Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jangan Takut pada Filsafat
ILMU filsafat adalah salah satu dimensi pemikiran dengan memanfaatkan akal dan rasio yang dianugerahkan Tuhan. Tanpa rasio dan akal sehat, integritas keimanan seseorang belum bisa dianggap vital dan dewasa. Keimanan seseorang harus dipertanggungjawabkan dalam bahasa rasional. Di sinilah peran dan makna dakwah untuk mengena di hati masyarakat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kiai Haji Mustofa Bisri pernah berpesan kepada para santrinya agar senantiasa membuka diri, tidak eksklusif, dan tidak cukup menjadi penuntut ilmu yang berakar pada khazanah fikih dan keislaman klasik, melainkan harus lintas religi, bahkan lintas keilmuan. “Kaum santri dan kaum terpelajar perlu memahami dan mengkaji pemikiran ideologis dari tradisi besar pemikiran Barat yang semarak dalam pandangan hidup masyarakat global saat ini,” KH Mustofa Bisri menegaskan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Restorasi Meiji di Jepang berangkat dari suatu landasan filosofis bahwa invasi pendidikan dan hegemoni Barat mesti dihadapi oleh kaum terpelajar yang juga memiliki wawasan keilmuan Barat. Ketika menghadapi dominasi pendidikan Belanda sebagai bagian dari politik etik mereka, pemikir dan perintis pendidikan Ki Hadjar Dewantara menegaskan pentingnya visi pendidikan Belanda untuk dicermati generasi muda di bumi Nusantara.
Keteladanan semacam apakah yang dicontohkan Meiji hingga ia sanggup mengakhiri kekuasaan Shogun yang telah berkuasa selama 15 generasi? Tak lain dan tak bukan, Meiji menggerakkan perubahan Jepang dengan konsep pemimpin yang inklusif dan terbuka. Pemimpin yang mau menerima pengaruh dari unsur luar dan tidak sungkan banyak belajar kepada negeri-negeri lain. Tradisi dan mitologi Shogun bisa didobrak dengan prinsip keterbukaan dan kejujuran manajemen. Tradisi yang mengerdilkan masyarakat Jepang dengan membuat eksklusivisme (tak berbeda jauh dengan Belanda dan Orde Baru), seolah-olah kita sudah sedemikian sempurnanya tanpa mau menerima orang lain yang tidak sepaham.
Melalui Restorasi Meiji, hal itu disingkap dan dibongkar sedemikian rupa. Hingga kemudian korupsi dan kebohongan sistem dalam lingkungan birokrasi dikikis dan diberantas habis. Restorasi Meiji menyibak tabir-tabir pendidikan tradisional Jepang yang paternal dan ortodoks. Hal ini senada dengan perintah Nabi Muhammad, agar manusia sanggup menuntut ilmu sampai ke negeri Cina.
Perkara menuntut ilmu tentu saja bukan hanya masalah ekonomi dan perdagangan, tapi juga, yang terpenting, pemahaman akan kebajikan dan kearifan lokal yang diajarkan filsuf Konghucu di Cina yang kemudian menjadi anutan bagi miliaran warga Cina dari abad ke abad.
Apabila sebagian masyarakat takut pada dunia filsafat, bukankah hal itu yang membuat mereka menjadi eksklusif, beku, dan kaku selama ini? Bukankah sikap resistan terhadap filsafat yang membuat pola pikir sebagian masyarakat menjadi ngawur, semrawut, dan cacat logika selama ini?
Eeng Nurhaeni
Rangkasbitung, Banten
Tata Kelola Pangan
PEMERINTAH bukan satu-satunya aktor yang bertanggung jawab dalam tata kelola pangan. Ada tiga komponen dalam tata kelola pangan: negara, pasar, dan masyarakat. Ketiga komponen itu turut bertanggung jawab dalam tata kelola pangan di Indonesia. Negara sebagai pembuat kebijakan, pasar selaku pemilik modal, dan masyarakat sebagai konsumen.
Pihak swasta selaku salah satu komponen pasar sering kali merugikan tata kelola pangan. Sektor swasta hanya mengejar keuntungan sehingga kerap merugikan kesejahteraan petani lokal. Terakhir, problem tata kelola pangan berasal dari masyarakat sendiri. Memang, masyarakat memiliki tanggung jawab lebih kecil daripada kedua aktor sebelumnya. Meskipun demikian, masyarakat tetap turut bertanggung jawab.
Masyarakat bertanggung jawab atas problem tata kelola jika terjadi dominasi tata kelola oleh masyarakat. Dominasi tata kelola oleh masyarakat sering menimbulkan konflik internal dan pemanfaatan keuntungan oleh ketua adat yang tidak bertanggung jawab.
Masalah tata kelola pangan di Indonesia sering terjadi karena dominasi satu dari tiga aktor tersebut. Dominasi salah satu aktor akan menciptakan ruang tata kelola yang sempit dan merugikan banyak pihak. Karena itu, perlu aksi sinergis antar-stakeholder, baik negara, pasar, maupun masyarakat dari tingkat bawah sampai atas. Solusi aksi sinergis memang terkesan abstrak dan umum, tapi sebenarnya itu menjadi solusi awal dan yang terbaik untuk mengatasi masalah tata kelola pangan. Aksi sinergis ini akan terlihat pada kebijakan impor-ekspor pangan yang memerlukan tiga komponen aktor itu, dari negara, pasar, hingga masyarakat.
Ihwal masalah alih fungsi lahan pertanian dan ancaman regenerasi petani muda, negara perlu berupaya menyejahterakan petani agar banyak generasi muda yang tertarik terjun ke sektor pertanian. Upaya menyejahterakan petani oleh pemerintah dapat berupa kebijakan pemberian status aparatur sipil negara (ASN) kepada petani. Tentu saja mekanisme pemberian status ASN akan berbeda dengan ASN struktural pemerintahan atau fungsional seperti guru.
Kebijakan ini tentu akan memberikan semangat dan motivasi besar kepada generasi muda, terutama di desa, untuk terjun ke sektor pertanian. Selain itu, orang-orang akan berupaya membuka lahan pertanian baru atau mencegah terjadinya alih fungsi lahan karena mereka menganggap sektor pertanian pangan sebagai bidang pekerjaan yang menjanjikan.
Jaafika Yahya Nurhidayanto
Mahasiswa Institut Pertanian Bogor, Jawa Barat
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo