Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ekonomi

Setahun Tragedi Pulau Rempang, Siapa Sosok di Balik Proyek Rempang Eco City?

Setahun lalu, upaya pengosongan Pulau Rempang berakhir bentrok antara warga dengan aparat TNI dan Polri. Siapa di balik proyek Rempang Eco City?

9 September 2024 | 13.21 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Setahun lalu, tepatnya Kamis, 7 September 2023, warga Pulau Rempang, Kota Batam, Kepulauan Riau bentrok dengan ribuan aparat gabungan tentara dan polisi. Peristiwa itu buntut penolakan warga setempat terkait wacana pemerintah merombak Pulau Rempang menjadi Proyek Strategis Nasional (PSN) bertajuk Rempang Eco City.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Warga Pulau Rempang menolak digusur dan direlokasi ke Pulau Galang. Musababnya, mereka mengklaim wilayah tersebut telah lama mereka tinggali sejak sebelum kemerdekaannya. Banyak nilai sejarah yang akan hilang jika perkampungan tua di Pulau Rempang akan digusur.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di sisi lain pemerintah mengatakan bahwa Pulau Rempang telah diserahkan kepada entitas pengusaha sejak awal 2000-an dalam bentuk hak guna usaha alias HGU. Namun, lahan tersebut tak kunjung digarap oleh investor dan tak pernah dikunjungi. Namun, pada 2021, saat investor masuk, wilayah tersebut ternyata berpenghuni.

Lantas siapakah sosok di balik proyek Rempang Eco City pemilik HGU tersebut?

Rencana pembangunan proyek ini sebenarnya dimulai pada 26 Agustus 2004 silam. Saat itu, pemerintah melalui Badan Pengusahaan atau BP Batam dan Pemerintah Kota Batam menyerahkan hak eksklusif atas pengembangan serta pengelolaan Pulau Rempang, Pulau Setokok, dan sebagian Pulau Galang kepada PT Makmur Elok Graha (MEG). Perjanjian tersebut diteken oleh Tomy Winata, mewakili PT MEG.

Tertunda 18 tahun, proyek pembangunan ini kembali dihidupkan setelah Presiden Joko Widodo atau Jokowi mengunjungi China beberapa waktu sebelumnya. Jokowi membawa oleh-oleh dari Negeri Tirai Bambu, Xinyi Group akan berinvestasi di Pulau Rempang dalam bentuk pembangunan pabrik kaca. Oleh karena itu, Pemerintah Kota Batam, BP Batam, dan PT MEG bekerja sama untuk mempercepat proses pembangunannya.

Kawasan Rempang Eco City tersebut dibangun dengan luas kurang lebih 165 km persegi. Dalam pengembangannya, PT MEG bakal menyiapkan Pulau Rempang sebagai kawasan industri, perdagangan, hingga wisata yang terintegrasi. Proyek itu diharapkan bisa mendorong peningkatan daya saing Indonesia dari Singapura dan Malaysia.

Saat itu, total investasi pengembangan Eco City Area Batam Rempang mencapai Rp 43 triliun. PT MEG juga telah menggandeng Xinyi International Investment Limited, calon investor yang bakal membangun pusat pengolahan pasir kuarsa dan pasir silika di Rempang. Pemerintah mengklaim komitmen investasi Xinyi bakal mencapai Rp 381 triliun hingga 2080.

Dengan nilai investasi tersebut, pengembangan Pulau Rempang diharapkan dapat memberi dampak terhadap pertumbuhan ekonomi (spillover effect) bagi Kota Batam serta kabupaten atau kota lain di Provinsi Kepri. Pemerintah Republik Indonesia juga menargetkan, pengembangan Rempang Eco-City dapat menyerap lebih kurang 306 ribu tenaga kerja hingga 2080 mendatang.

Namun, pembangunan proyek Rempang Eco City mendapat penolakan dari masyarakat adat di Pulau Rempan. Ribuan warga yang berasal dari 16 kampung tua di Rempang menolak direlokasi karena akan ada pembangunan proyek tersebut. Penolakan itu berujung bentrok warga dengan aparat keamanan gabungan pada Kamis pekan lalu, 7 September 2023 sekitar pukul 10.00 WIB.

Ribuan aparat gabungan TNI dan Polri memaksa masuk ke perkampungan warga hari itu. Kedatangan aparat tersebut guna memasang patok tanda batas lahan untuk proyek Rempang Eco City. Masyarakat adat menolak kedatangan mereka dan melakukan pemblokiran dengan menebang pohon hingga meletakkan blok kontainer di tengah jalan.

Namun, aparat gabungan bersikukuh merangsek masuk ke pemukiman warga. Dalam prosesnya, mereka bahkan menembakkan gas air mata untuk memukul mundur warga. Bahkan, semburan gas air mata tersebut sampai ke arah sekolah. Hal ini membuat para guru berlarian membawa murid-murid pergi melalui pintu belakang sekolah.

Beberapa hari kemudian, tepatnya pada Senin, 11 September 2023, ribuan masyarakat adat Melayu Kepri menggeruduk kantor BP Batam. Mereka menyampaikan beberapa tuntutannya. Mulai dari menolak penggusuran, mendesak TNI dan Polri membubarkan posko yang didirikan di Rempang Galang, menghentikan intimidasi kepada orang Melayu, dan menuntut Jokowi membatalkan penggusuran kampung tua Pulau Galang.

Aksi tersebut sempat menyebabkan ricuh merusak kaca-kaca dan pagar kantor BP Batam. Massa membubarkan diri setelah ditembakkan gas air mata. Buntut dari aksi tersebut, sebanyak 43 orang warga Rempang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus kericuhan saat demo penolakan pengembangan Kawasan Rempang Eco City yang terjadi pada 7 dan 11 September 2023.

“Sebanyak 26 ditetapkan sebagai tersangka di Polresta kasus tanggal 11 September, tambah delapan yang tanggal 7 September. Di Polda aKepri da sembilan tersangka, jadi total 43,” ujar Kapolresta Barelang Komisaris Besar Nugroho Tri Nuryanto di Batam, Kepulauan Riau, Jumat, 15 September 2023

Selanjutnya: Profil Tomy Winata Pemegang HGU Pulau Rempang

Tomy Winata adalah seorang pengusaha Indonesia keturunan Tionghoa yang merupakan pemilik dari grup Artha Graha atau Artha Graha Network. Pria yang juga karib dengan panggilan TW ini lahir pada 23 Juli 1958 di Pontianak, Kalimantan Barat.

Pemilik nama Tionghoa Oe Suat Hong ini menjalankan bisnis di berbagai bidang. Mulai dari properti, perhotelan, perdagangan, perbankan, transportasi, konstruksi, hingga telekomunikasi. Dia mulai merintis bisnisnya pada 1972 ketika dipercaya membangun kantor koramil di Singkawang.

Setelah proyek tersebut selesai, Tomy Winata kemudian kembali dipercaya untuk membangun berbagai proyek di kalangan militer. Mulai dari barak, sekolah tentara, hingga menyalurkan barang ke markas militer di Papua, Ujung Pandang, Ambon, dan lainnya.

Kerajaan bisnis Tomy Winata semakin berkembang ketika dia berhasil membangun mega proyek Sudirman Central Business District (SCBD) seluas 45 hektare. Proyek bernilai investasi sebesar US$ 3,25 miliar tersebut dikerjakan bersama Yayasan Kartika Eka Paksi milik Angkatan Darat.

Melalui PT Danayasa Arthatama Tbk (DA), bisnis Tomy Winata kian menggurita. Anak perusahaannya beroperasi di empat industri utama, yakni real estate, jasa konstruksi, jasa telekomunikasi, dan manajemen perhotelan seperti Bukit Golf Mediterania, Kelapa Gading Square, Mangga Dua Square, Pacific Place, Borobudur Hotel, The Capital Residence, Ancol Mansion, dan lain sebagainya.

Salah satu proyek ambisius Tomy Winata adalah pembangunan “Jembatan Selat Sunda” (JSS). Pembangunan jembatan penghubung Pulau Sumatra dan Pulau Jawa itu diyakini akan membawa banyak manfaat bagi peningkatan perekonomian, sosial, lapangan pekerjaan dan kesejahteraan bagi masyarakat di kedua pulau.

Pada 2009, Tomy beserta BUMD Provinsi Banten dan Lampung menyerahkan secara resmi Hasil Pra-Studi Kelayakan JSS kepada Pemerintah. Selanjutnya Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2011, Konsorsium Banten-Lampung dan Artha Graha ditunjuk sebagai Pemrakarsa Proyek (Project Initiator).

Konsorsium kemudian membentuk perusahaan patungan dengan nama PT Graha Banten Lampung Sejahtera (GBLS) untuk melaksanakan penyusunan Studi Kelayakan JSS dam KSISS (Kawasan Strategis Infrastruktur Selat Sunda) sesuai Peraturan Presiden tersebut. Namun, pada November 2014, pemerintahan Jokowi yang baru mengumumkan bahwa rencana pembangunan jembatan tersebut ditunda.

HENDRIK KHOIRUL MUHID  | REZKY DEWI AYU | RADEN PUTRI

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus