Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Diah Widuretno mendirikan Sekolah Pagesangan yang berfokus mengajarkan pertanian.
Brigita Laura Fatria mendirikan Sekolah Rimbawan Kecil atau Serincil.
Komunitas Womangrove memberikan pemahaman pada perempuan di Pulau Tanakeke, Kabupaten Takalar tentang pentingnya mangrove bagi daerah pesisir.
DUA puluh lima anak membagi kelompok dengan nama komoditas pangan seperti jewawut, jagung, kacang hijau, dan padi di rumah panggung berdinding anyaman bambu pada Sabtu, 29 Januari lalu. Mereka menyiapkan cangkul, serok tanah, dan bekal makanan berupa jenang, juga air minum. Ditemani tiga fasilitator, bocah-bocah tersebut menuju ladang yang berjarak dua kilometer dari rumah panggung itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Warga Dusun Wintaos, Desa Girimulyo, Kecamatan Panggang, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, mengenal rumah panggung itu sebagai Gubuk Baca (Guba) Sekolah Pagesangan. Di rumah itu terdapat perpustakaan dan mainan tradisional yang bisa digunakan oleh anak-anak tersebut. Jadwal belajar di maktab informal itu luwes. Anak-anak itu biasanya belajar setiap Sabtu dan Ahad. Mereka bisa datang ke sana tanpa seragam dan sepatu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sekolah itu berjarak 38 kilometer dari Kota Yogyakarta. Jalanan menuju ke sana berkelok, melewati perbukitan dan hutan. Dibutuhkan waktu 90 menit untuk mencapai Guba dari Kota Yogyakarta.
Sekolah Pagesangan didirikan oleh Diah Widuretno, alumnus Jurusan Biologi Institut Pertanian Bogor (IPB), Jawa Barat, pada akhir 2008. Kala itu seorang teman mengajaknya berkunjung ke Desa Girimulyo. Diah merasa prihatin melihat pendidikan sekolah formal yang tak sesuai dengan kebutuhan anak-anak Dusun Wintaos yang sebagian besar berasal dari keluarga petani. Mereka bertahan hidup dengan pertanian tadah hujan serta budi daya tanaman secara campur sari karena daerah itu sulit mendapatkan air. “Teman saya tahu saya senang dengan pendidikan dan mimpi saya bikin sekolah alternatif,” kata Diah, 44 tahun, saat ditemui di Sekolah Pagesangan, Sabtu, 29 Januari lalu.
Diah Widuretno/Tempo/Shinta Maharani
Tidak mudah bagi Diah untuk meyakinkan warga Dusun Wintaos agar membolehkan anak mereka belajar di Sekolah Pagesangan. Bahkan sebagian orang tua menolak kehadiran maktab informal itu. Apalagi sekolah itu mengajarkan pertanian, bukan mata pelajaran yang lazim di sekolah formal. Sekolah tersebut pun tidak mengeluarkan sertifikat atau ijazah bagi anak yang sudah lulus.
Diah mendatangi rumah setiap anak di dusun itu untuk menjelaskan pentingnya belajar bertani dan berwirausaha kepada orang tua mereka. Butuh waktu untuk mengajak bocah-bocah itu sinau di Sekolah Pagesangan. “Padahal petani sama bermartabatnya dengan pekerjaan lain,” ujarnya.
Sekolah Pagesangan memiliki empat kelompok, yaitu anak-anak, remaja, perempuan, dan relawan. Setiap kelompok membahas kegiatan yang mereka butuhkan dan membuat kontrak belajar bersama fasilitator. Misalnya kontrak belajar untuk menyiapkan pengolahan tanaman biji-bijian atau serealia.
Ada 50 anak yang belajar di Sekolah Pagesangan pada awal maktab itu berdiri. Mereka sinau di berbagai tempat. Saat belajar tentang pupuk kandang, misalnya, fasilitator akan mengajak bocah-bocah itu ke kandang milik penduduk. Mereka juga kerap menggunakan perkakas pertanian milik orang tua mereka untuk praktik bertani.
Alasan lain Diah mendirikan Sekolah Pagesangan adalah ia gelisah melihat tidak semua anak dapat mengecap pendidikan. Padahal pendidikan merupakan salah satu cara memutus rantai kemiskinan.
Diah sebelumnya mendirikan sekolah terbuka di Kampung Nyungcung, Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, pada 2000. Sekolah informal itu menjadi titik balik kehidupan perempuan kelahiran Banyuwangi, Jawa Timur, tersebut karena ia merasa lebih bermanfaat bagi orang lain. Pada 2003, ia harus pindah ke Yogyakarta mengikuti suaminya.
Mimpinya mendirikan sekolah alternatif tidak pudar meski ia telah pindah ke Kota Gudeg. Sekolah Pagesangan itulah wujud mimpinya. “Sekolah yang membebaskan, berdaya, dan merdeka,” tutur ibu dua anak itu.
Diah tidak pernah memohon bantuan ke mana pun untuk membiayai Sekolah Pagesangan. Sekolah tersebut mendapat dana dari hasil penjualan produk penganan lokal bikinan warga Dusun Wintaos, seperti tempe khas Gunungkidul berbahan kacang koro, tiwul instan, keripik singkong, dan emping. Lini usaha tersebut dikelola oleh seratusan perempuan yang tergabung dalam Kedai Pagesangan.
Semula penganan olahan ini mereka pasarkan di sekitar Yogyakarta dengan mengandalkan jaringan perkawanan Diah. Sejak 2014, pasar berkembang hingga ke Jakarta dan Surabaya. Bahkan dalam sepekan mereka bisa menjual 300 tempe koro dengan omzet Rp 3 juta per bulan.
Aktivitas murid sekolah Serincil mengumpulkan bibit tanaman buah untuk ditanam, di Desa Cibunian, Pamijahan, Kabupaten Bogor, Jawa Barat/Dok Brigita Laura Fitria
Biaya operasional sekolah juga diperoleh dari hasil penjualan buku yang ditulis Diah berjudul Gesang di Lahan Gersang. Buku yang bercerita tentang pengalaman Diah saat mendirikan Sekolah Pagesangan dan belajar dengan anak-anak Dusun Wintaos itu diterbitkan pada 2017. Lima-sepuluh persen hasil penjualan buku itu dialokasikan untuk biaya operasional sekolah.
Murniatun, alumnus pertama Sekolah Pagesangan, mengatakan, saat masih duduk sekolah dasar, ia kerap membawa pekerjaan rumah ke sekolah itu untuk dikerjakan bersama teman-temannya dan dibantu fasilitator. Bahkan Diah membayar biaya sekolah Murniatun saat dia menjadi siswa Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Panggang.
Setelah lulus dari Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 1 Saptosari, Kabupaten Gunungkidul, Murniatun memilih tidak kuliah dan menjadi fasilitator di Sekolah Pagesangan. Perempuan 22 tahun itu juga memasarkan produk pangan olahan Kedai Pagesangan. “Saya ingin membuktikan di desa dan Sekolah Pagesangan bisa berdaya,” ucap koordinator pemasaran Kedai Pagesangan itu.
Ratusan kilometer dari Kabupaten Gunungkidul, Brigita Laura Fatria mendirikan sekolah serupa di Desa Cibunian, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor. Ia menamai tempat belajar yang berdiri pada 12 September 2012 itu Sekolah Rimbawan Kecil atau Serincil.
Perempuan yang akrab disapa Lola itu mengenal Desa Cibunian pada 2012. Saat itu Pamijahan diguncang gempa bumi. Perempuan kelahiran Bandar Lampung itu turun menjadi relawan di sana bersama mahasiswa IPB lain. Ia seketika jatuh cinta pada suasana perdesaan dan pegunungan di Pamijahan. “Saya langsung berkeinginan tinggal di sana dan mengimplementasikan ilmu yang dimiliki selama ini,” kata Lola, 30 tahun, Kamis, 27 Januari lalu.
Mulanya, Sekolah Rimbawan Kecil bertujuan memberikan pelajaran tambahan dan penyembuhan atas trauma anak-anak korban gempa. Nama Rimbawan Kecil dipilih lantaran saat itu relawan dari IPB datang membantu sembari membawa bendera Mahasiswa Pencinta Kelestarian Alam Rimbawan. Biaya operasional sekolah itu berasal dari dana pribadi Lola dan donatur.
Lulus kuliah pada 2013, Lola mulai bekerja. Ia menyisihkan sebagian penghasilannya untuk membeli tanah di Pamijahan agar Serincil memiliki tempat permanen. Pada 2017, alumnus jurusan Konservasi Sumber Daya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB itu bisa membeli lahan seluas 1.500 meter persegi di Kampung Muara, Desa Cibunian.
Serincil mulanya diperuntukkan bagi anak-anak berusia 3-15 tahun. Setiap Ahad, Lola dan relawan lain mengajarkan pertanian, konservasi, reboisasi, juga penyemaian bibit pohon keras. Pelajaran tersebut sangat bermanfaat bagi anak-anak yang tinggal bersebelahan dengan Taman Nasional Gunung Halimun Salak itu. Bahkan kini anak-anak dari luar Desa Cibunian juga ikut belajar di sekolah informal tersebut.
Brigita Laura Fitria/Dok Brigita Laura Fitria
Setelah Lola menikah dan memiliki dua anak, pengelolaan Serincil dilanjutkan oleh Liliana Adhi. Mahasiswa Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB itu kini lebih berfokus mengajarkan konservasi pada siswa di Serincil. Tujuannya: melestarikan Desa Cibunian yang rawan terkena bencana.
Anak-anak di Serincil juga diajarkan mengamati satwa, mengenal tumbuhan, dan mendongeng dengan tema lingkungan. Bahkan sebulan sekali mereka diajak mendaki ke kebun teh Cianten, Kabupaten Bogor. “Selama perjalanan, anak-anak dikenalkan dengan beragam tumbuhan dan satwa yang ada di sekitar,” tuturnya.
Di Pulau Tanakeke, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan, Nurhayati bersama komunitas Womangrove berjuang memberikan pemahaman kepada para perempuan di pulau itu mengenai pentingnya bakau alias mangrove bagi daerah pesisir. Bagian barat dan timur pulau yang masuk wilayah Desa Tompotana, Kecamatan Tanakeke, itu dipenuhi pohon bakau. Tinggi dan lebatnya tumbuhan pesisir itu bervariasi. Di barat, tumbuhan tersebut tumbuh lebat, sementara di seberangnya tingginya hanya sebetis dan lahan di beberapa titik justru gundul.
Indar Daeng Razak, warga desa itu, mengatakan pada 2000 bakau di nusa tersebut mulai dibabat habis menggunakan alat berat dan lahannya diubah menjadi tambak bandeng. Tambak tersebut hanya bertahan 5-10 tahun. Setelah itu, lahan ditanami mangrove kembali. “Masyarakat sadar pernah ada abrasi, ombaknya sampai kampung,” ucap Razak, 50 tahun, Selasa, 1 Februari lalu.
Penanaman bakau di Pulau Tanakeke tak lepas dari peran komunitas Womangrove yang digerakkan Nurhayati. Perempuan 29 tahun itu melanjutkan program yang dirintis sebuah lembaga swadaya masyarakat asal Kanada. Pada 2010, lembaga tersebut membentuk kelompok pegiat lingkungan di Desa Tompotana.
Aktivitas warga Desa Tompotana Kecamatan Tanakeke Kbupaten Takalar, 1 Februari 2022/Tempo/Didit Hariyadi
Sejak 2010 hingga 2015, Womangrove dan lembaga itu memberikan pemahaman kepada perempuan di pulau tersebut ihwal pentingnya bakau bagi daerah pesisir. Dari situ, para perempuan diberdayakan untuk beragam kegiatan, seperti penanaman mangrove. “Kalau hutan mangrove banyak biota seperti kepiting, nanti bisa menghasilkan uang,” ujar Nurhayati.
Kegiatan tersebut tak selalu berjalan mulus. Di Pulau Tanakeke, mangrove dimiliki oleh penduduk. Mereka memotong tumbuhan pesisir itu untuk dijadikan arang dan dijual ke rumah makan serta hotel di Kota Makassar. Komunitas Womangrove tak bisa memaksa mereka berhenti menebang mangrove. Nurhayati dan relawan lain hanya bisa mendampingi dan memberikan pemahaman agar masyarakat tidak membabat habis hutan bakau demi mencegah abrasi.
Lambat laun warga Pulau Tanakeke tidak lagi menebang bakau secara masif. Mereka mengerti tumbuhan pesisir itu memerlukan waktu tumbuh yang lama dan efektif mencegah abrasi. Pada 2020, Womangrove dan masyarakat setempat menanam kembali tumbuhan itu di lahan seluas 30 hektare.
Razak merasakan manfaat kembalinya hutan mangrove di Pulau Tanakeke. Kini para nelayan bisa mencari ikan di sekitar hutan itu. Ketika hutan gundul, mereka harus melaut jauh demi mendapatkan ikan. “Kepiting dan ikan tidak jauh berkeliaran lagi setelah mangrove kembali tumbuh,” tuturnya.
SHINTA MAHARANI (YOGYAKARTA), M.A. MURTADHO (BOGOR), DIDIT HARIYADI (TAKALAR)
____
* Koreksi 20 Februari 2022 pada nama departemen almamater Brigita Laura Fatria.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo