Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Dilsberg adalah sebuah desa di puncak bukit di Jerman bagian selatan.
Dilsberg terutama dikenal orang dengan Burgfeste atau Kastil Dilsberg, peninggalan Abad Pertengahan.
Jika malam tiba, sekeliling kastil terasa sepi dan sunyi.
DARI puncak bukit, tepat di samping reruntuhan kastil, saya memandang kehijauan bukit-bukit di kejauhan, lalu ke Sungai Neckar yang meliuk dan rumah-rumah yang tampak mungil di lembah bawah sana. Cuaca Sabtu sore awal Mei 2024 itu cerah. Tak ada gugusan kabut yang menghalangi pandangan. Hawa tak terlalu dingin. Saya hanya mengenakan kaus oblong lengan pendek tanpa jaket atau baju hangat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Itu Neckargemünd, ya?” saya menunjuk rumah-rumah di bawah bukit, bertanya kepada Dorothea yang tengah memegang segelas anggur putih.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Bukan. Itu Neckarsteinach,” Anja menyela. Neckarsteinach adalah kota yang berbatasan dengan Neckargemünd, tetapi termasuk negara bagian berbeda.
“Ya, Neckargemünd di lembah sebelah sana,” imbuh Dorothea seraya menunjuk arah di belakang saya.
Sore itu kami tengah menyaksikan pameran instalasi di alam terbuka yang dibuat oleh perupa Nathalie Brändli. Saya sendiri berada di Jerman untuk mengikuti program residensi penulis selama tiga bulan sejak 8 April 2024 atas undangan UNESCO City of Literature Heidelberg yang bermitra dengan Kulturstiftung Rhein-Neckar-Kreis—yayasan budaya tempat Dorothea dan Anja bekerja.
Selama berada di Jerman, saya tinggal di Dilsberg, sebuah desa di puncak bukit yang termasuk dalam area administratif kota kecil Neckargemünd, satu wilayah Karesidenan Rhein-Neckar-Kreis dengan Heidelberg, di Negara Bagian Baden-Wuttemberg, Jerman bagian selatan. Dilsberg berjarak sekitar 4 kilometer dari pusat kota Neckargemünd dan 13 kilometer atau setengah jam naik mobil dari Heidelberg yang lebih dikenal sebagai kota kampus.
Jalan setapak dalam hutan Dilsberg di Neckarsteinach, Jerman. Foto: Anton Kurnia
Dilsberg terutama dikenal orang dengan Burgfeste atau Kastil Dilsberg, peninggalan Abad Pertengahan yang masih terpelihara sebagian bangunan aslinya. Selain itu, pemandangan indah di bukit dan sekitar Dilsberg membuat para pelancong kerap datang untuk melakukan wisata hiking di desa ini, terutama pada akhir pekan dan saat cuaca cerah.
Dilsberg memang desa yang indah dengan pemandangan alam sekitar yang sungguh luar biasa. Tak berlebihan jika saya menyebut Dilsberg sebagai surga di puncak bukit. Jika Priangan yang jelita konon tercipta saat Tuhan tersenyum, mungkin Dilsberg tercipta saat Tuhan tertawa riang.
Kastil atau lebih tepat disebut benteng (fortress) Dilsberg yang tampak tua dan kokoh berukuran tidak terlalu besar. Dari puncak bangunan peninggalan Abad Pertengahan setinggi 16 meter ini, orang bisa melihat dengan leluasa pemandangan seputar Neckartal (lembah Neckar) yang mempesona, juga jalur hiking Neckarsteig, kehijauan hutan Odenwald, dan Kraichgau (daerah perbukitan di bagian selatan Dilsberg).
Meskipun dibangun pada pertengahan abad ke-12, dokumen tertulis pertama tentang kastil ini bertitimangsa 1208. Kastil Dilsberg dapat bertahan selama berabad-abad walau kerap menjadi benteng pertahanan dalam berbagai pertempuran sepanjang sejarah, antara lain Perang Tiga Puluh Tahun antara Jerman dan Prancis pada abad ke-17.
Namun, setelah lebih dari 900 tahun berlalu, kini bisa dibilang yang tersisa hanyalah reruntuhan kastil. Salah satu sebabnya, pada awal abad ke-19, penduduk Dilsberg yang saat itu didera kemiskinan menggunakan sebagian batu-batu penyusun kastil sebagai bahan pembangun rumah.
Sisa reruntuhan kastil yang masih tampak menakjubkan itu menjadi tujuan wisata sejak awal abad ke-20 dan sebagian bangunannya direstorasi. Kini kastil ini dibuka untuk pengunjung setiap hari sejak pukul sepuluh pagi dengan tiket 2 euro (sekitar Rp 35 ribu), kecuali saat musim dingin.
Gerbang Desa Dilsberg dan Taman Rosenplatz di Neckarsteinach, Jerman. Foto: Anton Kurnia
Salah satu hal yang menarik dari kastil ini, selain pemandangan dari puncaknya, adalah sebuah jalan bawah tanah yang terhubung dari bekas sumur di tengah kastil hingga ke hutan di lereng bukit. Pada musim panas, saat hawa tak lagi dingin, jalan bawah tanah yang disebut Brunnenstollen itu dibuka untuk kunjungan wisata.
Awalnya terowongan itu diduga sebagai jalan rahasia untuk pelarian para penghuni kastil jika ada serangan musuh. Namun penyelidikan ilmiah mutakhir menunjukkan bahwa terowongan itu semata-mata dibuat sebagai lubang ventilasi bagi para pekerja di masa lalu yang menggali sumur hingga kedalaman 46 meter.
Semula lubang terowongan itu terlupakan, tapi kemudian ditemukan kembali oleh Fritz von Briesen pada 1896. Dia pernah membaca kisah terowongan tersebut dalam A Tramp Abroad, kisah perjalanan sastrawan Amerika Serikat, Mark Twain, saat berkeliling Eropa pada 1878, termasuk ke Dilsberg. Twain terpesona oleh keindahan dan misteri yang menyelimuti Dilsberg.
“Dilsberg adalah tempat yang menakjubkan. Letaknya juga ganjil. Bayangkan sungai yang indah di hadapan Anda, lalu padang-padang rumput hijau cemerlang di tepi seberangnya, lalu sebuah bukit yang seakan-akan muncul tiba-tiba—tidak ada lereng yang menanjak untuk persiapan, melainkan semacam bukit yang terjadi seketika—setinggi 300 kaki, berbentuk bulat seperti mangkuk, dengan ruang tepat di puncaknya dan menara serta atap arsitekturnya yang bertumpuk, terapit dalam lingkaran bundar sempurna tembok desa kuno…. Dari kejauhan, Dilsberg lebih terlihat seperti mahkota raja,” tulis Twain di dalam bukunya yang saya temukan di sebuah toko buku di Heidelberg.
Saat musim semi, bunga-bunga mawar merah yang tumbuh subur di sekitar dinding kastil mekar menambah keindahan dan suasana romantis. Ada sebuah kisah tragis dari masa lalu yang terkait dengan bunga mawar ini. Seorang gadis cantik yang dijuluki “Rose von Dilsberg” (Mawar dari Dilsberg), putri bangsawan Baron Lauffen yang pernah tinggal di Kastil Dilsberg, menjadi rebutan dua kesatria yang kemudian berduel hingga mati. Kini sesekali kisah itu dipentaskan sebagai pertunjukan teater udara terbuka di halaman kastil.
Selama di Dilsberg, saya tinggal sendirian di lantai paling atas sebuah bangunan lima lantai (termasuk ruang bawah tanah tempat menyimpan anggur) tepat di samping Kastil Dilsberg. Rumah itu disebut Kommandantenhaus alias Rumah Komandan karena dulunya digunakan sebagai rumah kediaman resmi komandan pasukan yang menjaga kastil.
Pemandangan dari jendela belakang Kommandantenhaus sungguh luar biasa. Saat pagi hari, kabut mengapung di atas bukit dan lembah. Saat sore cerah, saya bisa melihat bekas menara air (wasser trum) tua yang mengingatkan saya pada menara sebuah puri dalam cross stich bikinan ibu saya semasa saya kecil, lalu lembah hijau dan Sungai Neckar di bawah bukit.
Bertandang ke Dilsberg
Suhu udara Dilsberg pada musim semi masih lumayan dingin bagi manusia tropis semacam saya. Pada siang hari yang mendung, suhu bisa di bawah 10 derajat Celsius. Selepas makan siang, jika hari cerah dan suhu udara tak terlalu dingin, saya kerap berjalan-jalan mengelilingi desa indah yang dipenuhi rumah tua artistik dan tanaman bunga ini.
Banyak taman menarik di sekitar desa. Salah satunya yang terdapat di depan gerbang desa yang dinamai Rosenplatz. Di taman berdinding batu ini ditanam dan tumbuh aneka jenis mawar yang berasal dari berbagai negeri—tak hanya dari Jerman. Salah satu jenis mawar yang terdapat di situ dan menarik minat saya dinamai Edelrose “Nostalgie”—seperti judul buku cerpen saya. Apakah ini hanya kebetulan?
Ada pula dua gereja tua dengan arsitektur menarik dan menara tinggi yang loncengnya selalu berdentang setiap jam sebagai penanda waktu. Yang satu, di dekat rumah tempat saya tinggal, gereja Protestan. Satu lagi di dekat menara air terdapat gereja Katolik yang di halaman samping dan belakangnya terdapat permakaman. Permakaman itu lebih tampak serupa taman yang terpelihara bersih dan rapi dihiasi dengan bunga-bunga yang tumbuh indah terawat.
Terkadang saya duduk menyendiri sambil merokok dan memandang ke arah lembah dan bukit-bukit hijau di kejauhan di sebuah bangku yang terdapat di taman makam. Saat begitu, sesekali tampak burung gagak hinggap di ujung dahan pepohonan di sekitar. Terkadang muncul pula burung semacam sriti yang terbang berkelompok atau elang yang senang berkelana menyendiri.
Namun tempat nongkrong favorit saya adalah taman yang dikelilingi pagar batu tua yang disebut Schlossgarten (Taman Kastil). Dari bangku-bangku kayu yang dipasang menyebar di tempat-tempat strategis di taman hijau penuh aneka tumbuhan dan bebungaan itu kita dapat memandang lepas ke bukit-bukit di kejauhan dalam panorama yang luar biasa indah.
Jika malam tiba, sekeliling kastil dan bangunan tempat saya tinggal memang terasa sepi dan sunyi. Namun, pada saat semacam itulah tempat tersebut sungguh cocok untuk menjadi tempat merenung dan menulis bagi seorang penulis seperti saya yang telah jauh-jauh menempuh jarak ribuan kilometer dari sebuah negeri tropis yang padat penduduk.
Anton Kurnia, Penulis dan Pelancong
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo