Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

hukum

Ramadan di Pulau Rempang Tak Sehikmat Dulu

Masyarakat Pulau Rempang terbelah karena proyek PSN Rempang Eco-City. Ramadan tahun ini dipenuhi rasa permusuhan.

12 April 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Masyarakat Pulau Rempang menjalani Ramadan kali ini tak sehikmat dulu.

  • Kerukunan warga terusik karena masih adanya upaya pemerintah untuk merelokasi mereka.

  • PSN Rempang Eco-City disebut tak menerapkan manajemen konflik yang baik.

RUMAH di Kampung Tua Pasir Merah, Kelurahan Sembulang, Pulau Rempang, Kecamatan Galang, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau, itu tampak ramai pada Selasa sore, 2 April 2024. Silvi, sang empunya rumah, sibuk menerima tamu-tamunya yang hendak menghadiri acara doa dan buka puasa bersama. Tetamu itu tak hanya berasal dari Kampung Tua Pasir Merah. Ada juga yang berasal dari Kampung Tua Sembulang Hulu dan Kampung Tua Sembulang, yang bersebelahan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menjelang azan magrib, acara pun dimulai. Mereka memanjatkan doa bersama seperti tahun-tahun sebelumnya. Namun ada satu doa yang berbeda kali ini. Masyarakat Pulau Rempang berdoa agar mereka bisa tetap bertahan di kampung halamannya di tengah ancaman relokasi dari pemerintah. “Yang hadir di sini, kami yang bertahan dari relokasi,” ujar Sari—bukan nama sebenarnya. Kebanyakan warga yang ditemui Tempo masih enggan namanya ditulis.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kampung Tua Pasir Merah merupakan satu dari 12 kampung di Pulau Rempang yang terkena dampak Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco-City. Pemerintah menetapkan warga di 12 kampung itu harus direlokasi karena di sana akan dibangun pabrik solar panel kerja sama antara PT Makmur Elok Graha (MEG) milik pengusaha Tommy Winata dan Xinyi Glass Holding Ltd, perusahaan asal Cina. Dari 12 kampung itu, pemerintah merencanakan lima kampung harus sudah dikosongkan pada tahap awal pembangunan. Kelima kampung itu adalah Sembulang Hulu, Sembulang Tanjung, Pasir Merah, Pasir Panjang, dan Blongkeng.

Penolakan warga terhadap proyek itu berbuah aksi demonstrasi panjang sejak Agustus 2023 hingga saat ini. Bentrokan sempat pecah saat pemerintah mengerahkan sekitar seribu aparat gabungan untuk mengosongkan kampung-kampung tua itu pada 7 September 2023. Demonstrasi di depan Kantor Badan Pengelola (BP) Batam empat hari berselang pun berakhir ricuh dan menyebabkan 35 orang ditahan dan akhirnya kini harus mendekam dalam penjara karena dianggap membuat kerusuhan.

Meskipun terus mendapatkan penolakan, pemerintah terus ngotot untuk melakukan relokasi warga ke Kampung Tua Tanjung Banon. Di sana, pemerintah berjanji akan membangunkan rumah bagi warga yang terkena dampak. Kepala Biro Humas Promosi dan Protokol BP Batam, Ariastuty Sirait, menyatakan pihaknya nyaris merampungkan rumah contoh bagi warga yang terkena dampak. “Pengerjaan rumah contoh sudah masuk tahap penyelesaian. Kami berharap seluruh proses ini dapat rampung dalam minggu ini,” ujar Tuty seperti dilansir laman resmi BP Batam, Rabu, 3 April 2024.

Di tengah ancaman relokasi itu, warga Pulau Rempang merasakan Ramadan tahun ini tak lagi sehikmat seperti pada tahun-tahun sebelumnya. Budiman—bukan nama sebenarnya—menyatakan suasana bulan suci umat Islam itu pada tahun ini berbeda. Kerukunan dan kebersamaan warga yang biasanya terlihat jauh lebih kental pada Ramadan kini hilang karena ada segelintir warga yang menerima tawaran relokasi dari pemerintah. Mereka yang menerima tawaran relokasi kini tak ikut lagi dalam berbagai acara warga.

Bukan hanya acara buka puasa, warga yang menerima relokasi juga tak lagi muncul di Masjid Al Fajri yang terletak di Kampung Tua Pasir Merah, baik untuk salat lima waktu, salat tarawih, maupun kegiatan lainnya seperti tadarus. “Mereka (menerima relokasi) tak pernah muncul. Apalagi dalam kegiatan-kegiatan seperti ini, mereka menyendiri, karena faktor malu menjual kampung,” kata Budiman, yang memimpin doa dalam acara buka puasa bersama itu.

Dari 348 keluarga yang berada di Kampung Tua Pasir Merah, Budiman menyatakan hanya segelintir keluarga yang menerima relokasi. Mereka ada yang sudah pindah ke rumah sewa sementara di Batam, tapi ada juga yang masih bertahan di sana.

Siti Hawa, warga lainnya, pun merasakan aura yang berbeda pada Ramadan kali ini. Perempuan 70 tahun itu menyatakan tali silaturahmi warga putus karena adanya PSN Rempang Eco-City. Ada perasaan permusuhan dari warga yang menolak relokasi terhadap masyarakat yang menerima.

Siti menyatakan tak bisa menerima warga yang mau direlokasi karena menganggap mereka telah menjual kampung halamannya. Padahal, menurut dia, banyak orang dari luar Pulau Rempang yang menolong, termasuk sejumlah orang yang berkorban masuk penjara. “Orang luar saja membantu kami. Kami yang punya kampung tidak kuat (bertahan). Kan kami malu, Melayu Rempang malu, saya malu melihat orang itu,” kata Siti.

Warga yang menolak relokasi menggelar kenduri doa bersama dan buka puasa bersama di salah satu rumah warga di Sembulang, Pulau Rempang, Batam, 3 April 2024. TEMPO/ Yogi Eka Sahputra

Hasmaniah, warga Kampung Tua Pasir Merah lainnya, memiliki pandangan berbeda. Perempuan 50 tahun itu mengaku tak membenci warga yang menerima relokasi, tapi dia berharap mereka segera sadar. “Walaupun tidak bisa kembali, setidaknya jangan memusuhi kami,” kata Hasmaniah.

Nia—sapaan Hasmaniah—menyatakan warga yang menerima relokasi justru seperti memusuhi warga yang tak mau pindah. Dia mengaku kerap menegur lebih dulu jika bertemu dengan warga yang menerima relokasi, tapi niat baiknya itu kerap tak berbalas. “Kalau kami yang menolak relokasi, sampai saat ini di bulan Ramadan masih seperti biasa, tadarusan, ikut pengajian. Tidak tahulah mereka yang menerima relokasi,” ujarnya.

Nia mengatakan akan lapang dada menerima warga yang menerima relokasi kembali ke kampung itu dengan catatan mereka tidak menjadi provokator mengajak warga lainnya untuk ikut pindah. “Kalau saya pribadi oke-oke saja mereka mau bergabung dengan kami, apalagi pada bulan Ramadan ini kita harus berbuat kebaikan,” kata Nia.

Menanggapi pemerintah yang selalu ngotot melanjutkan PSN Rempang Eco-City, kata Nia masyarakat punya hak untuk tetap bertahan, bahkan sampai mati. “Saat ini setiap hari kami masih berkumpul, berbincang soal perjuangan ini, dan selalu melakukan kegiatan untuk menyuarakan penolakan relokasi,” kata Nia.

Bukan hanya di Kampung Tua Pasir Merah, aroma perpecahan juga dirasakan oleh warga Kampung Tua Tanjung Banon yang bukan menjadi prioritas awal untuk direlokasi. Kemeriahan Ramadan yang biasanya mereka rasakan kini telah musnah karena warga saling curiga. “Tak seperti dulu lagilah. Dulu ramai, sekarang sudah sepi,” ujar seorang warga yang tak mau ditulis namanya.

Dia menyatakan ketenteraman terusik karena masyarakat yang menerima relokasi dianggap sebagai pengkhianat. “Di luar saja (kelihatan) damai, di dalam bertengkar. Orang yang daftar (relokasi) sudah tak satu geng lagi dengan kami (yang menolak relokasi),” ujar warga itu.

Warga Tanjung Banon lainnya menegaskan bahwa sebagian besar dari mereka tetap menolak. Sejauh ini, menurut dia, hanya lima warga kampungnya yang menerima relokasi. “Yang lima rumah itu pindah karena sudah telanjur waktu relokasi di awal-awal. Mereka ingin dapat rumah relokasi yang di depan, tapi yang lain masih sayang kampung,” kata warga Tanjung Banon lainnya.

Warga Rempang melakukan tadarus di Masjid Al Fajri, Sembulang, Pulau Rempang, Batam, 3 April 2024. TEMPO/ Yogi Eka Sahputra

Sosiolog dari Sajogyo Institute, Eko Cahyono, menyatakan perpecahan itu merupakan segregasi atau pengkotak-kotakan secara sosial yang berbasis konflik. Menurut dia, kondisi itu cukup parah karena berada di ranah keseharian yang berada pada wilayah intim atau wilayah religiositas. “Konstruksi religiositas itu, sebenarnya, sama-sama untuk memuji Tuhan, sehingga kalau tujuannya itu mengabaikan hal-hal yang sifatnya turunan dari keyakinan itu, bahkan menyentuh khilafiah, seperti tidak mau lagi sama-sama tadarusan, tarawih, saling enggak terima, itu kan wilayah yang enggak ada hubungan. Seharusnya mereka bisa damai di situ,” kata Eko.

Eko pun menyayangkan perpecahan ini terjadi karena kebijakan politik dari pemerintah. Kebijakan Rempang Eco City ini, menurut dia, menciptakan konflik horizontal yang tidak hanya menyingkirkan masyarakat dari ruang hidupnya atau mencerabut akar sejarah mereka, tapi juga menciptakan konflik sosial yang intim. Buntutnya, menurut Eko, masyarakat akan memberikan hukuman sosial kepada kelompok yang berbeda pandangan. “Negara harus bertanggung jawab. Dampak kebijakan pemerintah itu berlapis secara sosial ya itu tadi, sudah kehilangan tanah, identitasnya tercerabut dari sejarah atas tanahnya, kehilangan sumber mata pencarian utama, ketidakpastian atas penghasilan harian, ditambah lagi disingkirkan atau mengalami intimidasi dari komunitasnya,” katanya.

Eko menilai hal ini bisa terjadi karena pemerintah tidak menerapkan manajemen konflik yang tepat pada PSN di Pulau Rempang ini. “Seharusnya satu pembangunan itu peka konflik. Ini penting untuk jadi landasan,” ujarnya.

YOGI EKA SAHPUTRA

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus