Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Tujuh tahun yang lalu advokat senior Adnan Bahrum Nasution atau dikenal sebagai Adnan Buyung Nasution tutup usia. Pengacara kondang ini meninggal di Rumah Sakit Pondok Indah dan disemayamkan di rumahnya Poncol Lestari Nomor 7 Lebak Bulus Jakarta Selatan, pada 23 September 2015.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Salvo mengiringi pemakaman pengacara Adnan Buyung Nasution dalam upacara militer di Jakarta, Kamis pagi, 24 September 2015. Proses pemakaman diiringi isak tangis keluarga, kerabat, dan sejumlah tokoh yang hadir di Tempat Pemakaman Umum Tanah Kusir.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemakaman dilakukan secara militer karena Adnan Buyung menerima gelar Bintang Mahaputera. Gelar itu diberikan pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2010.
Adnan Buyung Nasution dalam Kenangan Bambang Widjojanto
Adnan Buyung Nasution merupakan sosok yang sangat lekat diingatan Pimpinan KPK periode 2011-2015, Bambang Widjojanto.
Ketua Dewan Pengurus LBH Jakarta dan Yayasan LBH Indonesia pada 1995 – 2000 ini, mengingat betul pertemuan pertamanya dengan Adnan Buyung Nasution atau akrab disapa Bang Buyung ini.
Bambang Widjojanto atau BW menceritakan Sekitar 1984, ia diwawancarai beberapa tokoh hukum yang belum terlalu ia kenal sosoknya. Setelah wawancara, dikenalkanlah nama para pewawancara, Adnan Buyung Nasution salah satu di antaranya. “Oh ini yang namanya Bang Buyung yang lainnya adalah Bang Mulya (Todung Mulya Lubis), Pak Yap (Yap Thiam Hien), Muchtar Lubis dan Pak Hoegeng Imam Santoso. Itu adalah tahapan terakhir sebelum saya dinyatakan dapat diterima sebagai Asisten Pembela Umum LBH Jakarta,” katanya, mengenang.
Di dalam wawancara itu, dengan warna suara yang khas, Bang Buyung menanyakan, apa itu bantuan hukum struktural? “Beruntungnya baru saja saya membaca buku Bantuan Hukum Dan Kemiskinan Struktural yang ditulis Todung Mulya Lubis dengan pengantar dari Daniel S Lev. Alhamdulilah bisa menjawab ala anak mahasiswa,” kata BW. “Pewawancara lainnya bertanya dengan sangat kritis untuk mengulik minat dan pengetahuan mutakhir saya soal dunia penegakan hukum dan kondisi HAM di Indonesia,” ujarnya.
Di dalam perjalanan selanjutnya, setelah menjadi bagian dari LBH Jakarta, BW mengakui banyak belajar keterampilan sebagai advokat dari Adnan Buyung Nasution atau ABN, khususnya dalam mengemukakan pendapat, mengolah kata dan membangun argumentasi. Yang jauh lebih penting, meyakini masalah dari suatu kasus berdasarkan pemahaman yang utuh terhadap peristiwa dan membingkainya dalam suatu konstruksi hukum berdasarkan rujukan aturan dan dasar filosifi dari peraturan itu.
Selama mengenal Bang Buyung, BW mendapati kesan, ia sosok yang tak mudah digoyang keyakinannya tapi mau mendengar dan dapat menerima perbedaan pendapat serta mencoba memahami pandangan lawan bicaranya dengan tetap berpijak pada pendapat yang diyakininya. “Soal keberanian menyatakan pendapat dan keyakinan serta menghadapi konsekwensi dari pilihan keyakinannya, ABN adalah salah satu kampiunnya,” ujarnya.
“Saya membayangkan, jika ABN masih ada, di situasi absurditas sebagian proses penegakan hukum, dipastikan, beliau akan menjadi salah satu advokat yang akan bersuara paling lantang. Saat ini, situasi penegakan hukum terlihat begitu centang perenang dan berantakan,” kata dia.
Menurut BW, dalam situasi seperti itu, dengan tutur yang lugas, melengking dan agak tercekat, Bang Buyung bisa mendadak menjadi murka, jika terjadi kesewenangan dan ketidaksenonohan proses penegakan hukum.
“Karena pada dasarnya, beliau sudah 'muak' dengan proses seperti itu. Adnan Buyung Nasution tidak pernah takut membela rakyat yang lemah untuk melawan penguasa yang zalim serta tidak takut membela kebenaran untuk rakyat kecil walau harus menghadapi kekuasaan. Tapi, Abang juga secara terbuka akan mengemukakan apresiasi dan dukungannya, jika ada penegak hukum yang menjalankan tugasnya secara konsisten dan konsekuen,” ujarnya.
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.