Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

gaya-hidup

Anak Muda Penikmat Wine

Anak-anak muda penikmat minuman anggur atau wine memilih minuman berdasarkan kedekatan kisah dengan jenis dan merek anggur tertentu.

27 Agustus 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Penikmat wine biasa membeli dan mengoleksi produk tertentu yang memiliki kisah serta kedekatan emosional.

  • Harga satu botol anggur dari Margaux vintage 2015 bisa mencapai Rp 40 juta.

  • Rose dan white wine bisa menjadi alternatif bagi peminum pemula yang belum kuat terhadap rasa tanin dan asam.

TIGA botol minuman anggur merah berbagai jenis dan jenama berdiri berjajar di atas sebuah meja kayu besar. Sebagian isi dari botol sudah berada di dalam tiga decanter—bejana kaca serupa pitcher dengan sejumlah variasi bentuk yang berfungsi memisahkan sedimen dan mengaerasi wine. Teknik ini sering digunakan pada anggur dengan karakter tanin kuat dan bertubuh penuh, seperti cabernet sauvignon dan syrah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada bagian label botol pertama tertulis anggur Allegrini produksi winery Kota Veneto, Italia, yaitu Corte Giara: Valpolicella. Dua botol lain bertulisan anggur jenis pinot noir produksi Limited Edition 20 Barrels asal Cile dan cabernet sauvignon buatan pabrik wine asal California, Amerika Serikat, yaitu Morgan Bay Cellars. Warna tiap minuman anggur tersebut tampak berbeda saat berada di dalam decanter.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Faye Louise, 44 tahun, mengatakan sengaja menyajikan tiga jenis wine dengan beragam rasa dan tekstur tersebut saat menjamu Tempo di kantornya di Pulogadung, Jakarta Timur, Kamis, 18 Agustus lalu. Dia mengeluarkan belasan gelas wine berbagai bentuk, dari tipe standar hingga reedel winewings yang memiliki mulut lebih lebar.

“Setiap anggur harus diminum dengan gelas yang sesuai agar rasa khasnya benar-benar keluar secara sempurna,” ucap Faye sambil memutar gelas wine di tangannya atau swirling.

Menurut Faye, kegemarannya pada minuman fermentasi buah anggur itu berkembang saat ia bekerja sebagai sales marketing director di sebuah perusahaan kamera di Jakarta, awal 2000-an. Saat itu dia harus menjalin komunikasi dan relasi dengan sejumlah klien yang memiliki gaya hidup dan punya hobi meminum wine. Minatnya ini makin tumbuh saat ia mendirikan perusahaan distributor gelas minuman alkohol jenis wine dan bir pada 2013.

Penikmat dan kolektor wine, Hamal Fauzi di kediamannya, Andara, Jakarta, 25 Agustus 2022/TEMPO/M Taufan Rengganis

Tapi, Faye menjelaskan, perkenalan pertamanya pada minuman wine justru terjadi ketika dia berusia enam tahun. Dia mengatakan keluarga besarnya memiliki kebiasaan meminum wine sebagai pendamping acara makan bersama. Kegiatan ini terutama dilakukan pada momen khusus, seperti ulang tahun.

Selain dengan keluarga, Faye dan adik-adiknya pernah menghabiskan sejumlah botol anggur untuk mabuk bersama teman-teman saat remaja. Saat itu dia menemukan puluhan botol wine vintage 1980-an—istilah untuk menyebut tahun panen buah anggur yang menjadi bahan baku dari sebuah botol wine—saat membersihkan bekas kamar kakek angkatnya yang berasal dari Prancis. Semua minuman tersebut sengaja ditinggal saat kakeknya kembali ke negara asalnya. “Dibuat minum dengan teman-teman. Padahal kalau cek harganya sekarang per botolnya mencapai Rp 12 juta,” ujarnya.

Meski demikian, Faye mengaku belum memiliki minat mengumpulkan wine jenis tertentu. Hingga saat ini dia hanya membeli anggur yang memang akan diminum dalam waktu dekat. Dia pun mengkonsumsi minuman keras jenis spirit atau yang berasal dari proses penyulingan, seperti rum, vodka, wiski, dan tequilla. “Karena biasa ikut acara yang minum anggur berkelas atau mahal, lidahnya rusak, jadi tak bisa menikmati anggur-anggur yang biasa,” katanya.

Damian Salvetti Thamrin, adik kandung Faye, justru sudah mulai menjadi kolektor anggur. Saat ini Damian setidaknya memiliki sekitar 100 botol anggur produksi beberapa winery di kawasan old world—sebutan untuk wine yang berasal dari kawasan Eropa, terutama Prancis dan Italia. Sebagian besar koleksinya adalah wine dari Kota Margaux, Bordeaux, Prancis. Selain menyukai rasanya, dia mengklaim punya ikatan emosional karena kesamaan nama produk tersebut dengan anak perempuannya.

