Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Tepat hari ini, 20 April 2024, Taman Mini Indonesia Indah atau TMII genap berusia 49 tahun. Pembangunan TMII yang merupakan salah satu destinasi wisata favorit Ibu Kota saat ini, ternyata tidak berjalan mulus.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Proyek yang dulunya disebut dengan nama Miniatur Indonesia Indah (MII) ini diproyeksikan membutuhkan dana sebesar Rp10,5 miliar. MII digagas oleh istri Presiden Soeharto, Tien Soeharto pada 1971.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Diawali dari impian Tien Soeharto yang ingin membawa rakyatnya menjelajah cerita Indonesia di satu taman terbuka, TMII lahir dan diresmikan pada 20 April 1975 sebagai kawasan pelestarian dan pengembangan budaya bangsa. Keragaman 33 provinsi di Indonesia dikemas dalam bentuk miniatur kepulauan Nusantara, anjungan daerah, bangunan dan arsitektur tradisional, kesenian daerah, taman rekreasi, dan berbagai macam wahana. Lahan seluas 150 hektare disulap menjadi panggung seni, rekreasi, dan sarana edukasi bagi pengunjung dari berbagai rentang usia.
Sebagian masyarakat menganggap rencana pembangunan MIl bertolak belakang dengan anjuran hidup prihatin dari Presiden Soeharto. Mereka menyebut rencana pembangunan MIl serupa dengan proyek mercusuar. Tidak punya banyak manfaat untuk masyarakat dan justru mengingatkan mereka pada proyek mercusuar garapan Bung Karno pada era Orde Lama.
Kelompok penentang pembangunan MIll berupaya menekan gagasan Ibu Tien dengan dua cara, yakni demonstrasi dan diskusi. Gerakan Penghematan (Gepeng) mendatangi kantor pemerintah terkait pembangunan MIl, sedangkan Gerakan Penyelamat Uang Rakyat menyambangi sekretariat Yayasan Harapan Kita (YHK) dan membentangkan spanduk "Sekretariat Pemborosan Uang Negara" pada 23 Desember 1971.
Tak Iama setelah aksi bentang spanduk, sekelompok orang sekonyong-konyong muncul membawa senjata tajam. Mereka menyerang anggota Gerakan Penyelamat Uang Rakyat. Satu orang anggota Gerakan Penyelamat Uang Rakyat terluka kena bacok. Kemudian suara tembakan terdengar. Kaca sekreta YHK pecah dan seorang lagi anggota Gerakan Penyelamat Uang Rakyat roboh. Peluru bersarang di pahanya.
Penyerangan terhadap anggota Gerakan Penyelamat Uang Rakyat menambah gelombang protes mahasiswa terhadap rencana pembangunan MII. Antara lain dari organisasi Perhimpunan Mahasiswa Katolik Indonesia, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), dan Gerakan Mahasiswa Kristen
Empat organisasi mahasiswa tersebut turun ke jalan menuntut polisi mengusut penyerangan terhadap anggota Gerakan Penyelamat Uang Rakyat, dan meminta pemerintah menimbang ulang proyek MII
Sekelompok mahasiswa Universitas Indonesia turun menyatakan simpatinya atas kasus penyerangan terhadap anggota Gerakan Penyelamat Uang Rakyat. Mereka bergerak ke kediaman Tien dan Presiden Soeharto di Jalan Cendana, Jakarta, pada 27 Desember 1971.
Mahasiswa ingin berdialog dengan Tien Soeharto dan Presiden Soeharto mengenai rencana pembangunan TMII. Tapi keinginan mereka tak terwujud. Petugas keamanan berjanji meneruskan aspirasi mereka kepada presiden dan ibu negara.
DIkutip dari penelitian Anak Agung, kontroversi lain adalah gaya arsitektur ruang serba guna yang ada di Taman Mini mengadopsi gaya Jawa Tengah dan diberi nama Pendopo Agung Sasono Utomo, yang merupakan nama Jawa Tengah dan bukan nama Indonesia. Begitu juga dengan salah satu museum di Taman Mini, yaitu Museum Indonesia yang mengadopsi gaya arsitektur Bali. Museum ini memuat berbagai objek dari berbagai wilayah dan grup etnis di Indonesia.
Pameran utama dari museum ini adalah diorama upacara pernikahan tradisional Solo yang dihadiri oleh tamu-tamu yang menggunakan pakaian tradisional dari berbagai daerah di Indonesia. Diorama ini seharusnya merepresentasikan ke-Bhinneka Tunggal Ika-an Indonesia, namun mereka menggunakan manekin pengantin Solo, dengan detail yang sangat indah, berkebalikan dengan beberapa tamu yang menggunakan busana terbuat dari rumput dan hiasan kepala terbuat dari bulu-bulu burung.
Menurut Pemberton (1994), para kaum elit Jawa Tengah yang tinggal di Jakarta merupakan suporter utama dari Taman Mini, termasuk Presiden Soeharto dan istrinya Ibu Tien Soeharto. Hal ini membuktikan bahwa pemilihan budaya yang direpresentasikan di Taman Mini tidak merata melainkan didominasi oleh etnis grup tertentu.