Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

hiburan

15 Tahun Kepergian W.S. Rendra, Berikut Profil Sang Burung Merak

W.S. Rendra telah berpulang 15 tahun lali. Nama dan karyanya terus melekat dalam khasanah sastra Indonesia.

7 Agustus 2024 | 14.22 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Lima belas tahun kepergian maestro sastra Indonesia, W.S. Rendra, pada 6 Agustus 2024. Nama W.S. Rendra selalu identik dengan puisi yang penuh semangat juang dan kritik sosial.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sang penyair yang kerap dijuluki "burung merak" ini telah meninggalkan warisan yang tak ternilai bagi dunia sastra Indonesia. Karya-karyanya, yang lahir dari jiwa yang sensitif dan pikiran yang kritis, berhasil menyentuh hati jutaan pembaca dan menginspirasi generasi-generasi penerus.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lahir di Solo pada 7 November 1935, Rendra sejak muda telah menunjukkan bakat luar biasa dalam bidang kesusastraan.

Ayahnya adalah seorang guru Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa di salah satu sekolah Katolik di Solo. Selain itu, Sugeng Brotoatmodjo ini juga dikenal sebagai pelaku seni drama tradisional. Sementara sang ibu adalah seorang penari di istana Kasunanan Surakarta Hadiningrat.

Dikutip dalam buku karya Harlina Indijati dan Abdul Murad yang berjudul Biografi Pengarang Rendra dan Karyany", keluarga ini adalah keluarga Katolik yang dibesarkan dalam lingkungan budaya Jawa. Tumbuh-besar di lingkungan seni dan budaya, membuat Renda mampu menghasilkan karya sastra berupa puisi, naskah drama, cerpen, dan lainnya.

Hingga SMA, W.S. Rendra menempuh pendidikannya di Surakarta, Jawa Tengah. Sepanjang 1950-an puisi-puisi dan cerpennya terus dimuat dalam berbagai majalah, seperti Kisah, Seni, Basis, dan Konfrontasi. Lulus SMA, Rendra lanjut berkuliah di Universitas Gadjah Mada (UGM) jurusan Sastra dan Budaya Inggris.

Karya-karyanya yang pertama kali muncul pada masa remaja telah mencuri perhatian para kritikus sastra. Namun, puncak kepopulerannya dicapai pada dekade 1960-an dan 1970-an, ketika puisi-puisinya yang sarat akan semangat perlawanan terhadap ketidakadilan sosial menjadi semacam himne bagi generasi muda yang haus akan perubahan.

Salah satu karya Rendra yang paling terkenal adalah "Ballada Orang-Orang Tercinta". Puisi ini dianggap sebagai potret nyata kehidupan masyarakat Indonesia pada masa itu, dengan segala permasalahan sosial dan politik yang mendera. Gaya bahasa Rendra yang lugas dan penuh emosi membuat puisi ini mudah dicerna oleh berbagai kalangan, baik kalangan terpelajar maupun masyarakat awam.

Selain sebagai penyair, Rendra juga dikenal sebagai seorang dramawan dan sutradara teater yang handal. Melalui Bengkel Teater yang didirikannya di Yogyakarta, Rendra berhasil melahirkan banyak sekali karya teater yang berkualitas dan inovatif. Bengkel Teater menjadi semacam laboratorium eksperimen bagi para seniman muda yang ingin mengembangkan bakat dan kreativitasnya.

Pengaruh Rendra terhadap dunia sastra Indonesia sangatlah besar. Ia berhasil mengubah wajah puisi Indonesia yang sebelumnya cenderung kaku dan akademik menjadi lebih hidup dan relevan dengan kehidupan masyarakat. Puisi-puisi Rendra tidak hanya sekadar kumpulan kata-kata indah, tetapi juga mengandung pesan-pesan yang mendalam tentang kemanusiaan, keadilan, dan perjuangan.

W.S. Rendra wafat di Rumah Sakit Mitra Keluarga Depok pada Kamis 6 Agustus 2009 pukul 22.00. Penyair yang dijuluki Burung Merak ini meninggal karena komplikasi penyakit yang dideritanya. Pria yang lahir di Solo, Jawa Tengah pada 9 November 1935, disemayamkan di rumahnya Kelurahan Cipayung, Pancoran Mas, Kota Depok, Jawa Barat.

Pemakaman W.S. Rendra berlangsung khidmat dan dihadiri oleh ribuan pelayat. Jenazahnya dimakamkan di kompleks pemakaman keluarga di kawasan Cipayung Jaya, Citayam, Depok, Jawa Barat. Makam Rendra terletak tidak jauh dari makam Mbah Surip, sahabatnya yang juga seorang seniman.

Kompleks makam Bengkel Teater, tempat peristirahatan terakhir Rendra, memang sengaja dirancang oleh beliau untuk menjadi tempat peristirahatan para seniman. Makam Rendra sendiri berada satu tingkat di atas makam Mbah Surip, seolah-olah menjadi simbol penghormatan terhadap sosok yang telah banyak berkontribusi bagi dunia seni dan budaya Indonesia.

Kepergian W.S. Rendra merupakan kehilangan besar bagi dunia sastra Indonesia. Namun, semangat juang dan karya-karyanya akan terus hidup dan menjadi inspirasi bagi generasi mendatang. Rendra telah membuktikan bahwa puisi tidak hanya sekadar hiburan, tetapi juga bisa menjadi alat untuk mengubah dunia.

SUKMA KANTHI NURANI  | WINDA OKTAVIA

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus