Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tempo.co, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap delapan orang dalam rangkaian operasi tangkap tangan yang menyeret Komisioner KPU Wahyu Setiawan. Rangkaian OTT ini berlangsung pada 8-9 Januari 2020 di Jakarta, Depok, dan Banyumas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mereka adalah Wahyu Setiawan; Agustiani Tio Fridelina, Mantan Anggota Badan Pengawas Pemilu; Saeful, swasta; Doni, advokat. Selain itu ada juga seorang asisten dan dua keluarga Wahyu. Plus seorang sopir Saeful.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selain delapan orang ini, satu orang caleg PDIP dari Sumatera Selatan, Harun Masiku, juga diduga terlibat dalam kasus suap ini.
Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar mengatakan empat orang sudah menjadi tersangka dalam perkara ini. Mereka adalah Wahyu dan Agustiani sebagai penerima. Plus Saeful dan Harun Masiku sebagai pemberi.
"KPK meminta tersangka HAR segera menyerahkan diri ke KPK dan pada pihak lain yang terkait dengan perkara ini agar bersikap koperatif," kata Lili pada Kamis, 9 Januari 2020.
Salah satu yang menjadi sorotan dalam penetapan tersangka ini adalah absennya nama Doni. Padahal, jika melihat kronologis yang dibacakan oleh KPK, Doni cukup berperan dalam kasus suap ini.
Lili mengatakan perkara ini bermula ketika salah satu pengurus DPP PDIP memerintahkan Doni mengajukan gugatan uji materi pasal 54 peraturan KPU Nomor 3 2019 tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara Pemilu ke Mahkamah Agung.
Pengajuan ini terkait caleg PDIP dari Sumatera Selatan, Nazarudin Kiemas, yang meninggal pada Maret 2019. PDIP ingin suara Nazarudin, sebagai pemenang Pileg, diberikan kepada Harun Masiku.
Gugatan ini dikabulkan MA pada Juli 2019. Dalam putusannya, MA menetapkan partai menjadi penentu suara pada pergantian antar waktu. Nah putusan MA ini menjadi dasar bagi PDIP mengirim surat ke KPU untuk menetapkan Harun Masiku. Tapi, KPU tetap menetapkan Riezky Aprilia sebagai pengganti Nazarudin
Pada 13 September 2019, PDIP kembali mengajukan permohonan fatwa ke MA. Kemudian, partai juga mengirim surat penetapan caleg ke KPU pada 23 September 2019.
Untuk memuluskan jalan Harun, Saefulah, seorang swasta, kemudian menghubungi Agustiani Tio Fridelina, mantan Anggota Badan Pengawas Pemilu. Agustiani kemudian melobi Wahyu Setiawan agar mengabulkan Harun Masiku sebagai anggota DPR terpilih.
Agustiani mengirim dokumen dan fatwa MA kepada Wahyu. Wahyu menyanggupi dengan menjawab, “Siap mainkan.”
Lili mengatakan untuk membantu penetapan Harun, Wahyu meminta dana operasional Rp 900 juta.
Menurut Lili, ada dua kali pemberian uang. Pertama pada medio Desember 2019, ada seorang seseorang yang memberikan uang Rp 400 juta kepada Agustiani, Doni, dan Saefulah. Kemudian, Agustiani memberikan Rp 200 juta kepada Wahyu.
Pada Desember 2019, Harun memberikan uang kepada Saefulah sebesar Rp 850 juta melalui salah seorang staf di DPP PDIP. Kemudian, Saefulah memberikan uang kepada Doni Rp 150 juta. Sisanya Rp 700 juta masih di tangan Saefullah. Ia membagi menjadi dua Rp 450 juta diberikan kepada Agustiani dan Rp 250 juta untuk operasional.
Pada Selasa, 7 Januari 2020 berdasarkan hasil rapat Pleno, KPU menolak permohonan
PDIP untuk menetapkan Harun Masiku sebagai PAW. Setelah gagal di Rapat Pleno KPU, Wahyu kemudian menghubungi Doni menyampaikan telah menerima uang dan akan mengupayakan kembali agar Harun menjadi anggota DPR melalui PAW.
Pada Rabu, 8 Januari 2020, Wahyu meminta sebagian uangnya yang
dikelola oleh Agustiani. Setelah penyerahan uang ini, KPK menangkap Wahyu dan Agustiani di tempat berbeda.