Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Lukas Enembe memiliki rekening di dua kasino Singapura.
Ia juga memiliki rekening berisi hingga Rp 1,2 triliun di Australia.
Diduga merekrut jasa konsultan pencucian uang.
MENGHADAP Direktur Penyidikan Komisi Pemberantasan Korupsi Brigadir Jenderal Asep Guntur Rahayu, tim kuasa hukum Gubernur Papua Lukas Enembe memohon penundaan pemeriksaan pada Jumat sore, 23 September lalu. Juru bicara Lukas, Muhammad Rifai Darus, yang hadir dalam pertemuan itu menyampaikan bosnya siap diperiksa setelah kesehatannya membaik. “Kakinya bengkak,” katanya kepada Tempo setelah mendatangi KPK.
Lukas, 55 tahun, seharusnya diperiksa sebagai saksi dalam kasus gratifikasi dari pengusaha sekaligus kontraktor proyek rumah Lukas bernama Tono Laka senilai Rp 1 miliar. Tono sudah lebih dulu menjadi tersangka. Rencananya penyidik KPK menginterogasi Lukas di Markas Komando Brigade Mobil Kepolisian Daerah Papua pada Senin, 26 September mendatang. Pemeriksaan ini dipastikan batal selepas tim Lukas mengajukan permohonan ke KPK.
Ini bukan panggilan pertama. Pada Senin, 12 September lalu, penyidik KPK sudah bersiaga di kantor Mako Brimob Polda Papua untuk memeriksa Lukas. Ia mangkir dengan alasan sakit. Saat itu, tersiar kabar KPK sudah menetapkan Lukas sebagai tersangka penerima gratifikasi.
Dua hari kemudian, KPK mengumumkan Lukas sebagai tersangka, tapi tak langsung ditahan. Penetapan ini mendadak sontak membuat massa pendukungnya geram. Awalnya, sekitar 30 ribu orang menjaga rumah Lukas di Koya Tengah, Jayapura. Mereka menuding penetapan status tersangka tersebut bersifat politis. Belakangan jumlah penjaga rumahnya berkurang menjadi seribuan orang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Massa pendukung Gubernur Papua Lukas Enembe berunjuk rasa menolak penetapan tersangka Gubernur Papua Lukas Enembe oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan pengamanan kepolisian di Titik Nol, Taman Imbi, Kota Jayapura, Papua, 20 September 2022/ANTARA/Gusti Tanati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lukas tengah diincar banyak perkara. KPK sudah menyampaikan surat pemberitahuan dimulainya penyidikan kepada Lukas pada Kamis, 1 September lalu. Kala itu, ia hendak diperiksa dalam perkara korupsi anggaran beberapa proyek di Papua. Pada Jumat, 12 Agustus lalu, ia juga sudah dipanggil penyidik. Lukas tetap mangkir.
Saat itu, ia beralasan sedang mengurus peresmian tambang di kampung halamannya di Mamit, Tolikara. Dia juga mengaku badannya sakit dan kakinya bengkak. Lukas memang memiliki riwayat sakit stroke sejak 2018. Ia beberapa kali berobat ke Mount Elizabeth dan Royal Healthcare, Singapura.
Penyakit selalu menjadi alasan Lukas tak mau diperiksa. “Kami meminta KPK memberikan waktu kepada Pak Lukas untuk pengobatan lebih dulu. Sampai kapan, kami belum bisa memastikan,” ujar Rifai.
“Perlawanan” Lukas membuat Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mohammad Mahfud Md. turun tangan. Didampingi Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Ivan Yustiavandana, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata, dan perwakilan Badan Intelijen Negara, Mahfud meminta Lukas bekerja sama. “Kasus LE bukan rekayasa politik,” ia menegaskan.
Mahfud menyampaikan kasus yang menjerat Lukas bukan hanya pemberian gratifikasi Rp 1 miliar. PPATK menemukan sejumlah kejanggalan dalam riwayat transaksi Lukas beserta anggota keluarganya. “Ketidakwajaran dari penyimpanan dan pengelolaan uang yang jumlahnya ratusan miliar,” katanya.
Lukas juga ditengarai terlibat rasuah dana operasional yang mencapai ratusan miliar, dugaan korupsi pengelolaan dana Pekan Olahraga Nasional di Papua, dan banyak kasus korupsi lain. “LE diduga punya manajer pencucian uang,” ucap Mahfud.
Kepala PPATK Ivan Yustiavandana mengatakan timnya sudah menganalisis kejanggalan transaksi Lukas sejak lima tahun lalu. PPATK telah menyerahkan 12 laporan hasil analisis itu kepada KPK. “Ada setoran tunai, setoran melalui nominee, angkanya Rp 1 miliar hingga ratusan miliar,” ujar Ivan.
Uang ini ditengarai berkaitan dengan gaya hidup Lukas. Ia sering melancong ke Singapura. PPATK menemukan jejak transaksi Lukas di perusahaan judi di Negeri Singa, yakni Resorts World Sentosa dan Marina Bay Sands.
Untuk transaksi di luar negeri, Lukas dibantu professional money launderer yang bernama Atung. Selama Januari 2016-April 2019, total dana Lukas di rekening judi kasino mencapai Sin$ 56,7 juta atau setara Rp 600,8 miliar dengan nilai tukar Rp 10.586 per dolar Singapura. Dari jumlah itu, terdapat penarikan sebanyak Sin$ 46,8 juta atau setara dengan Rp 495,9 miliar.
Lukas diduga menggunakan uang itu untuk berbelanja jam tangan mewah di Richemont Luxury Dubai senilai Sin$ 55 ribu atau setara dengan Rp 582,2 juta. Pada Mei-September 2019, Lukas terdeteksi kembali menyetor uang tunai ke rekening kasino sebanyak Sin$ 5 juta atau setara dengan Rp 52,9 miliar.
PPATK juga menemukan transaksi yang tidak wajar di sebelas penyedia jasa keuangan, seperti rekening bank serta asuransi milik Lukas dan anaknya. Total saldonya mencapai Rp 71,098 miliar.
Keseluruhan transaksi itu berbentuk setoran tunai. “Transaksi ini tidak wajar, dari mana asal-usul uangnya? LE kepala daerah, bukan pengusaha,” kata Ivan Yustiavandana. PPATK sudah memblokir sebelas rekening itu sejak Agustus lalu.
Rekening Lukas Enembe kerap menampung setoran dalam jumlah besar. Ia pernah terdeteksi menerima transfer sekitar Rp 500 juta dan Rp 1,2 miliar. Para pemberi uang teridentifikasi sebagai pengusaha hingga pegawai negeri sipil. Menurut PPATK, penerimaan dana seperti ini sangat tidak wajar jika mengacu gaji Lukas sebagai gubernur.
Setoran jumbo juga mengalir ke rekening anggota keluarga Lukas. Contohnya setoran tunai ke rekening anak Lukas yang jumlahnya mencapai sekitar Rp 50 miliar. Lukas menggunakan dana tersebut untuk membayar premi asuransi dan disimpan dalam bentuk deposito bank. Lukas juga pernah membayar premi asuransi sekitar Rp 6 miliar dari rekening anggota keluarga.
Yang belum banyak diketahui, Lukas juga menyimpan uang di bank Australia. Jumlah total transaksi mencapai ratusan ribu dolar Amerika Serikat atau Rp 1,2 triliun. Anehnya, setoran ke rekening tersebut umumnya dilakukan secara tunai. Pada saat yang bersamaan, Lukas sedang berada di Indonesia.
Transaksi Lukas di Negeri Kanguru salah satunya terdeteksi dilakukan salah seorang petinggi bank daerah. Uang tersebut ditengarai berkaitan dengan kontrak siaran Pekan Olahraga Nasional 2021 Papua. Petinggi bank daerah itu juga berkaitan dengan penyewaan pesawat jet pribadi Lukas sebesar US$ 500 ribu. Semua uang itu diduga bersumber dari dana Otonomi Khusus Papua.
Ada pula bukti transfer dari rekening salah satu perusahaan penerbangan di Papua ke rekening bank Lukas di Australia atas nama sebuah perusahaan sebesar US$ 175 ribu. Di dalam nota transaksi tercantum uang tersebut digunakan Lukas Enembe untuk menambah jumlah investasi.
Lukas juga diduga memotong anggaran dana Otonomi Khusus kabupaten/kota sebesar 40-60 persen. Alasannya, pemotongan uang dilakukan untuk dana tambahan pembangunan venue PON 2021. Sebagian uang mengalir ke organisasi keagamaan yang terafiliasi dengan pejabat bank daerah tadi. Untuk menyamarkan uang, mereka menggelar kegiatan keagamaan dari dana Otonomi Khusus itu.
Juru bicara Lukas Enembe, Muhammad Rifai Darus, mengatakan bosnya memang mengalokasikan dana keagamaan yang disalurkan untuk organisasi-organisasi dan masyarakat Papua. Sejak Papua dipimpin Lukas, menurut dia, alokasi dana Otonomi Khusus juga lebih besar untuk kabupaten/kota, yakni 80 persen, sedangkan provinsi 20 persen. “Semua itu sah, diatur dalam peraturan daerah. Pak Lukas tidak pernah mengorek uang APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara). Dari mana dia hidup? Ada dana operasional dari APBD (anggaran pendapatan dan belanja daerah),” ujar Rifai.
Soal uang gratifikasi senilai Rp 1 miliar, Rifai mengatakan uang yang ditransfer Tono Laka adalah uang Lukas. “Pak Gubernur sedang berobat. Tono biasa mengerjakan renovasi rumah dan diminta mentransfer uang yang diminta dari bendahara Pak Lukas,” ucapnya.
Selama memimpin Papua, Rifai menambahkan, Lukas menyimpan gaji dan uang operasional di bendahara pribadi. Saat Lukas berobat ke Singapura untuk menjalani operasi jantung, pankreas, dan mata pada 2021, Lukas meminta bendaharanya menempatkan uang tunai itu ke rekening istri dan tiga anaknya, termasuk untuk pembayaran premi asuransi.
Rifai menepis tudingan Lukas Enembe bertransaksi ratusan miliar di kasino Singapura. “Dia kaget juga. Bagaimana bisa membawa dana Rp 560-an miliar itu ke luar negeri? Sumber dananya dari mana? Kalau dari APBD, cara menarik dari bank bagaimana?” ia bertanya. Namun ia mengaku Lukas pernah ke kasino. “Tapi jumlahnya tak sebesar itu.”
Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD (tengah) didampingi Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Alexander Marwata (kiri) dan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Ivan Yustiavandana menyampaikan keterangan pers terkait kasus korupsi di Papua, di Kantor Kemenkopolhukam, Jakarta, 19 September 2022/ANTARA /Indrianto Eko Suwarso
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan penyidik baru ingin meminta klarifikasi ihwal setoran Rp 1 miliar. “Tapi perkara lain juga masih kami kembangkan. Kami dalami semua,” ujar Alex.
Ia meminta Lukas dan tim kuasa hukumnya kooperatif. “Jika bisa membuktikan uang tersebut dari mana, semisal Pak Lukas punya tambang emas, pasti akan kami hentikan pengusutannya,” katanya.
Rifai juga menjamin Lukas memang tengah sakit. Pada Selasa, 30 Agustus lalu, Lukas mengirim surat izin berobat ke Singapura kepada Kementerian Dalam Negeri. “Seharusnya berangkat 12 September, sudah janji dengan dokter. Tapi tim kuasa hukum menyampaikan jangan pergi karena ada panggilan dari KPK,” tuturnya.
Meski sedang sakit, Lukas masih menjalankan tugasnya memimpin roda pemerintahan di Papua. Ia bahkan sempat menemani calon investor untuk menambang emas di daerah tempat kelahiran Lukas Enembe di Distrik Mamit, Tolikara, beberapa waktu lalu.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo