Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Psikolog pendidikan Prof Dr Rose Mini Agoes Salim, menilai sistem ranking yang diberlakukan di sekolah sebetulnya tidak terlalu diperlukan untuk dijadikan indikator dalam penilaian hasil belajar siswa. Lulusan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia itu mengatakan tujuan pendidikan untuk membuat anak memiliki pemahaman dan kompetensi tertentu. Karena itu, yang lebih penting pihak sekolah perlu memastikan anak punya kompetensi yang harus dicapai pada setiap tingkatan kelasnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Saya melihat ranking itu sebetulnya tidak terlalu diperlukan. Yang penting, anak yang ada di kelas paham atau tidak materi pelajaran yang kemudian pada akhirnya dia bisa dikatakan kompeten pada usianya di kelasnya. Lebih penting itu kalau menurut saya,” kata Bunda Romi, sapaannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada anak yang tidak mencapai ranking teratas, Romi mengatakan anak tersebut berpotensi kehilangan kepercayaan diri. Padahal, bisa saja ia mendapatkan nilai kurang bagus karena sedang sakit saat ujian.
Ia mengingatkan, penilaian pada siswa bukan ditentukan dari hasil ujian akhir saja. Proses pembelajaran siswa yang menyeluruh juga penting untuk dinilai. Dalam hal ini, guru perlu melihat perkembangan hasil pembelajaran serta memastikan apakah siswa mengalami peningkatan kemampuan yang baik atau sebaliknya.
“Dan yang dikejar adalah bukan hanya dia harus bisa naik kelas tapi dia bisa memiliki kemampuan atau tidak untuk menyelesaikan tugas-tugas pada kelasnya. Apakah dia memiliki kompetensi atau tidak di dalam kelasnya, itu yang penting dikejar kalau menurut saya,” jelas Romi.
Tak lagi relevan
Sementara itu, psikolog dari Universitas Gadjah Mada, Novi Poespita Candra, menilai sistem ranking tidak lagi relevan untuk diterapkan di sekolah-sekolah. Ia mengingatkan revolusi industri 5.0 yang berkembang saat ini justru butuh manusia dengan kecerdasan original yang unik dan tidak bisa digantikan oleh kecerdasan buatan (AI). Kecerdasan ini tidak bisa didapat jika sistem pendidikan masih menerapkan ranking sebagai standar kecerdasan siswa.
Novi mengatakan setiap anak pada dasarnya memiliki kecerdasan yang berbeda sehingga perlu untuk melihat kemampuan tidak hanya dari sisi akademis. Beberapa anak mungkin lebih dominan dalam hal terkait kecerdasan kemanusiaan. Beberapa yang lain mungkin lebih menonjol dalam kecerdasan seni dan lainnya dalam kecerdasan emosional.
Ia menggarisbawahi sistem pendidikan di Indonesia yang selama ini hanya mengedepankan metode menghafal di dalam pembelajaran dan melupakan pentingnya membangun kemampuan berpikir kritis siswa. Padahal, kemampuan tersebut dibutuhkan di era sekarang.
Dari sisi psikologis, Novi mengingatkan potensi bahaya yang dapat muncul pada anak-anak, baik yang tidak mendapatkan ranking teratas maupun yang selalu mendapatkan ranking teratas. Seperti Romi, ia mengatakan siswa yang memperoleh peringkat biasa-biasa saja bisa jadi tidak percaya diri karena merasa tidak menemukan dirinya ketika semua orang diukur dengan ranking. Sedangkan siswa yang selalu memperoleh ranking teratas dikhawatirkan akan memiliki pola pikir terpaku sehingga merasa tidak perlu belajar hal lain dari anak-anak dengan ranking rendah.
“Makanya, jangan-jangan justru anak-anak yang rankingnya biasa-biasa saja malah mempunyai growth mindset karena bisa belajar apa saja,” tutur Novi.
Anak-anak yang selalu mendapatkan ranking tertinggi juga dikhawatirkan tumbuh menjadi pribadi yang sangat ambisius dan takut menghadapi kegagalan. Anak-anak ini dibebani ekspektasi tinggi dari masyarakat sehingga takut gagal. Padahal, untuk belajar anak harus mampu menghadapi kegagalan.
“Sistem pendidikan kita hanya memberikan ruang pada akademik, bukan pada kecerdasan-kecerdasan lain yang saya sebutkan tadi, menyebabkan anak yang tidak ranking kemudian tidak berhasil menemukan kecerdasan originalnya, kecerdasan keunikan dia, potensi terbaiknya dia,” tandas Novi.
Pilihan Editor: Tanda Awal Disleksia yang Bisa Dikenali pada Anak