Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Batu - Museum Srimulat resmi dibuka untuk umum di Bumiaji, Kota Batu, Jawa Timur, Kamis petang, 8 Agustus 2024. Tanggal dan bulan tersebut sengaja dipilih untuk mengenang kelahiran Teguh Slamet Rahardjo, pimpinan rombongan sandiwara komedi beranggotakan ratusan orang itu pada 8 Agustus 1926.
Menempati bangunan luas memanjang yang sebagian kecilnya dipakai untuk berjualan kue serta makanan, lahan sekitar museum masih berupa tanah kosong yang ditanami pohon jeruk. Jarak antar-rumah masih jarang.Hawanya pun terasa sejuk.
Kegiatan yang dihadiri serarus lebih tamu undangan dan warga masyarakat sekitar itu makin meriah karena pelawak senior Tarzan, komedian Alfiansyah Bustami alias Komeng, dan anak almarhum Gepeng, Tatang, datang. Hadir juga Eko Prasetyo, anak sulung Teguh.
Museum Srimulat menempati seperempat dari total luas bangunan. Penataan bagian depan museum mengingatkan pada saat grup lawak tersebut masih aktif pentas di gedung pertunjukkan sejak 1961-1989. Misalnya ditampilkan poster-poster lukisan jadwal pementasan Srimulat beserta judulnya.
Di dalam museum, koleksinya cukup komplit. Antara lain berupa foto-foto lama personil Srimulat, baik saat pentas di atas panggung maupun di kala santai di balik panggung. Selain itu juga kaset rekaman pita, boneka kayu berwajah para anggota Srimulat, kaset rekaman pita, beberapa kostum yang pernah dipakai pelawak Srimulat, serta surat-surat kabar yang memuat foto dan berita mereka.
Koleksi tersebut makin bertambah karena pada momen pembukaan museum itu Tarzan menyumbangkan sepatu beralas tinggi serta celana komprang setinggi dada legkap dengan bajunya. Adapun keluarga Teguh menyumbang jarit, kebaya dan sanggul yang pernah dipakai Djudjuk Djuwariyah, istri kedua Teguh, pentas.
Herry Gendut Janarto dalam bukunya berjudul Berpacu dalam Melodi & Komedi menuliskan, Srimulat mulai menetap di Taman Hiburan Rakyat Surabaya pada 19 Mei 1962. Teguh dan Raden Ayu Srimulat, suami istri yang memimpin rombongan pelawak gagrag Yogyakarta-Solo itu memutuskan mengambil tawaran pemerintah Surabaya masuk ke taman hiburan tersebut sekaligus memeriahkan tempat keramaian yang juga telah diisi ludruk dan wayang orang itu.
Sebelum menetap di THR, rombongan pelawak ditambah pemusik serta penyanyi itu pentas keliling dari pasar malam satu ke pasar malam lainnya menjelajahi kota-kota besar wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur sejak 1950. Waktu masuk THR Surabaya, namanya masih Gema Malam Srimulat.
Gema Malam Srimulat makin berkembang. Anggotanya bertambah banyak karena Teguh menampung pelawak-pelawak tambahan asal Jawa Timur. Teguh mengubah nama Gema Malam Srimulat menjadi Srimulat Revue, dan akhirnya Aneka Ria Srimulat.
Wafatnya Raden Ayu Srimulat pada 1968 tak menyurutkan pamor pabrik humor yang telah mendapat tempat di hati warga Surabaya itu. Bahkan Aneka Ria Srimulat kian jaya setelah Teguh memperistri Djudjuk Djuwariyah pada 1971. Teguh pun dengan semangat membara mengembangkan sayap Srimulat ke Solo pada 1977, Jakarta pada 1980, dan Semarang pada 1986. Tak dapat dipungkiri bahwa makin berkembangnya Srimulat terjadi setelah mereka menetap di Surabaya.
Setelah berjaya empat dekade, pamor Srimulat mulai redup pada 1989. Satu per satu cabangnya rontok. Hingga akhirnya tinggal menyisakan Srimulat Surabaya, yang walaupun kembang kempis, namun masih rutin pentas kendati satu bulan sekali. Srimulat Surabaya akhirnya terpaksa pergi dari THR pada 2019 karena habisnya masa kontrak investor THR.
Hengkang dari Surabaya, Srimulat sempat memindahkan barang-barangya ke Museum Gubug Wayang, Kota Mojokerto. Dua tahun menaruh memorabilia di museum itu, mereka ditawari lahan di Bumiaji oleh Yayasan Sendjojo Njoto Seni Budoyo yang menaungi Museum Gubug Wayang Grup.
“Kami terima tawaran itu karena bagi saya tidak ada persoalan museum Srimulat dibuka di Batu, walaupun idealnya di Surabaya,” kata Eko Meiyono alias Eko Kucing, personel Srimulat Surabaya yang tersisa, sekaligus pengumpul pernak-pernik Srimulat.
Hal senada juga diungkapkan Tarzan. Menurut pelawak yang bergabung Srimulat sejak 1979 ini, di daerah mana pun Museum Srimulat berada bagi dia tak masalah. “Lho di mana saja museum itu tidak ada masalah, yang masalah itu kalau enggak ramai. Kalau ramai berarti banyak orang mengenang tentang Srimulat,” kata Tarzan pada Tempo.
Ia tak mempersoalkan meskipun museum tersebut tidak berada di Surabaya, kota penting bangkitnya Srimulat. Atau pun Solo, Jakarta dan Semarang yang pernah dipakai Teguh mengembangkan usahanya. “Di Batu tak masalah. Tapi kalau di tiap kota yang sampeyan sebutkan itu membuka Museum Srimulat juga, ya, baik-baik saja,” kata dia.
Pilihan Editor: Nunung, Kadir, Tarzan, Tessy Pemain Srimulat yang Bertahan dengan Gaya Srimulatan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini