Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Yogyakarta - Sejumlah dosen Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta mengusulkan lokasi calon ibu kota menempati daerah yang terbuka. Selain itu, wilayah tersebut dalam aspek kependudukannya juga juga heterogen untuk meminimalisasi potensi konflik sosial dan budaya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setidaknya 20 dosen dari berbagai departemen Fakultas Teknik UGM membahas secara khusus pemindahan ibu kota baru dalam forum terbatas di ruang sidang fakultas tersebut. Forum terbatas yang digelar pada Senin, 6 Mei 2019, menghasilkan sejumlah skenario usulan.
Salah satu hal penting yang dibahas adalah potensi konflik sosial dan budaya. Dekan Fakultas Teknik UGM, Nizam, mengatakan calon ibu kota baru harus berlokasi di wilayah dengan heterogenitas masyarakat tinggi.
Wilayah yang dipilih sebaiknya tidak rawan terhadap munculnya konflik antara pendatang dan penduduk lokal. “Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur masyarakatnya lebih heterogen. Lebih tepat bila dilihat dari potensi konflik sosial-budaya,” kata dia.
Penetapan lokasi ibu kota baru harus mempertimbangkan efek migrasi karena akan menjadi daya tarik baru orang yang masuk. Efek dari migrasi akan memunculkan marginalisasi atau peminggiran penduduk lokal dan konflik sosial.
Kalimantan punya sejarah kelam, yakni konflik antaretnis di Sampit, Kalimantan Tengah dan Sambas, Kalimantan Barat. Konflik terjadi karena kesenjangan antara-pendatang (etnis Madura) dengan Dayak.
Tragedi di Sampit, misalnya, menghilangkan ratusan nyawa manusia. Dalam forum itu Fakultas Teknik tidak menyarankan Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat sebagai calon ibu kota baru menggantikan Jakarta.
Selain faktor sejarah konflik sosial-budaya, Kalimantan Tengah juga tidak tepat karena potensi kebakaran lahan gambut. “Berdampak pada tidak optimalnya fungsi pemerintahan dan aktivitas masyarakat karena pernah terjadi kebakaran lahan gambut,” kata Nizam.
Sebelumnya Presiden Joko Widodo atau Jokowi memutuskan untuk memindahkan Ibu Kota ke luar Pulau Jawa. Keputusan diambil dalam rapat terbatas mengenai pemindahan Ibu Kota di Kantor Presiden, Jakarta, pada Senin pekan lalu.
"Presiden memilih alternatif ketiga, yaitu memindahkan Ibu Kota ke luar Jawa. Ini barangkali salah satu keputusan penting yang dilahirkan hari ini," kata Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Bambang Brodjonegoro, Senin, 29 April 2019.
Setidaknya ada tiga alternatif yang bisa dipilih. Alternatif pertama adalah Ibu Kota tetap di Jakarta, namun dibuat distrik khusus pemerintahan. Kantor-kantor pemerintahan itu nantinya akan berpusat di kawasan Istana, Monas, dan sekitarnya.
Adapun alternatif kedua adalah memindahkan pusat pemerintahan ke wilayah dekat Jakarta. Mencontoh Malaysia yang memindahkan pusat pemerintahannya ke Putrajaya, Bambang mengusulkan agar Ibu Kota Indonesia dipindah ke sekitar Jabodetabek jika tersedia lahan.
Alternatif ketiga yang dipilih Jokowi yaitu memindahkan ibu kota langsung ke luar Jawa, seperti Brasil yang memindahkan dari Rio de Janeiro ke Brasilia yang jauh di Amazon.
Berikutnya Canberra di antara Sydney dan Melbourne. Demikian juga Astana di Kazakhstan karena Ibu Kotanya ingin dipindah lebih dekat ke arah tengah dari negaranya. Juga Naypyidaw yang juga lebih ke dalam negara Myanmar.
Simak berita lainnya terkait ibu kota di Tempo.co.