“Setiap tahun saya cari produksinya untuk disimpan. Mungkin sekian puluh tahun lagi itu bisa jadi hadiah untuk putri saya,” tutur pria berusia 40 tahun ini.

Selain produksi terbaru, Damian secara khusus memburu anggur Margaux dengan vintage atau keluaran 1982 dan 1998. Dia selalu membuka wine Margaux 1982 setiap merayakan hari ulang tahun karena merasa seumuran dengan minuman tersebut. Adapun anggur produksi 1998, dia menambahkan, menjadi pengingat titik balik kehidupannya dari remaja nakal menjadi lebih baik.

Damian tak mendetailkan harga yang biasa dibayar untuk memburu anggur vintage tersebut. Tapi, menurut dia, harga sebuah wine biasanya dipengaruhi kualitas anggur saat proses panen. Hal ini yang kemudian membuat minuman anggur sebuah daerah pada vintage tertentu bisa memiliki harga tinggi. Selain usia produk, penggemar wine kerap menilai mahal botol anggur yang memiliki kisah atau sejarah.

Salah satunya adalah Margaux 2015 yang memiliki kualitas buah anggur yang tinggi. Selain itu, anggur vintage ini adalah karya terakhir pembuatnya atau wine maker yang meninggal pada tahun yang sama. Harga retail pada awal penjualan tercatat sekitar Rp 4,5 juta per botol. Namun angka tersebut melonjak hingga sekitar Rp 40 juta per botol pada awal 2022.

“Sudah habis dibeli kolektor. Untuk beberapa lama tak akan mudah mencari wine ini. Mungkin sampai ada kolektor yang mau menjual,” kata Damian.

Meski begitu, menurut Faye dan Damian, penyuka wine awal tak perlu langsung menyasar botol dengan harga jutaan rupiah. Mereka menilai hobi ini bisa dimulai dengan mengenal rasa, aroma, dan tekstur pada wine standar yang dibanderol dengan harga Rp 300-600 ribu per botol. Toh, kata mereka, menikmati anggur bukan untuk kesombongan.

Wine, tutur Damian, kerap menjadi teman bersosialisasi dan mengobrol yang baik karena memiliki karakter yang berbeda dengan minuman beralkohol lain. Meski minuman keras, peminum anggur tak akan langsung mabuk setelah menenggak satu atau dua gelas. Durasi menghabiskan satu gelas anggur pun cukup lama. Selain itu, efek alkohol wine memberi perasaan yang rileks dan tenang. “Biasanya kalau buka botol itu kami bisa mengobrol hingga enam jam,” ucapnya.

Kolektor awal, Hamal Fauzi, pun mengatakan ia memulai hobinya dengan membeli wine yang harganya terjangkau tapi berkualitas baik. Dia menuturkan, peminum wine di Indonesia bisa mencoba anggur buatan sejumlah negara-negara tetangga, seperti Australia dan Amerika Selatan, yang beberapa produknya seharga Rp 200-400 ribu per botol. Beberapa wine itu juga masuk daftar duty free (tanpa pajak).

Hamal sendiri adalah kolektor 15 botol wine dari beberapa negara. Salah satu yang paling banyak adalah produksi Australia, yaitu Penfolds dengan vintage mulai 2012. Selain harga yang terjangkau, ini adalah merek wine pertama yang menjadi pemicu minatnya pada minuman fermentasi anggur. Dia membeli sebotol Penfolds saat merayakan hari ulang tahun pernikahan pada Mei 2021. Saat itu dia dan istrinya memasak steak dan meminum anggur untuk mengenang masa ketika belajar di London, Inggris.

Namun perkenalan pertama Hamal dengan anggur justru terjadi saat hari pernikahannya, Mei 2017. Saat itu, seorang kerabatnya memberi hadiah sebotol wine. Dia kemudian merusak minuman tersebut karena gagal mencabut dan justru menenggelamkan cork—tutup botol berbahan gabus atau kayu—ke dalam anggur. Dia kembali bersinggungan dengan anggur saat berada di tengah budaya dan tradisi minum wine di London. 

Namun dua momen itu tak membangkitkan minatnya pada minuman tersebut. Dia baru mulai serius pada hobi ini ketika lebih banyak bekerja dari rumah atau work from home saat awal masa pandemi Covid-19. Dia kerap menghabiskan waktu mencari informasi tentang budaya dan industri wine. Dia pun menaruh minat karena mengetahui pada setiap botol anggur ada kisah masing-masing yang berdampak pada rasa.

Selain menyukai Penfolds, Hamal tengah gandrung terhadap anggur Chianti dan Brunello di Montalcino dari Italia. Bahkan dia memasukkan kawasan pertanian anggur Italia sebagai salah satu destinasi harapan di masa depan. “Karena anggur jadi punya bucket list ingin ke perkebunan dan pabrik wine di Italia,” katanya.

Selain mengoleksi anggur, Hamal bergabung dengan komunitas penikmat wine yang cukup eksklusif bersama belasan ekspatriat atau warga negara asing. Mereka biasanya berkumpul di restoran wine atau apartemen salah satu anggotanya di kawasan Sudirman Central Business District atau SCBD, Jakarta Selatan. Pertemuan yang juga berisi tukar informasi dan pengetahuan tentang jenis wine itu berlangsung tiap pekan. Hamal tak menafikan bahwa gaya hidup dan hobinya ini membutuhkan biaya cukup besar.

Penggemar wine Jeanne Hadi, 28 tahun, mengatakan peminum pemula dan muda juga tak perlu memaksakan diri mengkonsumsi anggur merah atau red wine yang memiliki karakter rasa lebih sepat dan asam. Menurut dia, ada dua jenis produk lain yang juga berasal dari fermentasi anggur, yaitu rose dan white wine. Dua jenis minuman ini lebih familier bagi lidah masyarakat Indonesia, termasuk generasi milenial dan generasi Z. Keduanya relatif memiliki aroma dan rasa yang lebih manis.

“Bisa disajikan secara dingin. Cocok juga untuk santai saat sore menjelang malam,” ucap Jeanne saat ditemui di Vin+ Kemang, Jakarta Selatan.

Salah satunya adalah anggur jenis pink moscato produksi Australia, De Bortoli, yang harganya Rp 300-400 ribu per botol. Rasa manis pada wine juga tetap seimbang dengan takaran acidity dan tanin yang tetap muncul di mulut. Aroma bunga yang tercium saat memutar gelas dan hendak meminum juga memberi perasaan rileks.

Brand Manager Vin+ Group, Jeanne Hadi menunjukkan koleksi wine dari berbagai Negara, di Kemang, Jakarta, 23 Agustus 2022/TEMPO/Haninda Hasyafa

Jeanne sendiri bukan berasal dari keluarga yang memiliki tradisi atau kebiasaan meminum anggur. Dia bahkan baru mencoba minuman keras dengan membeli sebuah merek minuman perasa beralkohol yang pernah dijual bebas di minimarket ketika berusia 16 tahun.

Dia mulai berkenalan dengan tradisi dan budaya wine ketika menempuh pendidikan pariwisata di Chicago, Amerika Serikat. Saat itu teman-temannya biasa menghabiskan waktu dengan piknik di taman atau ngobrol di apartemen sambil meminum anggur. Beberapa materi kuliahnya pun sempat mengenalkannya pada jenis-jenis wine, terutama dalam padu padan dengan makanan utama.

Pengetahuan dan pengalamannya dengan wine makin berkembang saat menjalani magang dan kerja selama 3,5 tahun di sebuah hotel bintang lima di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab. Sebagai seorang head bartender, dia mengaku sudah bosan dengan minuman jenis spirit. Dia dan rekan-rekannya lebih sering menikmati sejumlah produk wine ketika kembali ke apartemen.

Kini dia pun makin sering meminum anggur karena bekerja sebagai salah satu brand manager grup Vin+. Jeanne secara spesifik menangani produk wine dari Amerika Latin, terutama Cile dan Argentina, serta soju dari Korea Selatan. Dia setidaknya mempelajari secara detail karakter 100-an produk yang ditanganinya. “Banyak yang bilang kerjanya enak karena digaji untuk minum-minum,” tutur Jeanne sambil sesekali meminum pink moscato.

Meski berkaitan dengan pekerjaan, Jeanne mengaku sangat menyukai dan menjadi peminum aktif wine. Namun dia belum siap melakukan investasi besar untuk menjadi seorang kolektor. Selain harus membeli wine yang harganya mahal, seorang kolektor perlu memiliki sejumlah alat dan ruang khusus dengan harga mahal untuk menyimpan wine koleksinya. Hingga saat ini, dia hanya membeli dan menyimpan dalam waktu pendek.

Dia bahkan mengaku bisa menghabiskan satu botol wine ukuran 750 mililiter sendirian. Kebiasaan ini tumbuh saat ia harus menjalani work from home atau bekerja dari rumah selama masa pandemi Covid-19. “Minumnya tetap santai, satu gelas, lalu satu gelas. Ternyata satu botol habis,” ucap Jeanne.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus