TEMPO.CO, Jakarta - Orang tua terkadang tak menyadari bahwa anak juga manusia yang memiliki sikap egosentris. Kemarin ada anak tetangga mengambil mainan yang sudah rusak punya si Rais. Ku kira karena sudah rusak jadi aku biarkan anak tersebut mengambilnya. Ternyata si Rais sangat tak senang hingga berujung tantrum.
"Mamas gak mau. Mainan diambil adek itu," ujar si bungsu kami ini.
"Kan mainan itu dah rusak, Mas. Gakpapa ya nak? Nanti ummi kasih yang baru"
Karena ku pikir mainan itu memang sudah rusak jadi tak ada salahnya diambil. Ternyata tidak begitu pemikiran Rais. Dia marah dan mengamuk. Padahal aku menawarkan mainan serupa yang baru, ya baru saat itu juga (berhubung memang ada stok sisa barang jualan). Tapi ternyata itu tidak membuat dia berhenti menangis.
Akhir bulan lalu, saat mengikuti kelas komunikasi anak "Memperbaiki Pola Asuh dengan Komunikasi yang Tepat" bersama Emak Safithrie Sutrisno. Aku serasa ditampar bolak-balik. Ternyata yang aku lakukan kemarin sebuah kesalahan yang sangat fatal dan kejadian yang menyakitkan bagi Rais.
Ternyata yang dilakukan Rais itu sangat lumrah. Tindakan tersebut muncul karena adanya sifat egosentris. Semua manusia pasti memiliki ego. Sifat yang hanya mementingkan diri sendiri tanpa memikirkan orang lain, sifat ini dimiliki anak-anak dan dewasa. Tapi jika anak-anak dinamakan egosentris, maka orang dewasa itu dinamakan egois.
Kenapa berbeda ya antara egosentris dan egois? Ya tentu saja berbeda. Egosentris tercipta saat seorang anak belum mampu untuk memahami pikiran orang lain, sedangkan egois dia sudah mampu untuk memahami pikiran orang lain, namun dia tidak mau untuk memahami orang lain.
Sifat egosentris inilah yang mendominasi anak usia dini kisaran 2-6 tahun. Selain kejadian yang dialami Rais di atas. Ada contoh lain, misalnya si adek punya makanan dan tidak mau berbagi dengan kakak, sebaiknya yang kita lakukan adalah menghargai pendapat si adek dan memberi pengertian ke si kakak. Mungkin ada yang berpikir, duh masih kecil kok gak diajari berbagi sih, kok masih kecil udah pelit, dan pendapat negatif lainnya yang sejenis.
Padahal sangat penting untuk mengisi kantung jiwa egosentris ini pada anak usai dini. Agar saat dewasa dia mampu menghargai orang lain. Sebaliknya jika egosentris ini tidak terpenuhi, anak akan tumbuh menjadi orang dewasa yang egois karena dia merasa saat masa kecil pendapatnya tak dihargai sehingga dia akan melakukan hal yang sama kepada orang lain. Yang ada dalam dirinya hanya kepentingan diri sendiri saja, tidak peduli dengan orang lain yang disekelilingnya itu bukan menjadi urusannya. Menyeramkan bukan? Dan itulah yang terjadi disekeliling kita sekarang. Contoh kecilnya seseorang yangn egosentrisnya tak tertuntaskan dimasa kecil dan saat dewasa menjadi pemimpin, yang dipikirkannya hanyalah bagaimana caranya memperkaya diri sendiri.
Kusangka hal ini sangat remeh dan awalnya aku ingin mengajarkan Rais bisa berbagi sejak dini. Makanya jika ada kejadian yang serupa, kata emak safitri yang kulakukan adalah menanyakan keinginannya dahulu.
Apakah dia mau meminjamkan atau memberikan suatu barang kepada orang lain? Jika dia mau meminjamkan atau memberikan haruslah karena benar keinginannya bukan karena intimidasi pihak-pihak tertentu. Sebaliknya jika dia tidak mau melakukannya maka sikap kita adalah menghargainya, memintanya untuk menyembunyikan barang tersebut atau membiarkannya main sendiri untuk sementara waktu sehingga keributan pun dapat diminimalisir.
Insya Allah jika kantung jiwa egosentris ini telah terpenuhi, anak-anak akan mulai belajar berbagi tanpa perlu kita suruh lagi. Dan kelak ketika mereka dewasa mereka akan menjadi manusia yanng mempunyai rasa simpati dan empati yang tinggi terhadap sesamanya.
Tapi perlu diingat, tidak semua keinginan anak juga harus dipenuhi ya mak. Sebagai orangtua kita tetap harus memiiliki batasan. Apa saja itu?
- Tidak melanggar syariat dalam ajaran agama kita:
- Tidak melanggar norma/adat yang berlaku di dalam suatu masyarakat; dan
- Tidak membahayakan dirinya dan orang lain di sekitarnya.
Ternyata ada banyak hal yang ku anggap hal yang kecil dalam proses pengasuhan ternyata berdampak besar pada diri sang anak nantinya. Memanglah menjadi orangtua itu harusnya punya banyak ilmu yang harus diturunkan ke anak.