Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PESAWAT yang saya dan suami tumpangi dari Jakarta mendarat di Bandar Udara Syamsudin Noor, Banjarbaru, pukul 09.30 Wita, 23 Desember 2023. Ini menjadi titik awal perjalanan kami untuk menjelajahi Gunung Halau-Halau yang menjulang di bumi Kalimantan Selatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bersama Dayat, pemandu yang menjemput kami di bandara, kami langsung bertolak menuju Desa Kiyu, lokasi base camp pendakian Gunung Halau-Halau, dengan naik mobil. Perjalanan yang akan memakan waktu sekitar empat jam itu melewati beberapa kota, di antaranya Martapura dan Barabai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Martapura mengingatkan pada pelajaran sekolah dasar di akhir 1980-an yang mengharuskan saya menghafalkan bahwa kota itu sebagai penghasil intan terbesar di Indonesia. Sedangkan Barabai adalah ibu kota Kabupaten Hulu Sungai Tengah yang namanya selama ini hanya tersirat di benak saya.
Menjelang sore, kami tiba di Kampung Batu Kambar, Desa Hinas Kiri. Mobil terpaksa berhenti di kampung tersebut karena jalan menuju Desa Kiyu kurang aman bagi kendaraan beroda empat. Kami melanjutkan perjalanan dengan ojek yang telah dimodifikasi layaknya sepeda motor trail lengkap dengan bagasi di kiri-kanan setangnya.
Sebetulnya, jalan dari Kampung Batu Kambar menuju Desa Kiyu sudah dibangun dengan bata paving. Tapi kondisinya saat itu rusak parah, berlubang di sana-sini dan tidak rata, sehingga berbahaya bagi mobil biasa yang bukan kendaraan off-road.
Jalur menyebrangi sungai menuju puncak Gunung Halau Halau, Kalimantan Selatan, 25 Desember 2023/Muhammad Hidayatullah
Setiba di Desa Kiyu, kami langsung menuju kediaman keluarga Rudinor, Ketua Kelompok Sadar Wisata Gunung Halau-Halau, yang menjadi base camp para pendaki. Sore itu, suasana base camp ramai dengan para pendaki yang baru turun dari puncak Halau-Halau ataupun baru tiba dari sejumlah daerah di Kalimantan Selatan.
Esoknya, kami tidak langsung menjelajahi Gunung Halau-Halau. Kami memilih beristirahat sehari lagi di Desa Kiyu. Desa yang dihuni sekitar 50 keluarga itu masuk Kecamatan Batang Alai Timur, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan.
Kami berkunjung ke rumah Maribut, tokoh masyarakat di Desa Kiyu, yang akrab disapa Julak atau Pakde jika di Jawa. Maribut mewanti-wanti kami tidak mengambil apa pun tanpa izin warga dan tetua adat selama berada di wilayah Gunung Halau-Halau. Salah satunya tanaman bunga anggrek hutan yang tumbuh subur di pepohonan sepanjang jalur pendakian Halau-Halau.
Suatu hari, ada pendaki yang melanggar larangan itu. Ia mengambil tanaman anggrek hutan. Akibatnya, menurut Maribut, pendaki itu mengalami kesurupan sehingga harus dievakuasi tim pencari dan penyelamat atau SAR gabungan sampai ke base camp para pendaki di Desa Kiyu.
Maribut menambahkan, masyarakat setempat percaya bahwa Gunung Halau-Halau juga merupakan “rumah” makhluk-makhluk yang tak kasatmata. Karena itu, ibarat rumah kita sendiri, apa pun yang diambil dari “rumah” harus mendapat izin pemilik, dalam hal ini tetua adat. Nasihat Maribut itu terus terngiang hingga kami melakukan pendakian esoknya.
•••
GUNUNG Halau-Halau menjadi bagian dari Pegunungan Meratus yang membentang di hampir semua kabupaten di Kalimantan Selatan. Ada dua puncak Gunung Halau-Halau, yakni Halau-Halau Bini dan Halau-Halau Laki. Puncak yang akan kami capai adalah Halau-Halau Laki yang berada di ketinggian 1.901 meter di atas permukaan laut (mdpl). Halau-Halau Laki adalah puncak tertinggi di Pegunungan Meratus dan titik tertinggi di Kalimantan Selatan.
Adapun puncak Halau-Halau Bini tidak boleh didaki. Ada kepercayaan setempat yang menyebabkan puncak itu tidak boleh didaki sembarang orang. “Hanya orang yang memiliki garis keturunan masyarakat Meratus yang boleh mendaki Halau-Halau Bini,” kata Hairiyadi, sejarawan dan peneliti budaya Kalimantan Selatan.
Menurut Hairiyadi, pendakian Gunung Halau-Halau Bini dipamalikan karena ia dipercaya dihuni oleh roh-roh gaib yang suci. “Saya ibaratkan roh-roh gaib itu seperti legenda Nyi Roro Kidul, Ratu Pantai Selatan. Dikhawatirkan pendaki akan tersesat atau hilang karena diambil menjadi anak buah roh-roh gaib tersebut,” tutur dosen purnabakti Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin, ini.
Saat ini Gunung Halau-Halau menjadi salah satu destinasi favorit di Kalimantan Selatan bagi para penggemar wisata petualangan. Jumlah pendaki Gunung Halau-Halau rata-rata 100 orang per bulan. Bahkan, pada masa libur panjang, angka kunjungan itu bisa mencapai 150-200 orang dalam sebulan. Saya dan suami tertarik menjelajahi gunung ini karena, berdasarkan sejumlah informasi, jalurnya yang terjal, sempit, dan dikelilingi pohon-pohon rindang khas hutan Kalimantan. Pemandangan alamnya juga memukau.
Boleh dibilang, meski puncaknya tak terlampau tinggi, Halau-Halau sangat menantang. Apalagi bagi saya yang telah menginjak usia 50 tahun dan baru memulai penjelajahan ke sejumlah gunung di Tanah Air setelah berumur di atas 40 tahun.
Trek mendekati puncak Gunung Halau Halau, Kalimantan Selatan, 27 Desember 2023/Muhammad Hidayatullah
Tantangan jalur Halau-Halau sudah saya rasakan ketika memulai pendakian dari Desa Kiyu pada 25 Desember 2023. Ditemani Dayat sebagai pemandu utama, dua porter, dan satu juru masak, kami awalnya melalui jalan desa yang di-paving. Tak lama berselang, jalurnya berganti menjadi tanah gembur yang licin karena diguyur hujan.
Sepintas, rute menuju Puncak Penitiranggang atau Pos 1 terlihat landai. Tapi, ketika saya lalui, jalurnya ternyata cukup berat sehingga membutuhkan tenaga ekstra. Untuk mempersingkat waktu, Dayat mengajak kami memotong jalan, memasuki hutan bambu, melewati ladang yang ditumbuhi padi, dan menyusuri sungai.
Dengan memotong jalur, kami menghemat waktu 30-45 menit. Ternyata di Pos 1 yang berada di ketinggian 721 mdpl terdapat dua warung, milik Mama Rudi dan Mama Wanda. Kedua warung tersebut memang dibangun masyarakat bagi warga yang pergi ke ladang, juga buat para pendaki yang hendak beristirahat.
Setelah tiga jam berjalan dari Desa Kiyu, kami mengaso di warung Mama Rudi yang dijaga oleh Nuni, warga asli Meratus. Saya menikmati kue untuk (semacam donat berbentuk bulat tapi tanpa lubang) dan minuman teh dingin.
Selepas tengah hari, kami melanjutkan perjalanan ke Pos 2 di ketinggian 517 mdpl. Jadi, secara teknis, kami tidak berjalan mendaki dari Pos 1 ke Pos 2. Jalurnya yang licin dan menurun dengan elevasi sekitar 35 derajat membuat saya harus ekstrahati-hati. Sebab, jalur tersebut kadang membuat saya kehilangan keseimbangan.
Akhirnya, sekitar pukul 16.00 Wita atau setelah 14 ribu langkah menurut jam digital saya, kami tiba di Pos 2 dan kemudian mendirikan tenda di dalam selter. Kami bermalam di Pos 2 yang dekat dengan sumber air. Tak jauh dari Pos 2 juga terdapat air terjun Sungai Karuh.
Esok paginya, sebelum melanjutkan perjalanan, kami singgah di air terjun itu. Untuk mencapai air terjun itu, kami harus melewati bebatuan sungai yang cukup licin. Air terjun Sungai Karuh memiliki tinggi sekitar 40 meter dan bentuknya lebar.
Keindahan air terjun itu mengundang banyak orang untuk mengunjunginya. Menurut Dayat, banyak orang yang naik ke Gunung Halau-Halau hanya untuk menikmati air terjun Sungai Karuh. Setelah itu, mereka kembali ke Desa Kiyu.
Hari kedua pendakian, kami melanjutkan perjalanan ke Pos 3 atau Pos Jumantir. Hujan yang sejak pagi mengguyur cukup deras sudah mereda, tapi jalur tanah yang dilalui menjadi becek. Jalur pendakian juga mulai tidak bersahabat, terjal dan licin. Di kiri-kanan terdapat hutan lebat yang penuh pohon meranti dan mahoni.
Jalur terjal dan mendaki itu mengingatkan saya pada rute pendakian Gunung Tambora di Nusa Tenggara Barat. Tapi, bagi saya, medan di Halau-Halau ini lebih berat daripada di Tambora.
Sekitar sejam kemudian, kami melewati tanjakan dengan sudut kemiringan 40-50 derajat, meski tali belum diperlukan. Kami menyeberangi aliran sungai yang deras, meniti pohon tumbang, juga berjalan di atas jembatan gantung dan tepi jurang sepanjang sekitar 100 meter.
Jalur tanah yang licin dan lembek menjadi tantangan tersendiri. Salah injak sedikit, kami bisa terpeleset dan masuk ke jurang sedalam 40 meter. Kami kemudian tiba di pohon yang terkenal di Gunung Halau-Halau. Masyarakat setempat menyebutnya Pohon Pintu atau Pohon Gerbang karena pohon itu memiliki lubang berdiameter besar yang bisa dilewati.
Sedangkan sejumlah pendaki menyebutnya dengan Pohon Saranjana, terinspirasi dari film fiksi berjudul Saranjana Kota Ghaib. Pohon itu dijadikan simbol gerbang kota gaib Saranjana. Saya pun tak melewatkan kesempatan berfoto di depan pohon yang unik tersebut.
Dari Pohon Saranjana, kami kembali mendaki dengan sudut kemiringan 45 derajat dan melewati sumber air bernama Cawang. Jalur terus menanjak dan tak ada “bonus”, istilah yang digunakan pendaki untuk jalur landai, hingga kami tiba di jalur yang ditumbuhi anggrek-anggrek liar. Papan larangan memetik anggrek bertebaran di mana-mana.
Pemandangan pagi hari dari Puncak Gunung Halau Halau, Kalimantan Selatan, 27 Desember 2023/Handewi Pramesti
Seketika saya teringat ucapan Julak Maribut, memetik anggrek bisa mendatangkan kesialan bagi orang yang mengambilnya. Saya pun hanya bisa menikmati pemandangan anggrek-anggrek hutan yang bertebaran di pohon-pohon yang kami lewati.
Setelah melewati jalur yang dipenuhi anggrek hutan, kami harus melalui tangga alami dari akar pohon dan bebatuan dengan sudut kemiringan sekitar 50 derajat. Hingga akhirnya kami tiba di Pos 4 atau Camp Penyaungan untuk bermalam.
Berbeda dengan pos-pos sebelumnya, udara di pos yang berada di ketinggian 1.535 mdpl itu terasa dingin menggigit. Pos itu dikelilingi pohon-pohon besar. Sayangnya, di Pos 4 tak ada selter atau pondokan sehingga kami mendirikan tenda di atas tanah. Setelah makan malam dengan menu telur dadar dan nuget ayam, kami pun tidur lelap di dalam tenda.
•••
HARI ketiga, setelah menyantap sarapan dan menyeruput kopi hitam, kami memulai perjalanan menuju puncak Halau-Halau dari Pos 4 lebih pagi. Waktu menunjukkan pukul 05.30 Wita. Saya pun melengkapi diri dengan headlamp karena hari masih gelap.
Meski jarak dari Pos 4 menuju puncak hanya sekitar 380 meter, jalur yang kami lalui boleh dibilang berat. Jalurnya berupa tanjakan dengan sudut kemiringan sekitar 60 derajat yang dipenuhi pohon tumbang. Saya pun kadang menggunakan lutut untuk mendaki tangga alami dari bebatuan.
Di beberapa tempat terdapat pohon-pohon tumbang yang mempersulit pendakian karena kami harus menaikkan lutut hingga ke dada dan merunduk pada saat bersamaan. Plus jalurnya berliku.
Sekitar 50 meter sebelum puncak, barulah kami mendapati pemandangan Pegunungan Meratus di balik pepohonan rindang. Puncak sudah dekat. Tapi jalur malah makin ekstrem dan berliku serta diwarnai tanjakan yang harus didaki dengan tali untuk tiba di puncak. Napas saya kian menderu karena kelelahan, sama halnya saat mendaki menuju puncak Gunung Rinjani di Lombok, Nusa Tenggara Barat, beberapa waktu lalu.
Namun kelelahan luar biasa itu terbayar ketika saya menginjakkan kaki di puncak Halau-Halau dengan pemandangannya yang memukau. Saat itu matahari belum tinggi dan cuaca cukup cerah sehingga pandangan tak terhalang kabut.
Dari tempat saya berdiri, nun di kejauhan terlihat Kota Barabai, jajaran Pegunungan Meratus, dan puncak Halau-Halau Bini. Sebuah pengalaman yang sangat mengesankan selama berada di bumi Kalimantan Selatan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Panorama Memukau di Puncak Halau-Halau"