Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kasus perdagangan kulit harimau Sumatera di Bener Meriah berawal dari penangkapan seorang bidan.
Mantan Bupati Bener Meriah, Ahmadi, diduga sebagai pemilik kulit harimau.
Harga paket kulit harimau Sumatera dan gading gajah dibanderol Rp 600 juta.
SELEMBAR kulit harimau Sumatera membentang di atas meja berukuran sekitar tiga meter di markas Kepolisian Daerah Aceh pada Jumat, 3 Juni lalu. Tulang-belulang yang sudah menghitam bertumpuk di samping kulit harimau tersebut. Di atasnya terdapat kertas berisi keterangan bahwa kulit tersebut berasal dari harimau jantan berusia sekitar 11 tahun. Ia mati terkena jerat.
Polisi bersama Brigade Macan Tutul Seksi Wilayah I Balai Penegakan Hukum (Gakkum) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Wilayah Sumatera menyita kulit harimau itu sebagai barang bukti kasus perdagangan satwa langka. Selain kulit harimau, tim gabungan menghadirkan tiga pelaku dalam konferensi pers itu. “Ini merupakan komitmen KLHK dan Polda Aceh menindak tegas pelaku kejahatan satwa liar dilindungi,” kata Direktur Jenderal Penegakan Hukum KLHK Rasio Ridho Sani alias Roy dalam konferensi pers tersebut.
Tim gabungan menangkap Bupati Bener Meriah periode 2017-2018, Ahmadi, 41 tahun, Suriadi, 44 tahun, bersama kulit harimau itu pada Senin, 23 Mei lalu, di kawasan Pondok Baru, Kecamatan Bandar, Bener Meriah, yang berjarak 313 kilometer atau sekitar tujuh jam mengendarai mobil dari Banda Aceh. Belakangan, seorang pelaku lain, Iskandar, 48 tahun, menyerahkan diri.
Baca: Bahaya Mengancam Harimau Sumatera
Ketiga warga Bener Meriah itu dijerat dengan Pasal 21 ayat 2 huruf d juncto Pasal 40 ayat 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Ancaman hukumannya mencapai maksimal 5 tahun penjara dan denda hingga Rp 100 juta. “Itu sebabnya penindakan ini diharapkan dapat menimbulkan efek jera bagi pelaku,” ujar Roy.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Para tersangka penjualan kulit harimau sumatera saat gelar perkara di Mapolda Aceh, 3 Juni 2022. ANTARA/Syifa Yulinnas
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah menyatakan harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) merupakan salah satu satwa endemis Indonesia dilindungi yang berstatus terancam punah. Jumlahnya tinggal 603 ekor pada 2018. Mayoritas hidup di kawasan hutan Leuser yang berada di Aceh hingga Sumatera Utara.
Harimau berperan sebagai pengendali ekosistem dan populasi satwa liar lain dalam sistem rantai makanan hutan. “Perdagangan harimau Sumatera merupakan kejahatan yang sangat serius dan luar biasa,” ucap Roy.
Kepala Polda Aceh Inspektur Jenderal Ahmad Haydar menyatakan jajarannya bertindak sesuai dengan fungsi selaku pembina Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang mendampingi kasus ini sejak awal. “Kami bersama Gakkum KLHK juga memiliki komitmen yang sama dalam penegakan hukum tindak pidana satwa yang dilindungi undang-undang,” tutur Ahmad.
•••
KABAR penangkapan seekor harimau Sumatera mendarat di telinga personel Brigade Macan Tutul Seksi Wilayah I Balai Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wilayah Sumatera pada April lalu. Kala itu, Kepolisian Resor Bener Meriah baru saja menangkap seorang bidan bersama dua orang lain yang tertangkap tangan menjual sisik tenggiling, satu set kulit harimau Sumatera, dan kulit beruang madu.
Informasi tersebut menyebutkan harimau itu baru dijerat oleh pemburu yang berasal dari Samarkilang, Bener Meriah, dan siap dijual. “Info yang kami dapat, kulitnya masih basah dan dagingnya masih menempel,” kata salah seorang anggota tim yang ikut operasi itu pada Selasa, 31 Mei lalu.
Setelah didalami, tim mata-mata Brigade Macan Tutul mendekati sejumlah penduduk Samarkilang hingga Gayo Lues. Para pemburu tersebut dikenal sering berburu hewan di kawasan hutan Taman Nasional Gunung Leuser.
Taman Nasional seluas 7.927 kilometer persegi itu menjadi satu-satunya ekosistem di dunia untuk lima jenis satwa langka yang hidup berdampingan dalam satu kawasan. Lima satwa langka dilindungi tersebut adalah harimau Sumatera, gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranes), badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis), beruang madu (Helarctos malayanus), dan orang utan Sumatera (Pongo abelii).
Sejumlah personel tim gabungan menyamar sebagai pembeli kulit harimau. Setelah beberapa hari, mereka mendapati penjual kulit harimau itu bernama Iskandar, 48 tahun. Mereka lantas menghubungi Iskandar lewat WhatsApp. Gayung pun bersambut.
Kedua pihak bersepakat transaksi dilakukan pada Senin malam, 23 Mei lalu, di daerah Samarkilang. Lokasi ini ditempuh sekitar tiga jam berkendara dari Simpang Tiga Redelong, ibu kota Kabupaten Bener Meriah. “Tim menyamar sebagai pembeli dan menyepakati harga, lokasi, dan waktu transaksi dengan pelaku,” kata Kepala Balai Gakkum Sumatera Subhan dalam rilisnya, Selasa, 24 Mei lalu.
Eks Bupati Bener Meriah Ahmadi usai kedapatan menjual kulit harimau. ( Foto: Istimewa)
Kepada personel yang sedang menyamar, Iskandar turut menawarkan beberapa gading gajah yang dijual sepaket dengan kulit harimau. Harga paket tersebut dibanderol Rp 600 juta.
Komunikasi dengan Iskandar terus berlangsung saat kedua pihak menuju Samarkilang yang sebagian wilayahnya masih berupa hutan. Saat 30-45 menit lagi tim pembeli tiba di lokasi transaksi, Iskandar meminta mobil si pembeli berputar balik alias batal. “Dia ternyata memantau pergerakan kami,” ujar anggota tim yang ikut operasi penangkapan itu.
Iskandar ditengarai curiga terhadap satu mobil lain yang menyertai kendaraan calon pembeli. “Dia minta tim pembeli mundur,” ucapnya.
Malam makin larut dan negosiasi sempat berjalan alot. Akhirnya Iskandar kembali menghubungi tim yang menyamar sebagai pembeli untuk menentukan lokasi transaksi baru. Mereka bersepakat bertemu di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum Pondok Baru, Kecamatan Bandar, Bener Meriah, menjelang Selasa dinihari, 24 Mei lalu.
Ketika tim tiba, SPBU yang sudah tutup itu terlihat sepi dan gelap. Tak lama kemudian, satu mobil Toyota Kijang Innova berwarna hitam yang ditumpangi tiga orang masuk ke SPBU dan berhenti di dekat kendaraan tim Gakkum yang menyamar sebagai pembeli.
Iskandar terlihat menyopiri mobil. Dua orang lain, belakangan diketahui bernama Ahmadi dan Suriadi, duduk di kursi penumpang.
Salah satu anggota tim turun untuk memastikan mobil yang ditumpangi Iskandar membawa kulit harimau Sumatera beserta tulangnya. “Tapi ternyata gading gajahnya tidak ada,” tutur sumber itu.
Selepas mengkonfirmasi keberadaan kulit harimau, personel Gakkum yang tengah menyamar memberi kode kepada personel lain yang ikut mengintai transaksi tersebut. Ahmadi dan Suriadi tak melawan saat ditangkap. Namun Iskandar melarikan diri. Ahmadi dan Suriadi langsung diboyong ke Polda Aceh.
Setelah diperiksa selama 1 x 24 jam, tim Gakkum dan Polda Aceh sempat melepaskan Ahmadi dan Suriadi. Kepala Balai Gakkum Sumatera Subhan mengatakan hasil gelar perkara menyepakati keduanya menjadi saksi dalam kasus ini. “Mereka diberlakukan wajib lapor kepada penyidik di kantor Pos Gakkum Aceh,” kata Subhan.
Keputusan ini menuai protes organisasi pemerhati lingkungan, seperti Lembaga Suar Galang Keadilan (LSGK), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Aceh, Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh, Forum Konservasi Leuser, serta organisasi lain. Manajer Program LSGK Missi Muizzan mengatakan status saksi yang diberlakukan wajib lapor kepada penyidik tidak sesuai dengan Pasal 31 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. “Di pasal itu disebutkan wajib lapor hanya disyaratkan kepada tersangka atau terdakwa,” ujar Missi pada Jumat, 27 Mei lalu.
Namun status Ahmadi dan Suriadi berubah. Pada Senin malam, 30 Mei lalu, Iskandar menyerahkan diri ke Polres Bener Meriah. “Selanjutnya dia dibawa ke Polda Aceh untuk diperiksa oleh penyidik Gakkum KLHK,” ucap Subhan.
Setelah penyerahan diri Iskandar itulah penyidik menetapkannya sebagai tersangka beserta Ahmadi dan Suriadi. Menurut salah seorang yang mengetahui proses penangkapan itu, kulit harimau tersebut ditengarai milik Ahmadi. Ia tak mengakui hal ini saat ditanyai penyidik.
Awalnya, tim yang menyamar tak mengetahui ada peran Ahmadi dalam transaksi tersebut. Sebelum menjadi bupati pada usia 37 tahun, Ahmadi menjabat Ketua Independen Pemilihan Bener Meriah selama 10 tahun.
Karier politiknya terjungkal setelah Komisi Pemberantasan Korupsi menangkapnya karena menyuap bekas Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf. Ia divonis tiga tahun penjara dan bebas pada Juli 2021.
Nama Ahmadi sudah lama dibicarakan di kalangan aktivis satwa liar. Ia kerap dituding terlibat perdagangan satwa dilindungi. Pada April 2015, Tempo pernah mewawancarai Ahmadi di rumahnya ihwal tudingan ini.
Baca: Kisah Pemburu Gajah dan Harimau Sumatera
Ia mengaku pernah menjual gading gajah dan menawarkannya kepada banyak pihak. Tapi ia tak mau menyebutkan siapa pembelinya. “Saya sering mendapat gading gajah dari tentara yang bertugas di Aceh,” tuturnya kala itu.
Tempo kembali mendatangi rumah Ahmadi di Simpang Utama, Bener Meriah, pada Kamis, 2 Juni lalu, setelah dilepaskan polisi. Namun ia tak berada di rumah. Istrinya, Hasanah, mengklaim tidak mengetahui persoalan hukum yang menimpa suaminya. “Saya tidak tahu apa-apa terkait dengan penangkapan itu. Malamnya suami saya ada di rumah. Saat saya berangkat salat subuh berjemaah, suami saya tidak kembali,” kata Hasanah.
Ia mengatakan sempat menjemput Ahmadi ke Polda Aceh beberapa hari sebelumnya. “Saat ini Bang Ahmadi di Banda Aceh. Dia masih wajib lapor,” ucapnya. Hasanah menyayangkan informasi dan tuduhan terhadap suaminya yang beredar di media sosial karena belum terbukti kebenarannya.
Keterangan yang sama disampaikan Malasari, istri Iskandar. Ditemui di rumahnya di Kampung Kutelah Lane, Samarkilang, pada Kamis, 2 Juni lalu, rumah semipermanen milik Iskandar terlihat sepi. Malasari mengatakan suaminya tak pulang selama sepekan terakhir. Ia mengklaim tak tahu suaminya terlibat jual-beli satwa yang dilindungi. “Kami tidak tahu apa-apa,” ujarnya.
Direktur Jenderal Penegakan Hukum KLHK Rasio Ridho Sani menyatakan timnya tak akan berhenti pada kasus ini. Menurut dia, ancaman perburuan dan perdagangan harimau Sumatera masih ada.
Karena itu, dia memerintahkan Direktur dan Kepala Balai Gakkum Wilayah Sumatera mendalami kasus ini, termasuk menindak tegas pelaku lain yang terlibat. “Pelaku harus dihukum maksimal seberat-beratnya,” ucapnya.
Pelaksana tugas Direktur Pencegahan dan Pengamanan KLHK, Sustyo Iriyono, mengatakan jumlah harimau Sumatera saat ini hanya sekitar 603 ekor. “Di Provinsi Aceh terdapat 200 ekor,” tuturnya.
Bangkai harimau Sumatera yang mati kena jerat di kawasan hutan, Kabupaten Aceh Timur, 24 April 2022. Foto: ANTARA/ Weinko Andika
Untuk menjaga kelestarian satwa tersebut, pemerintah berjanji menindak tegas pelaku dan memberikan hukuman maksimal. “Kami tidak akan berhenti menindak pelaku kejahatan terhadap lingkungan hidup dan kehutanan,” ucap Sustyo.
Berkaitan dengan penegakan hukum kejahatan terhadap harimau Sumatera, menurut dia, KLHK telah menggelar berbagai operasi dengan mengamankan 127 bagian tubuh harimau. Untuk di Aceh, selain ketiga tersangka tersebut, Gakkum KLHK sudah memproses empat tersangka perburuan dan perdagangan ilegal harimau Sumatera lain.
Direktur Eksekutif Yayasan Leuser Internasional Said Fauzan Baabud mengatakan perburuan adalah ancaman nomor satu bagi harimau Sumatera. Dia mencontohkan tiga harimau Sumatera yang tewas karena terkena jerat di Kabupaten Aceh Timur pada Ahad, 24 April lalu.
Ia berharap penegak hukum perlu bekerja sama dengan masyarakat, tokoh desa, dan pemangku kepentingan di tingkat tapak untuk memperkuat lagi upaya patroli antijerat, penyelidikan, dan penegakan hukum. “Tindakan penting dan mendesak lain adalah pengawasan yang lebih ketat terhadap perburuan rusa sambar sebagai mangsa kesukaan harimau,” katanya.
ZAKI M. BUJANG (BENER MERIAH)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo