Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Tradisi Sekaten, yang diadakan untuk memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW di Kota Solo dan Yogyakarta, tak lepas dari kehadiran dua gamelan sakral. Kedua gamelan ini memiliki makna historis dan spiritual mendalam. Di solo, ada gamelan sakral Kiai Guntur Madu dan Kiai Guntur Sari sedangkan di Yogyakarta gamelan sakral tersebut bernama Kiai Guntur Madu dan Kiai Nagawilaga.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kedua pasang gamelan ini dimainkan secara khusus selama sepekan perayaan Sekaten. Karena dianggap sakral, gamelan ini hanya boleh dimainkan pada saat-saat tertentu. Suara merdu yang dihasilkan dari gamelan Sekaten ini bukan sekadar hiburan, tetapi sarat makna religius yang berkaitan dengan penyebaran agama Islam di tanah Jawa.
Gamelan Sakral di Solo
Kiai Guntur Madu dan Kiai Guntur Sari adalah dua perangkat gamelan sakral yang ditabuh selama tujuh hari berturut-turut sebagai tanda dimulainya perayaan Sekaten di Kota Solo. Tradisi ini berlangsung hingga puncak acara Grebeg Maulud pada peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada saat akan dimulainya upacara tradisional sekaten, Gamelan Kiai Guntur Madu dan Kiai Guntur Sari akan dikeluarkan. Kemudian kedua gamelan sakral ini masing-masing akan diletakkan di area Masjid Agung. Tempat tersebut memiliki sebutan Pagongan atau disebut juga Bangsal Sekati, yang berfungsi sebagai bangsal penyimpanan
Dilansir dari laman Keratorn Surakarta, gamelan Sekaten ini dipercaya sudah ada sejak era Kerajaan Demak. Pada zaman dulu, gamelan ini berperan penting dalam penyebaran Islam karena digunakan Sunan Kalijaga untuk syiar.
Kiai Guntur Sari merupakan nama gamelan Sultan Agung Hanyakrakusuma yang dibuat pada 1566. Pada 1788 – 1820 Pakubuwana IV membuat sebuah gamelan sekaten dengan volume serta ketebalan yang lebih besar dibandingkan Kiai Guntur Sari. Gamelan tersebut kemudian diberi nama Kiai Guntur Madu.
Gamelan Sekaten Keraton Yogyakarta
Selain di Solo, tradisi penabuhan gamelan saat upacara Sekaten juga hidup di Yogyakarta. Dalam tradisi Sekaten di Yogyakarta, terdapat dua gamelan sakral yang dimainkan, yaitu Kiai Guntur Madu dan Kiai Nagawilaga.
Namun sebelum dimainkan, kedua gamelan tersebut akan dibersihkan terlebih dahulu dan diberi sesaji. Lalu pada 5 Rabiul Awal selepas Isya, barulah kedua gamelan sakral ini ditabuh untuk diperdengarkan dalam kompleks Keraton Yogyakarta sebagai isyarat resmi pembukaan Sekaten.
Gamelan Sekaten Yogyakarta asal muasalnya sama dengan Solo dari Kerajaan Mataram. Menurut laman Kraton Yogyakarta, gamelan Sekaten Kerajaan Mataram terdiri dari dua perangkat yakni Kiai Guntur Madu dan Kiai Guntur Sari yang dibuat pada masa pemerintahan Sultan Agung (1613-1645).
Sebagai bagian dari Perjanjian Giyanti pada 1755, Kiai Guntur Madu dan Kiai Guntur Sari dibagi masing-masing kepada Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Yogyakarta mendapat Kanjeng Kiai Guntur Madu sedang Surakarta mendapat Kanjeng Kiai Guntur Sari.
Untuk melengkapi Kiai Guntur Madu, Sri Sultan Hamengku Buwono I (1755-1792), membuat duplikat Kiai Guntur Sari yang diberi nama Kanjeng Kiai Nagawilaga. Setiap kali Sekaten berlangsung, kedua gamelan tersebut selalu diletakkan di Masjid Gedhe. Karena Kanjeng Kiai Guntur Madu lebih tua, gamelan ini diletakkan di Pagongan Kidul, di sebelah kanan Sultan saat beliau duduk di Masjid Gedhe. Sementara Kanjeng Kiai Nagawilaga yang dianggap lebih muda, diletakkan di Pagongan Lor.
WILNA LIANA AZ ZAHRA