Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sejumlah korban catfishing berkenalan dengan para pelaku dari aplikasi kencan di dunia maya.
Para penipu berkedok asmara di jagat maya biasanya tampil sebagai sosok yang menawan dan mapan.
Psikolog menilai pengguna media sosial harus mengenali karakter komunitas di tiap platform digital.
PENIPUAN berkedok asmara di media sosial atau catfishing muncul sebagai fenomena yang cukup marak terjadi belakangan ini. Para pelaku membidik pengguna media sosial dan sejumlah aplikasi perjodohan. Mereka berhasil memanipulasi korban dengan modus menjalin hubungan asmara. Setelah mampu mengambil keuntungan finansial, mereka menghilang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ambil contoh Damian—bukan nama sebenarnya—pria 22 tahun yang menjadi satu dari beberapa korban catfishing seorang perempuan bernama Gea. Keduanya berinteraksi melalui pesan langsung atau direct message di media sosial Twitter, September 2021. Dalam waktu singkat, mereka lantas membangun status sebagai pasangan kekasih.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Meski sering berkomunikasi, Damian mengaku hanya mengetahui pacarnya itu berasal dari Serang, Banten. Dia tak pernah mengetahui alamat detail, kerabat, teman, dan identitas Gea secara rinci. Dia pun tak curiga kepada pasangan yang hanya berkomunikasi lewat jaringan Internet itu.
Damian dan Gea bersemuka saat keduanya memutuskan berlibur bersama ke Yogyakarta, Desember 2021. Menurut pria asal Tangerang, Banten, tersebut, Gea membiayai semua keperluan transportasi dan akomodasi sendiri. Selama liburan, perempuan itu juga menampilkan diri sebagai anak dari keluarga mapan yang doyan berbelanja dan tampil mewah.
Hal itu membuat Damian dan beberapa temannya tak curiga saat Gea mulai meminjam uang pada Januari 2022. “Semua jadi berpikir tak apa meminjamkan uang. Dia anak orang kaya, pasti akan bayar utang,” katanya.
Pekerja lepas ini mengungkapkan, Gea tiba-tiba meminjam uang dengan dalih membutuhkan tambahan biaya pengobatan neneknya. Saat itu Damian memberikan pinjaman Rp 500 ribu. Belakangan, dia mendapat informasi uang tersebut ternyata dipakai untuk membeli sejumlah merchandise salah satu band Korea Selatan. Dia kemudian kesulitan menagih utang tersebut karena Gea memblokir semua nomor dan akunnya di media sosial.
Belakangan, Damian justru menemukan sejumlah cerita dan cuitan akun yang berisi aksi penipuan serupa. Beberapa pemilik akun bahkan mengunggah foto pelaku yang ternyata memiliki fisik serupa Gea dengan nama panggilan berbeda. Mereka juga mengalami penipuan dengan kerugian berupa barang, dari uang, emas, hingga surat kendaraan.
Ada pula kisah Santoso, wirausaha 35 tahun yang meminta nama aslinya disamarkan. Ia pernah menjadi korban catfishing dengan kerugian uang sebesar Rp 12 juta. Semuanya bermula saat dia mengenal seorang perempuan bernama Nissa melalui aplikasi pencarian teman baru, Tagged, Agustus 2015, beberapa bulan setelah ibunya meninggal. Perempuan yang mengaku berusia 25 tahun itu memperkenalkan diri sebagai seorang model foto yang berdomisili di Bali.
Santoso menuturkan, Nissa sama sekali tak menunjukkan gelagat sebagai penipu pada awal komunikasi. Hal ini berbeda dengan pengguna Tagged lain yang kerap langsung berpura-pura membutuhkan uang setelah satu atau dua minggu relasi. Keduanya pun bertukar nomor aplikasi percakapan WhatsApp dan token Blackberry Messenger. Selain berkirim pesan pendek, mereka sering berbicara melalui sambungan telepon.
Ilustrasi catfishing/Tempo/Jati Mahatmaji
“Tak pernah mau video call, alasannya supaya bisa surprise kalau bertemu langsung,” tutur pria yang berdomisili di Tangerang Selatan, Banten, itu, Rabu, 14 September lalu.
Intensnya komunikasi membuat keduanya kemudian memutuskan berpacaran. Santoso makin kasmaran karena selalu mendapat kiriman foto cantik Nissa dalam berbagai kegiatan di Bali. Secara perlahan, pada diri Santoso mulai terbangun rasa memiliki dan keinginan melindungi pasangannya tersebut.
Nissa meminta kiriman uang saat hubungan mereka menginjak usia tiga bulan. Saat itu dia mengaku terlilit utang Rp 700 ribu kepada rentenir. Nissa berdalih belum menerima bayaran dari agensi modelnya. Sejumlah penagih atau debt collector kerap datang dan melontarkan berbagai ancaman.
Setelah pembayaran utang itu, Santoso kembali mengirimi Nissa uang pada Desember 2015. Kali ini jumlahnya hampir Rp 2 juta. Saat itu Nissa mengatakan mendapat tawaran pemotretan di Jakarta. Kesempatan ini pun menjadi peluang bertemu dua sejoli ini untuk pertama kalinya. Namun, menjelang tanggal keberangkatan, Nissa mengaku harus terbang ke kota lain karena lokasi pemotretannya dipindahkan tiba-tiba. “Sempat mulai jadi curiga kenapa susah bertemu. Tapi ketika itu masih umur 28 tahun, terus memang dia cantik banget,” ujar Santoso.
Pertengahan Januari 2016, Santoso mengirim uang Rp 2,5 juta karena Nissa mengaku membutuhkan dana hingga Rp 6 juta untuk biaya pengobatan di rumah sakit. Ketika itu Santoso menawarkan diri membiayai seluruh penanganan medisnya asalkan pemeriksaan dan perawatan dilakukan di Jakarta. Namun Nissa menolak tawaran itu.
Santoso makin curiga saat Nissa kembali meminta transfer uang Rp 4 juta untuk melunasi utang. Meski demikian, dia tetap menuruti permintaan tersebut karena merasa sayang. Menurut dia, Nissa berulang kali menelepon sambil menangis ketakutan karena penagih utang memberi ancaman penyiksaan hingga pemerkosaan.
“Setelah itu ada lagi beberapa kali meminta uang. Kemudian hilang dan tak bisa dihubungi. Memang tak mau lapor polisi, karena malas, ribet prosesnya. Saya cuma bisa ikhlas, anggap saja ini semacam shit happens,” ucapnya.
•••
FENOMENA catfishing mencuat dan mencuri perhatian dunia ketika seorang pemuda asal Israel, Shimon Yehuda Hayut, melakukan penipuan terhadap sejumlah perempuan di berbagai negara. Pemuda 31 tahun dengan banyak nama palsu, termasuk yang paling terkenal Simon Leviev, tersebut kabarnya melancarkan aksi penipuan sejak 2011.
Leviev mengaku sebagai anak seorang miliarder dan pengusaha berlian asal Israel. Orang-orang yang percaya kemudian terkena berbagai trik dan manipulasi hingga kehilangan uang dan barang berharga lain, juga terlilit utang. Dari aksi penipuan daring tersebut, ia setidaknya telah meraup Rp 143 miliar dari para korban.
Popularitas aksi Leviev kian naik setelah sutradara Inggris, Felicity Morris, membuat film dokumenter berdasarkan kisah kejahatan siber tersebut dengan judul The Tinder Swindler, Februari 2022. Film yang tayang di platform streaming Netflix tersebut menampilkan sejumlah modus penipuan yang bermula dari interaksi di aplikasi perkencanan Tinder.
Istilah catfishing pertama kali digunakan dalam sebuah film dokumenter 2010 yang menceritakan kisah para korban penipuan daring. Para pelaku biasanya menggunakan berbagai identitas dan profil palsu dengan tujuan mengambil keuntungan dari para korban, umumnya berupa uang dan fasilitas tertentu. Modus penipuan kerap berbalut hubungan asmara.
Meski tak spesifik berupa catfishing, sejumlah lembaga perlindungan dan advokasi digital mencatat pertumbuhan laporan kasus kekerasan berbasis gender online (KBGO) beberapa tahun terakhir. Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan mencatat 810 laporan kasus KBGO pada 2020. Southeast Asia Freedom of Expression Network pun mencatat jumlah kasus KBGO masih tinggi. Bahkan, hingga paruh 2022, lembaga advokasi hak-hak digital tersebut telah menerima 419 laporan kasus KBGO.
Psikolog hubungan interpersonal Universitas Indonesia, Dian Wisnuwardhani, mengatakan sebagian besar korban catfishing berasal dari kelompok masyarakat yang kurang memiliki kemampuan self-evaluation atau penilaian diri. Mereka biasanya datang dari kelompok usia yang tengah mencari jati diri, seperti remaja hingga awal dewasa. Beberapa di antaranya juga kurang memiliki kepercayaan diri sehingga mudah terbuai oleh kata-kata pengakuan dari lawan bicara. Kejahatan digital ini pun menyasar sisi lemah para korban, yaitu kebutuhan untuk dicintai.
“Biasanya orang yang sedang kasmaran rasionalisasi terhadap sebuah peristiwa atau kejadiannya akan sangat rendah. Ini celah yang digunakan para pelaku,” katanya.
Hal ini juga membuat para korban enggan mencari keadilan atau melaporkan kejahatan tersebut kepada kepolisian. Menurut Dian, secara psikologis korban justru malu dan khawatir akan mendapat banyak penilaian negatif. Sebab, dia menambahkan, mereka sebenarnya justru tengah mencari pengakuan secara sosial.
Selain itu, potensi penipuan muncul karena minimnya pengetahuan masyarakat tentang media sosial dan platform digital. Dia menerangkan, masyarakat perlu memahami karakteristik fungsi dan profil mayoritas pengguna suatu media sosial. Pengguna juga perlu mengetahui cara menguji dan memeriksa keaslian identitas lawan interaksi di Internet.
“Seperti harus curiga kalau orang itu menolak komunikasi lewat telepon atau video call. Atau ada perbedaan dengan foto atau identitas lain,” ujar Dian.
•••
BEBERAPA kasus catfishing lebih kompleks dan melibatkan lebih dari satu pelaku. Seperti yang dialami Yuniar—kita sebut saja begitu—perempuan 28 tahun asal Surabaya, pada 2019-2020. Mulanya salah satu foto yang ia unggah di akun Instagram-nya mendapat respons positif dari akun pria yang mengaku sebagai warga Korea Selatan berusia 30 tahun. Keduanya kemudian menjalin komunikasi hingga intens dengan perantara bahasa Inggris melalui aplikasi pesan pendek, telepon, dan panggilan video.
Meski tanpa status resmi, menurut Yuniar, pria tersebut mengatakan akan segera datang ke Surabaya. Selain mengaku hendak bertemu, pria yang selalu bergaya perlente dalam foto tersebut menebar janji akan menyampaikan lamaran dan rencana pernikahan. Komunikasi mereka berlangsung selama tiga bulan. Saat itu Yuniar tengah merasa tertekan karena keluarga dan lingkungan sosial menuntutnya untuk segera memiliki pasangan dan menikah.
Modus penipuan berawal saat pria tersebut mengatakan tengah mengirim sebuah hadiah khusus dan mahal dari Korea Selatan ke Surabaya. Alih-alih beroleh kiriman itu, Yuniar tiba-tiba mendapat panggilan telepon dari seorang pria yang mengaku sebagai kurir perusahaan ekspedisi yang kerap mengantar barang kiriman antarnegara. Pria itu mengatakan tengah memegang paket dari Korea untuk Yuniar.
Menurut Yuniar, kurir berkisah bahwa ada masalah pengiriman, yaitu kekurangan ongkos kirim dan biaya bea-cukai hingga Rp 19 juta. Awalnya Yuniar merasa curiga karena berpikir tak masuk akal ada barang yang biaya pengirimannya sangat tinggi. Tapi dia luluh saat kekasihnya mengkonfirmasi persoalan paket tersebut melalui telepon. Pria itu pun menambahkan beberapa kalimat rayuan yang pada intinya menjelaskan bahwa isi paket tersebut sangat berharga. “Bodohnya saya. Memang sangat bodoh saat itu. Saya transfer dan bayar sesuai dengan yang diminta,” tuturnya.
Seusai pembayaran, skenario penipuan berlanjut dengan permintaan tambahan biaya Rp 3-4 juta. Seseorang dengan nomor telepon berbeda mengaku sebagai petugas Bea-Cukai yang menerima paket ilegal dari Korea Selatan. Saat itu dia mengancam akan melaporkan Yuniar ke polisi dengan tuduhan menyelundupkan barang ke Indonesia. Pria Korea itu lantas berulang kali menelepon dan meminta Yuniar menyelesaikan perkara penyitaan paket tersebut.
“Di titik itu, saya merasa ini penipuan. Setelah tak mau bayar, mereka mengancam ini-itu. Tapi, karena saya tak menanggapi, mereka lalu hilang,” ujar Yuniar.
Psikolog Hubungan Interpersonal Universitas Indonesia, Dian Wisnuwardhani/Dok Pribadi
Bukan hanya itu, Yuniar juga pernah mengalami penipuan saat menggunakan aplikasi perjodohan Tantan. Menurut dia, sebagian besar pria yang cocok di aplikasi tersebut biasanya langsung menjalin komunikasi yang mengarah pada kepentingan seksual. Namun dia sempat berkomunikasi dengan seorang pria asal Surabaya yang sangat sopan dan elegan ketika berinteraksi melalui aplikasi Tantan ataupun WhatsApp. Hal ini juga yang kemudian membuat dia berani membuat janji bertemu.
Yuniar menuturkan, bentuk kerugian dalam kasus penipuan ini bukan materi atau uang. Saat bertemu, si pria langsung mengajak Yuniar meminum minuman keras. Berdalih mabuk, dia kemudian mulai berniat melakukan kekerasan seksual di mobilnya dalam perjalanan pulang. “Sangat sulit mengetahui atau mengenal seseorang yang dikenal melalui platform digital,” ucapnya.
Kerugian materiil dan imateriil akibat penipuan daring juga dialami Tata, perempuan 29 tahun yang meminta nama aslinya disembunyikan. Tata bercerita, semua berawal ketika dia menjalin relasi dengan seorang pria asal Surabaya, pertengahan 2014. Mereka berkenalan saat sama-sama menggunakan aplikasi percakapan Blackberry Messenger. Pria yang mengaku bernama Yudi tersebut selalu muncul sebagai sosok sederhana, pendiam, dan gentle.
Berlandaskan janji akan dinikahi, perempuan asal Malang, Jawa Timur, tersebut bersedia menjalin relasi yang lebih intim. Keduanya pun sempat tinggal bersama selama beberapa waktu. Dia mulai merasa menjadi korban manipulasi saat penagih utang dari penyedia pinjaman online alias pinjol tiba-tiba datang ke tempat tinggalnya meminta pelunasan utang Yudi.
Alih-alih bertanggung jawab, Yudi dengan enteng justru meminta Tata menggunakan gajinya sebagai barista di sebuah kedai kopi untuk membayar utang tersebut. Karena uangnya belum cukup, Tata juga didesak mencari pinjaman dari sejumlah teman dan kerabat untuk menutup kekurangan.
Saat itu Yudi tak memiliki dan malas mencari pekerjaan. Sebagian besar kebutuhan harian Yudi dipenuhi dari penghasilan bulanan Tata. “Jago kalau bicara, saya jadi percaya-percaya saja. Tapi akhirnya memang tak sanggup dan saya memutuskan lebih baik pisah,” tutur Tata menceritakan kesadarannya telah masuk dalam bentuk lain catfishing.
FELIN LORENSA, ECKA PRAMITA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo