Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Peristiwa penggerebekan Kampung Boncos oleh kepolisian merupakan cerita klasik setiap tahun bagi RM. Sebagai warga yang tinggal di sekitar area tersebut, sudah tidak terhitung ia mendengar berbagai cerita dan melihat langsung penindakan oleh aparat penegak hukum.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Kebanyakan yang ditangkap hanya pengguna (konsumen narkotika) saja,” ujar perempuan berusia 33 tahun tersebut, saat ditemui pada Sabtu, 19 Oktober 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketika beranjak dewasa setelah lulus Sekolah Menengah Atas pada 2012, RM baru memahami bahwa area dekat rumahnya menjadi salah satu sentra peredaran narkotika di Jakarta. Wilayah yang berada di Kelurahan Kota Bambu Selatan, Kecamatan Palmerah, Jakarta Barat itu, menyaingi eksistensi Kampung Ambon di Jakarta Barat dan Kampung Bahari di Jakarta Utara yang memiliki persoalan sama terhadap narkotika.
Pusat transaksi maupun konsumsi narkotika di Kampung Boncos berada di sebuah bedeng-bedeng yang berdiri di tanah lapang wilayah Rukun Warga (RW) 03. Namun dalam perkembangannya transaksi mulai menyesuaikan kondisi dan bisa dilakukan di dalam gang sempit yang merupakan jalur menuju lapangan.
RM menyadari wilayah Kampung Kiapang-nama asli dari Kampung Boncos, sebenarnya tidak aman didatangi secara bebas untuk rekreasi konsumsi narkotika, meskipun hingga saat ini tempat itu tetap dikunjungi oleh orang-orang. Risiko yang harus ditanggung adalah ditangkap polisi maupun dicelakai oleh kaki tangan bandar narkotika.
Selama delapan tahun menjadi konsumen, RM termasuk yang sangat jarang membeli langsung ke wilayah Kampung Boncos, biasanya hanya menitip narkotika jenis sabu kepada teman yang membeli di wilayah tersebut. Suasana perdagangan narkotika di Kampung Boncos cukup kompleks, baik sisi modus, harga jual, dan pengendaliannya.
RM tidak tahu banyak soal itu, namun salah satu yang paling dia ingat adalah bandar menggunakan nama samaran untuk kode transaksi di dalam sana. “Kebanyakan pakai nama nabi, jadi tidak tahu siapa sebenarnya,” tuturnya.
Delapan orang yang diduga pelaku peredaran narkoba dibekuk di Kampung Boncos, Palmerah, Jakarta Barat. Rabu, 7 Februari 2018. Tempo/Caesar Akbar
Berdasarkan pantauan Tempo, salah satu akses ke tanah lapang bisa melalui Jalan Ori, jika datang membawa kendaraan harus parkir di sekitar rumah warga yang berada di sepanjang jalan. Di sana terdapat sejumlah orang yang menjaga parkir liar dengan tarif Rp 5 ribu untuk sepeda motor. Sesekali mereka yang berjaga turut menawarkan narkotika secara bisik-bisik kepada para ‘tamu’, yaitu orang yang ingin bertransaksi.
Akses menuju tanah lapang melewati gang sempit bercabang-cabang yang luas jalannya hanya sekitar 1 sampai 1,5 meter. Minim cahaya yang masuk ke dalam gang, sirkulasi udara tidak bagus sehingga terasa lembap.
Menurut RM, warga setempat sudah jarang yang berani sendirian melewati gang-gang tersebut untuk sampai ke tanah lapang. “Dulu orang berani masuk situ, sekarang nggak berani. Saya sekolah lewat situ jalan kaki,” katanya, termasuk dia yang sudah tidak berani masuk ke sana.
Selama yang dia ketahui, warga yang tinggal di dalam gang tersebut takut diancam secara lisan maupun senjata tajam oleh kaki tangan bandar. Tapi juga tidak berani berbuat meski tahu adanya transaksi dan aktivitas konsumsi narkotika selama bertahun-tahun.
RM memandang persoalan narkotika di Kampung Boncos karena berbagai faktor, termasuk kurangnya lapangan pekerjaan maupun wadah pengembangan diri. Banyak warga dari kalangan anak muda masih pengangguran dan sulit mendapat pekerjaan. “Mengisi waktunya nongkrong, pakai narkotika sambil main judi slot, ada uang untuk beli narkotika lagi,” tuturnya.
Tiga orang warga sekitar RW03 yang Tempo temui menceritakan, dahulunya Kampung Boncos merupakan tanah lapang untuk bermain anak-anak maupun jadi tempat penumpukan sampah dan barang-barang bekas. Popularitas nama Boncos sudah terkenal sejak 1990-an dan semakin menggeser nama Kampung Kiapang, karena banyak aktivitas penumpukan barang-barang tidak terpakai, lalu sejumlah orang mulai sering menjadikan tempat itu untuk mengonsumsi narkotika.
Tren peredaran jenis narkotika di sana perlahan berganti, awalnya marak penjualan heroin atau putaw dan ganja. Lalu bergeser dalam beberapa tahun terakhir hampir semuanya sabu.
Polres Metro Jakarta Barat menggerebek Kampung Boncos dan menangkap 42 orang yang positif mengonsumsi sabu, Rabu, 17 Juli 2024. Sumber: Polres Metro Jakarta Barat
Seorang warga lain inisial TN melihat persoalan narkotika di Kampung Boncos memang sejak lama mengkhawatirkan. Silih berganti, konsumen narkotika dari berbagai wilayah Jakarta dan sekitarnya berbondong-bondong masuk ke Kampung Boncos dari pagi hingga malam.
Dia melihat bahwa dampak yang ditimbulkan adalah warga terjerumus dalam perdagangan narkotika maupun menjadi konsumen yang kecanduan. Maka dari itu, selama setahun terakhir TN tergerak untuk melakukan pendekatan dan pendampingan secara perorangan, agar orang yang dia dekati bisa perlahan lepas dari keterlibatan jaringan perdagangan maupun kecanduan narkotika.
Tetapi keputusan untuk memperbaiki diri semuanya juga kembali lagi kepada pribadi masing-masing penyintas dengan syarat keinginan yang kuat. “Tergantung bagaimana dengan diri mereka sendiri, mau berubah apa enggak?” kata TN saat ditemui di Kantor Kelurahan Kota Bambu Selatan. “Namanya orang pernah pakai, untuk berhenti nggak segampang kita membalikkan telapak tangan,” ucap perempuan berusia 47 tahun itu saat ditemui pada Kamis, 17 Oktober 2024.
Mendengar persoalan aktivitas transaksi narkotika, Sekretaris Kelurahan Kota Bambu Selatan, Kalam Sudin, mengatakan warga memang sudah resah, tetapi tidak bisa berbuat banyak. Aktivitas transaksi narkotika dalam kehidupan sehari-hari di Kampung Boncos terus membayangi warga.
Saat ini, kata Sudin, sudah ada pendekatan secara perorangan dilakukan oleh kelompok Intervensi Berbasis Masyarakat (IBM) yang terafiliasi dengan Badan Narkotika Nasional (BNN) Provinsi DKI Jakarta. IBM bergerak di tingkat kelurahan, merangkul konsumen narkotika untuk rehabilitasi, pendampingan, dan pemberdayaan.
Para penyintas dalam pembinaan BNN, didampingi oleh warga sekitar supaya dapat berdaya kembali dengan memiliki penghasilan, serta tidak terjerumus pada lubang yang sama. Mereka diberikan keahlian seperti memasak serta pendanaan untuk usaha.
Namun untuk sisi penertiban wilayah Kampung Boncos, kata Sudin, itu sudah ada porsi masing-masing instansi aparat. Penindakan hukum dilakukan oleh aparat penegak hukum itu sendiri. “Kalau penindakan, ke instansi terkait atau aparatur yang punya kewenangan,” katanya saat ditemui di kantornya, Kamis, 17 Oktober 2024.
Sudin melihat persoalan di Kampung Boncos karena tanah lapang yang jadi tempat transaksi sampai saat ini belum jelas kapan difungsikan. Lahan yang berada di pinggiran Jalan Slipi I dan Jalan Jatibaru Raya itu diketahui milik PT Djarum, sebuah perusahaan rokok ternama di Indonesia.
Djarum berencana menjadikan lahan kosong itu sebagai gelanggang olahraga bulutangkis berstandar internasional. Namun rencana itu belum direalisasikan karena pembebasan lahan belum selesai.
Menurut Sudin, lahan itu justru sangat berpotensi produktif dan bermanfaat bagi warga sekitar maupun Djarum sendiri ketika sudah dikelola. Tentunya hasil akhir diharapkan transaksi narkotika di sana bisa hilang. “Ada pemberdayaan ekonomi warga, tenaga kerjanya juga diambil dari warga terdampak,” tuturnya.
Polsek Palmerah menangkap 6 pengguna narkoba dalam penggerebekan Kampung Boncos, Palmerah, Jakarta Barat, 1 November 2024. Humas Polsek Palmerah.
Dia menilai permasalahan yang terjadi di Kampung Boncos, juga karena faktor ekonomi maupun kesadaran moral masing-masing pribadi. Meskipun berbagai deklarasi dilakukan oleh warga bersama BNN, Polri, TNI, dan pejabat pemerintahan setempat, aktivitas transaksi narkotika terus terjadi.
Terakhir, deklarasi antinarkoba kembali digelar oleh BNN Provinsi DKI Jakarta bersama puluhan warga Kelurahan Kota Bambu Selatan bersama pada Jumat, 18 Oktober 2024. Dalam deklarasi disampaikan bahwa Kampung Boncos termasuk dalam zona merah atau berstatus bahaya di Jakarta yang penting untuk segera dipulihkan.
Dua pekan setelah deklarasi, penggerebekan Kampung Boncos terjadi lagi untuk yang kesekian kalinya, terakhir kali dilakukan oleh kepolisian pada Jumat, 1 November 2024. Personel Kepolisian Sektor Palmerah menangkap enam orang konsumen narkotika beserta barang bukti, di antaranya 10 plastik klip, 10 paket kecil sabu, satu paket ganja kering, 15 alat hisap sabu, dan sebilah pisau besar.
Data BNN Provinsi DKI Jakarta terkini per Oktober 2024 menunjukkan 133 kawasan yang termasuk rawan peredaran narkotika di Jakarta. Sebanyak 26 berstatus bahaya dan 107 berstatus waspada. Sedangkan menurut data BNN secara nasional yang Tempo himpun, titik rawan peredaran narkotika di Indonesia pada 2019 sebanyak 654 wilayah. Kemudian pada 2020 terdapat 8.743 wilayah, pada 2021 terdapat 8.691 wilayah, pada 2022 sebanyak 8.002 wilayah, dan pada 2023 terdapat 7.426 wilayah.
Berdasarkan data tersebut, Kepala BNN Provinsi DKI Jakarta, Brigadir Jenderal Nurhadi Yuwono, mengatakan penindakan akan terus dilakukan oleh jajarannya maupun Polri. Sisi lain, BNN fokus kepada pemberdayaan kembali masyarakat, khususnya mantan konsumen, dengan pendekatan sosial.
Pemberdayaan melibatkan pihak kelurahan dan lain-lain. “Mantan pengguna ini dilakukan treatment, yang sudah direhabilitasi pulang ke daerahnya, di awasi oleh IBM dan diajak berkolaborasi supaya kerja,” kata Nurhadi, Jumat, 18 Oktober 2024.
Dari sisi pemberantasan jaringan narkotika, dia mengakui sulit dilakukan karena para pelaku penjual narkotika memiliki beragam modus untuk mengedarkan. Wilayah sekitar tanah lapang juga banyak mata-mata yang terkadang melibatkan warga.
Komunikasi untuk transaksi mereka sering menggunakan Telegram, sedangkan tenaga teknologi informasi dari BNN juga terbatas untuk menyelidiki komunikasi dalam aplikasi tersebut, akhirnya pengejaran pelaku oleh penyidik lapangan juga sulit. Dengan melibatkan tim analisnya, Nurhadi juga berupaya memetakan jaringan yang bermain di sekitar Kampung Boncos.
“Ini harus diselesaikan bersama, bertahap. Kita ada komunitas intelijen, bagi tugas,” ucapnya. Namun bagi tugas yang dia maksud adalah untuk penindakannya masih masing-masing, misalnya ada target operasi yang jadi milik Polda Metro Jaya atau BNN.
Soal tanah lapang yang jadi sentra transaksi di RW 03, Nurhadi mengatakan sudah audiensi dengan pihak Djarum soal nasib pengelolaan lahan. Memang ada rencana pembangunan di sana, tetapi hak pengelolaan itu kembali kepada pemiliknya.
Dia menyadari bandar juga melihat Boncos sebagai target pasar karena menyesuaikan permintaan dan suplai. Tetapi, hingga kini bandar besar yang punya peran penting peredaran narkotika di sana belum juga tertangkap. Saat ditanya siapa bandar besar di Kampung Boncos, Nurhadi tidak menjawab. “Ada lah,” tuturnya singkat.
Direktur Tindak Pidana Narkoba Brigjen Pol. Mukti Juharsa. (ANTARA/Laily Rahmawaty
Menanggapi isu narkotika Kampung Boncos, Direktur Tindak Pidana Narkoba Badan Reserse Kriminal Polri, Brigadir Jenderal Mukti Juharsa, memilih jalan penegakkan hukum dengan operasi gabungan antarsatuan kepolisian. Dia ingin menggelar operasi yang melibatkan personel dari Markas Besar Pori bersama jajaran Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya (Polda Metro Jaya) dan BNN.
Meski telah deklarasi antinarkoba berkali-kali, transaksi narkotika terus muncul di wilayah tersebut, dia menganggap inti masalahnya semata-mata karena bandar masih eksis. “Namanya bandar masih main, kami akan sikat,” tuturnya saat ditemui di Markas Besar Polri pada 18 September 2024.
Kepala BNN, Komisaris Jenderal Marthinus Hukom, mengatakan program Kampung Bersinar (Bersih Narkoba) milik BNN menjadi andalan untuk merehabilitasi wilayah yang jadi pasar perdagangan narkotika. Namun tantangan di lapangan adalah mengadapi jaringan narkotika yang menguasai suatu perkampungan, mereka melemahkan patron tradisional seperti ulama, tokoh masyarakat, kepala desa dan tokoh adat, supaya bisnis berkembang dan tidak terganggu.
Bandar membangun simbiosis mutualisme dengan warga sekitar untuk membangun kerajaan bisnis, caranya menawarkan keuntungan ekonomi besar. Tetapi kebutuhan ekonomi tidak hanya satu-satunya jadi alasan kampung narkotika terus berkembang. “Tidak semua orang miskin menjual narkoba, ada aspek kesadaran moral kita harus bangun terus,” ujar Marthinus.
Menurut dia, mengatasi masalah ini dengan cara mengurai struktur jaringan bandar dan menjauhkan mereka dari masyarakat. Caranya dengan menjawab kebutuhan masyarakat, pemerintah perlu hadir dengan berbagai program, mengatasi ini pun harus tuntas.
Aspek moralitas diperlukan untuk memupuk kembali kesadaran pribadi, sehingga memberikan bantuan ekonomi tidaklah cukup untuk menuntaskan. “Tentang hasrat-hasrat keinginannya, ini harus kita selesaikan,” kata Marthinus.
Kepala BNN Komjem Pol. Marthinus Hukom menyampaikan keterangan dalam konferensi pers di Kantor BNN, Cawang, Jakarta Timur, Jumat, 20 September 2024. Dalam kasus ini, BNN berhasil menemukan 15 kilogram narkotika jenis sabu, 10.345 butir narkotika jenis ekstasi dengan berat netto 3.021,8 gram. TEMPO/Ilham Balindra
Senada dengan Marthinus, Koordinator Program Studi Sosiologi Universitas Negeri Jakarta, Asep Suryana, mengatakan sebuah kampung menjadi sentra perdagangan narkotika karena lemahnya kepemimpinan lokal yang tidak memiliki pengaruh kuat dalam mengontrol situasi sosial. Lalu simbiosis mutualisme yang dibangun oleh jaringan narkotika di sana bisa dikatakan bagus, sehingga eksistensi mereka bisa langgeng. “Dari mana harus diberantasnya? Simbiosisnya, dan munculkan kepemimpinan lokal,” kata Asep.
Selain itu, lahan kosong yang dimiliki Djarum sebaiknya segera dimanfaatkan dan segera dikelola, serta isu pembebasan lahan juga harus dituntaskan. Upaya itu akan memberi pengaruh besar terhadap perubahan eksistensi Kampung Boncos setelah adanya pembangunan.
Lahan tersebut bisa dibangun sesuai dengan rencana awal, membangun gelanggang olahraga atau pun ruang terbuka hijau. Tetapi ruang untuk publik itu harus dibahas kembali bersama pemerintah provinsi mengenai perencanaan sampai pengawasan. “Bisa lahan hijau yang terkontrol, kalau tidak, akan susah,” ucapnya.
Hal terpenting adalah aparat pemerintahan dan keamanan jangan sampai bermain dengan pelaku bisnis narkotika. Untuk memberantas pun mesti secara konsisten dan melibatkan berbagai pihak secara berkelanjutan.
Baca artikel ekslusif Tempo: Kampung Narkoba Meluas