar-besaran tambang nikel, yang merupakan bahan baku utama baterai kendaraan listrik.
Indonesia bersama Australia merupakan negara dengan kandungan nikel terbesar di dunia, masing-masing menyumbang 21 persen dari total cadangan global sebanyak 21 juta metrik ton. Badan Survei Geologi Amerika Serikat melaporkan produksi nikel dunia diperkirakan 3,3 juta metrik ton pada 2022, naik 20,88 persen dari 2021 yang hanya 2,73 juta metrik ton. Indonesia memproduksi 1,6 juta metrik ton, setara dengan 48,48 persen pasokan dunia.
Dalam beberapa tahun terakhir, nikel memang berhasil mendongkrak neraca perdagangan Indonesia. Total ekspor berbagai produk nikel tahun lalu bernilai US$ 33 miliar (Rp 484 triliun). Namun, dari sisi keuangan, negara bukanlah penikmat terbesar komoditas. Sebab, pemerintah justru mengobral pelbagai keringanan fiskal bagi investor yang bergerak di sektor pertambangan nikel.
Indonesia hanya mendapat sedikit efek domino atas kegiatan ekonomi penambangan nikel ini. Pembukaan lapangan kerja masih belum sesuai dengan harapan karena mayoritas pekerja yang dipakai perusahaan nikel adalah kelas buruh. Klaim terjadi transfer teknologi dan keahlian pun belum terbukti.
Namun yang sudah pasti dari masifnya penambangan nikel adalah kerusakan hutan. Sepuluh-dua puluh tahun masa konsesi yang diberikan adalah waktu yang sangat cukup untuk memorak-porandakan lingkungan alam. Apalagi penambangan ilegal terjadi di banyak tempat.
Baca liputannya:
Di tengah polemik mudarat dan manfaat pemberian izin besar-besaran itu, pemerintah mesti mewaspadai pergerakan harga komoditas nikel belakangan ini. Data yang dirilis International Nickel Study Group pada pertengahan Januari lalu bisa menjadi alarm bahaya bagi pemerintah. Lembaga itu memperkirakan pada tahun ini akan terjadi surplus pasokan terhadap permintaan sebanyak 239 ribu ton, terbesar dalam satu dekade. Dampaknya, harga nikel tertekan ke level US$ 24 ribu per ton. Dalam tiga bulan terakhir, harga komoditas nikel melorot hingga 16 persen.
Masalah besar bisa datang tiba-tiba dan membuyarkan mimpi pemerintah menggantungkan harapan pada komoditas tersebut. Salah satunya adalah penemuan teknologi baru baterai kendaraan listrik yang tidak lagi bergantung pada material nikel. Jika hal ini terjadi, nikel bisa menjadi komoditas yang tidak berharga lagi. Janji menjadikan Indonesia produsen baterai listrik terbesar di dunia hanya akan tinggal janji.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo