Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ekonomi

Gelagat Resesi yang Terabaikan

Inflasi mengguncang perekonomian global. Apa bahayanya bagi ekonomi Indonesia?

30 April 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Ramai-ramai menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia.

  • Tekanan dari kebijakan moneter Amerika Serikat belum berakhir.

  • Ekonomi Indonesia tak bisa menghindar dari turbulensi.

GELAGAT buruk itu makin jelas, ekonomi mulai lesu. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi seusai pandemi tampaknya tak berumur panjang. Baik Bank Dunia maupun Dana Moneter Internasional (IMF) sudah memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global 2022. IMF memangkas proyeksinya menjadi 3,6 persen, merosot jauh di bawah estimasi pertumbuhan tahun lalu yang sebesar 6,1 persen. Sedangkan Bank Dunia menerawang tingkat pertumbuhan 3,2 persen saja.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Salah satu biang kerok kelesuan adalah cekikan inflasi yang kian ketat di seluruh dunia. Dalam hal inflasi, perkiraan IMF sungguh mencemaskan: inflasi global akan mencapai 7,4 persen tahun ini. Lonjakan harga pangan dan energi yang tak tertahan semenjak ekonomi dunia mulai pulih tahun lalu merupakan faktor terbesar yang membuat inflasi melambung. Invasi Rusia ke Ukraina mendorong kenaikan harga lebih tinggi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Untuk meredam inflasi, The Federal Reserve terpaksa menaikkan bunga dan mengurangi likuiditas. Naiknya bunga memang bisa menjinakkan inflasi. Namun ada dampak buruknya: mengerem pertumbuhan ekonomi. Celakanya, The Fed sudah menyampaikan isyarat akan lebih sering menaikkan bunga dan lebih tinggi pula besaran kenaikannya.

Tak mengherankan jika pasar kini menanti kenaikan bunga yang lebih tinggi seusai sidang The Fed, 4 Mei 2022. Tak cuma 0,25 persen seperti Maret lalu, kenaikan pada Mei ini bisa dua kali lipat lebih tinggi, 0,5 persen. Bahkan, menimbang inflasi tahunan Amerika Serikat yang sudah meroket hingga 8,5 persen per akhir Maret, tertinggi sejak 1981, sangat mungkin kenaikan bunga The Fed mencapai 0,75 persen. Makin tinggi kenaikan bunga, makin kuat daya remnya bekerja memperlambat ekonomi. Walhasil, kini investor mulai memperhitungkan skenario yang lebih muram. Ada kemungkinan ekonomi dunia tak sekadar luruh menjadi lesu, tapi bisa juga terperosok ke jurang resesi.

Ekonomi Indonesia tak akan bisa menghindar dari turbulensi global ini, akan tumbuh lebih lambat pula. Bank Indonesia, misalnya, sudah menurunkan perkiraan pertumbuhan dari 4,7-5,5 persen menjadi 4,5-5,3 persen. Namun penurunan 0,2 persen ini sebetulnya masih menunjukkan optimisme BI. Pulihnya aktivitas ekonomi seiring dengan meredanya wabah Covid-19 menjadi salah satu pertimbangan optimisme itu.

Di sisi lain, ada satu risiko besar. Setahun terakhir, penopang utama pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah lonjakan harga komoditas ekspor, dari nikel, batu bara, sampai minyak sawit. Kekuatan Indonesia ini justru amat rentan berubah menjadi ancaman jika ekonomi dunia melambat sesuai dengan prediksi IMF dan Bank Dunia. Harga berbagai komoditas berpotensi melorot. Tak cuma memperlambat ekonomi, menurunnya pendapatan ekspor di tengah turbulensi pasar finansial global dapat menjadi ancaman serius bagi ekonomi Indonesia.

Pemerintah RI, sayangnya, tak menimbang risiko resesi dalam berbagai kebijakan. Tak diduga-duga, misalnya, malah muncul larangan ekspor minyak goreng dan bahan bakunya. Larangan ini akan melemahkan daya dorong mesin pertumbuhan ekonomi Indonesia, jauh sebelum ekonomi dunia benar-benar melambat atau terjerumus resesi. Meminjam tamsil dari pertandingan sepak bola, pemerintah seolah-olah mencetak gol bunuh diri di saat-saat genting perpanjangan waktu. Estimasi analis, potensi pendapatan ekspor sebesar US$ 2,7 miliar per bulan musnah selama larangan itu berlaku.

Tak mengherankan jika optimisme investor global terhadap Indonesia kian surut. Indikator penting yang dapat menunjukkan hal itu adalah seberapa besar nilai investasi asing yang masih tertanam pada obligasi pemerintah berdenominasi rupiah. Per 22 April 2022, dana asing yang masih betah berdiam di sini tinggal Rp 842 triliun, menurun jauh ketimbang posisi pada awal 2022 yang senilai Rp 894 triliun. Posisi ini bahkan sangat jauh lebih rendah dibanding sebelum masa pandemi, Rp 1.092 triliun pada 24 Januari 2020.

Ketika ancaman resesi global kian nyata, ekonomi Indonesia amat membutuhkan respons kebijakan yang tepat. Sayangnya, yang terjadi malah blunder demi blunder yang justru kian memperparah keadaan.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus