Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Mantan Kepala Keamanan dan Ketertiban (Kamtib) Rumah Tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi (Rutan KPK), Hengki, mengungkapkan pengadaan akses makanan dari luar, alat komunikasi, hingga alat masak di dalam rutan merupakan atas permintaan tahanan. Ia mengklaim para narapidana tidak merasa keberatan dengan adanya pungutan liar atau pungli untuk pemenuhan akses tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hengki, yang bertugas sebagai Kamtib periode 2018–2022, hadir sebagai saksi dalam persidangan perkara pungutan liar atau pungli di lingkungan rumah tahanan (rutan).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jaksa dari KPK mulanya menanyakan ihwal setoran hasil pungli di lingkungan rutan KPK, mulai dari jatah bulanan dari para tahanan, hingga bayaran untuk memasukkan makanan dan telepon genggam ke dalam hunian.
“Kalau tahanan itu keberatan nggak, menurut sepengetahuan Saudara?” tanya jaksa dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, pada Jumat, 15 November 2024.
Hengki menjawab, “Justru itu permintaan tahanan.”
“Permintaan tahanan?” tanya jaksa. Hengki pun membenarkan hal itu.
Jaksa kemudian bertanya soal keterangan para tahanan pada persidangan sebelumnya. “Mereka menyatakan sangat keberatan, sangat terpaksa. Sepengetahuan saudara?”
“Justru saya menduga. Ini hanya dugaan saya, ya Pak Jaksa. Ini ada yang mengarahkan ke mereka,” ucap terdakwa. Hengki menegaskan bahwa permintaan untuk makanan, alkom, dan fasilitas seperti alat masak berasal dari para tahanan.
“Kalau kita bicara mengenai keadaan dari sisi ekonomi Pak Jaksa, kami ini rata-rata itu satpam,” tutur Hengki.
“Adapun kami di rutan itu PNS atau Polri, itu bukan pejabat tinggi,” katanya.
“Dibandingkan dengan para tahanan yang notabene-nya itu ada kades, ada dirut, ada gubernur.”
Ia pun mengklaim bahwa petugas Rutan KPK tidak memaksa para tahanan untuk menyetor jatah bulanan atau memberikan bayaran untuk permintaan akses-akses tersebut. “Kalau kami dibilang memaksa, tidak mungkin mereka mendapatkan apa yang mereka mau,” ucap Hengki. “Salah kami memang menuruti permintaan mereka, seperti itu.”
Hengki diduga terlibat dalam perkara pungli atau pemerasan kepada tahanan di Rutan Cabang KPK senilai Rp 6,38 miliar pada rentang waktu 2019-2023. Saat itu, Hengki berstatus sebagai pegawai negeri yang dipekerjakan (PNYD) di KPK dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Dia bersama 14 terdakwa lainnya didakwa melakukan pungli di tiga Rutan Cabang KPK, yakni Rutan KPK di Gedung Merah Putih (K4), Rutan KPK di Gedung C1, dan Rutan KPK di Pomdam Jaya Guntur. Hengki disebut menerima uang dan memperkaya diri sendiri sebesar Rp 692,8 juta dari tindakan pungli itu.
Jaksa KPK mendakwa para pegawai rutan itu dengan berkas perkara yang berbeda. Tujuh terdakwa yakni Muhammad Ridwan, Mahdi Aris, Suharlan, Ricky Rachmawanto, Wardoyo, Muhammad Abduh, dan Ramadhan Ubaidillah teregister dengan nomor 68/Pid.Sus-TPK/2024/PN Jkt.Pst.
Sedangkan berkas perkara delapan terdakwa lainnya, yakni Deden Rochendi, Hengki, Ristanta, Eri Angga Permana, Sopian Hadi, Achmad Fauzi, Agung Nugroho, dan Ari Rahman Hakim, teregister dengan nomor perkara 69/Pid.Sus-TPK/2024/PN Jkt.Pst.
Perbuatan para terdakwa dinilai sebagai tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 12 huruf e Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP.