Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Perwira bersama anggota Brigade Infanteri Raider 20/Ima Jaya Keramo, Mimika, dibantu warga sipil membunuh dan memutilasi empat warga Kabupaten Nduga, Papua.
Ada upaya menghilangkan jejak dengan membuang jasad korban ke kali dekat laut dan mobilnya dibakar di tempat berbeda.
Uang Rp 250 juta milik korban dibagi-bagi oleh pelaku.
MUTILASI terhadap empat penduduk Mimika di Papua pada Senin, 22 Agustus lalu, yang menggegerkan Papua Tengah membuat keluarga para korban mengungsi. Mereka meminta perlindungan ke kantor Amnesty International Indonesia di Menteng, Jakarta Pusat. “Kami masih takut,” kata Andrean Gwijangge, kerabat Irian Nirigi, salah satu korban mutilasi Papua, pada Rabu, 7 September lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Andrean terbang ke Jakarta menemani dua kemenakannya, anak Irian Nirigi, pada Selasa, 6 September lalu. Setelah menyambangi kantor Amnesty, ia hendak melaporkan mutilasi itu ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Ada tiga korban lain mutilasi yang diduga dilakukan oleh sejumlah anggota Tentara Nasional Indonesia tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mereka adalah Arnold Lokbere, Lemaniol Nirigi dan Atis Tini. Lemaniol pemuda yang baru lulus sekolah menengah atas dan sedang mengikuti seleksi pegawai negeri sipil di pemerintah daerah Mimika. Sementara itu, Atis sehari-hari bekerja sebagai sopir kapal cepat jurusan Timika-Nduga atau Nduga-Adas.
Andrean Gwijangge mencoba menceritakan pembunuhan keji kerabatnya itu dengan susah payah. Ia menahan tangis karena mengaku masih merasa trauma melihat potongan tubuh saudaranya di dalam karung. “Tubuhnya dipotong seperti binatang,” ucapnya. “Seperti ayam yang mau dimasak.” Dua anak Irian yang duduk di sebelahnya terus menunduk tak kuasa berkata-kata.
Irian Nirigi adalah Kepala Kampung Yunat di Kabupaten Nduga, Papua Pegunungan. Jarak Nduga ke Mimika sekitar 122 kilometer. Pada 2019, penduduk Nduga mengungsi ke Mimika karena ketakutan terimbas operasi TNI yang memerangi kelompok bersenjata pimpinan Egianus Kogoya.
Sementara itu, Arnold Lokbere membuka toko di Nduga. Arnold dan Irian ke Mimika untuk belanja bahan bangunan dan kebutuhan lainnya sejak 15 Agustus lalu. Selama di Mimika, Arnold tinggal di rumah kakaknya, Aptoro Lokbere. Kerabat Arnold, Otis Tabuni, mengatakan Aptoro bercerita melihat adiknya keluar dari rumah naik mobil sewaan Toyota Avanza sekitar pukul 19.00 WIT pada Senin, 22 Agustus lalu. Aptoro, seorang pilot, hanya mendapat jawaban Arnold akan segera kembali setelah urusannya beres ketika ia ditanyai di depan pintu.
Keluarga empat warga korban mutilasi oleh TNI di Timika menggelar konferensi pers di Amnesty Internasional menuntut keadilan dan proses hukum terhadap pelaku di pengadilan sipil/Tempo/Linda Trianita
Hari berganti, Arnold tak kembali. Aptoro kaget ketika teman Arnold, Jamal, datang ke rumahnya menanyakan mobil Toyota Calya yang disewa Arnold. Kepada Jamal, Aptoro mengatakan ia hanya melihat adiknya mengendarai Avanza, mobil yang biasa ia sewa untuk mengangkut belanjaan dari Pelabuhan Pomako untuk diangkut kapal ke Nduga. Hari itu nomor telepon seluler Arnold tak bisa dihubungi.
Aptoro lalu mencarinya. Ia menyebarkan kabar kepada kerabat lain bahwa Arnold menghilang. Rupanya, kerabat lain memberi tahu bahwa Arnold pergi bersama Irian, Lemaniol, dan Atis malam itu. Sama seperti nomor ponsel Arnold, nomor ponsel tiga orang tersebut mati sunyi.
Dua hari kemudian mereka mendatangi kantor Kepolisian Resor Mimika. Tak mendapat informasi jelas tentang keberadaan kerabat mereka, Aptoro dan Otis mendatangi kepolisian sektor, kantor komando distrik militer, hingga rumah sakit. “Saya minta kerabat cek ke Nduga, tapi dia mengabari di sana juga tidak ada,” tutur Otis.
Sehari berikutnya, Jamal datang lagi ke rumah Aptoro. Ia mengatakan ada kabar mobil Calya yang disewa Arnold terbakar di Jalan Trans Nabire, berjarak 20 kilometer dari Timika, ibu kota Kabupaten Mimika. Namun, ucap Jamal, mesin mobil sudah tidak ada. Beberapa saat kemudian, Jamal memberi kabar terbaru bahwa Toyota Avanza terparkir di depan kantor BRI Satuan Permukiman IV Mimika Baru.
Di hari yang sama, Distrik Kaugapu di Kecamatan Mimika Timur gempar. Penduduk yang sedang memancing di Kali Pigapu menemukan karung berisi potongan tubuh manusia. Karung itu mengapung di air meski diisi tujuh batu.
Polisi setempat lalu membawa potongan tubuh itu ke Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Mimika. Baru pada malam Aptoro tiba di rumah sakit. Ia mengenali jasad yang terpotong-potong itu adalah tubuh adiknya, Arnold Lokbere. Kaki Arnold terpotong hingga lutut, dua tangannya juga ditebas tapi tak lepas, juga terdapat luka tembakan di dada tembus ke punggung.
Penemuan potongan tubuh Arnold diikuti temuan tiga jasad yang lain. Polisi sudah menyerahkan semua jasad mutilasi itu ke rumah sakit untuk diidentifikasi. Otis dan Andrean serta keluarga Lemaniol dan Atis sudah memastikan identitas jasad itu. Semua jenazah sama: kepalanya hilang.
Direktur Reserse Kriminal Umum Kepolisian Daerah Papua Komisaris Besar Faizal Ramadhani mengatakan pembunuhan terhadap Arnold, Irian, Lemaniol, dan Atis merupakan pembunuhan berencana. Dengan mengikuti jejak-jejak para korban, polisi segera mengidentifikasi para pelaku.
Salah satunya adalah Komandan Detasemen Markas Brigade Infanteri Raider 20/Ima Jaya Keramo Mayor Infanteri Hilmanto Fransiskus Dahki. Menurut Faizal, Hilmanto adalah otak pembunuhan itu karena merencanakannya dua hari sebelum eksekusi. “Ada dua anggota TNI lain ikut merencanakan pembunuhan tapi tak ikut eksekusi,” ucapnya.
Hilmanto rupanya mengajak lima temannya sesama anggota Brigade Infanteri membunuh Arnold dan kawan-kawan. Mereka adalah Kapten Dominggus Kainama, Prajurit Kepala Pargo Rumbouw, Prajurit Satu Rahmat Amin Sese, Prajurit Satu Robertus Putra Clinsman, dan Prajurit Satu Riski. Setelah polisi meringkus para pelaku, mereka masuk tahanan Sub-Detasemen Polisi Militer XVII/C Mimika.
Selain tentara, menurut Faizal, ada empat penduduk sipil yang terlibat pembunuhan. Mereka adalah Andre Pudjianto Lee, Dul Uman, Roy Marthen Howay, dan Rafles. Kecuali Roy, polisi menangkap mereka pada Sabtu, 27 Agustus lalu. Roy masih kabur. Ia terkenal sebagai ketua geng di Timika.
Apa yang membuat para tersangka membunuh dan memutilasi tubuh Arnold, Irian, Lemaniol, dan Atis? Menurut Komisaris Besar Faizal Ramadhani, motif pembunuhan dan mutilasi Mimika tersebut adalah rekayasa transaksi senjata. “Roy yang menghubungi para korban,” ucap Faizal. “Dia memang kenal mereka.”
Roy menawarkan senjata api jenis FN dan laras panjang AK47. Pistol dan senjata itu diduga berasal dari para tentara ini. Arnold dan Irian percaya Roy hendak menjual senjata. Senjata itu ternyata palsu. Menurut Faizal, salah seorang tersangka yang bekerja sebagai tukang las membuat pistol dan senjata laras panjang tersebut.
Transaksi palsu itu pun diduga sebagai motif perampokan, pembunuhan, hingga mutilasi. Arnold rupanya membawa uang Rp 250 juta untuk membeli senjata-senjata tersebut. “Uang itu sudah dibagikan oleh para tersangka,” tutur Faizal. “Masing-masing mendapat Rp 20 juta.” Dalam penyelidikan, polisi menyita sisa uang Rp 100 juta.
Rupanya, sekeluar dari rumah saat berpapasan dengan Aptoro, Arnold bertemu dengan Irian, Lemaniol, dan Atis. Dari rekonstruksi polisi, Arnold mendapat panggilan telepon dari penyewaan mobil yang menawarkan mobil Calya karena mobil Avanza hendak dipakai. Mereka pun berjanji bertukar mobil di depan kantor BRI. Polisi tak mengusut mengapa petugas penyewaan mobil tak mengambil Avanza yang dibiarkan terparkir di BRI.
Sebab, setelah bertukar mobil, menurut Otis Tambuni, Arnold dan kawan-kawan menuju lokasi transaksi senjata di sebuah lahan kosong di Satuan Permukiman 1, Kamoro Jaya, Timika. Ia menduga lokasi itu sudah ditentukan para tentara. Di sini mereka menyambut Arnold dan kawan-kawan.
Dari penduduk yang tinggal sekitar lahan kosong itu, Otis Tambuni mendapat informasi bahwa terdengar ada tembakan pada Senin malam, 22 Agustus lalu. “Ada warga yang keluar rumah tapi disuruh masuk kembali oleh anggota TNI,” kata Otis. Dua tukang ojek yang melintas di jalan dekat lahan eksekusi itu juga diminta putar balik. Petunjuk dan keterangan penduduk inilah yang menjadi kunci polisi untuk meringkus para pelaku mutilasi.
Para tersangka tak menyangkal kronologi yang disusun polisi dari keterangan penduduk. Mereka mengatakan membawa empat jasad yang telah ditembak itu ke kawasan Lopong yang tak jauh dari pelabuhan. Di sinilah mereka memutilasi dan menghanyutkan karung berisi potongan tubuh ke sungai di lokasi berbeda.
Adapun mobil Calya dibawa ke jalur Trans Nabire untuk dibakar. Otis Tabuni mengetahui kronologi pembunuhan kerabatnya itu dari rekonstruksi yang dibuat polisi setelah menangkap para pelaku. Tapi, dia menjelaskan, semua kejadian diperagakan oleh seorang tentara yang berperan sebagai Roy Marthen Howay. “Peran anggota TNI tidak begitu terlihat,” ucap Otis.
Michael Himan, pengacara keluarga korban mutilasi, mengatakan para pelaku yang dihadirkan dalam rekonstruksi itu tidak bisa menjelaskan lokasi pembuangan atau penyimpanan kepala para korban. “Kami menduga para korban ditembak di kepala, lalu dihancurkan, baru dimutilasi,” katanya.
Michael Himan juga membantah pernyataan polisi bahwa salah satu korban pembunuhan itu berafiliasi dengan kelompok kriminal bersenjata (KKB) Organisasi Papua Merdeka (OPM). “Keluarga dan Bupati Nduga sudah mengkonfirmasi mereka hanya masyarakat sipil biasa,” kata Michael.
Tuduhan Arnold dan kawan-kawan hendak membeli senjata, kata Michael, juga diragukan keluarganya. Mereka punya uang banyak karena hendak berbelanja untuk warung dan pembangunan gereja di distriknya.
Andrean Gwijangge meminta pemerintah Indonesia mengusut pembunuhan dan mutilasi ini seadil-adilnya, transparan, dan digelar pengadilan umum untuk menghindari impunitas anggota TNI. Ia mengutip Undang-Undang TNI yang menyebutkan kejahatan pidana umum oleh anggota TNI ditangani pengadilan umum.
Kepala Dinas Penerangan TNI Angkatan Darat Brigadir Jenderal Hamim Tohari menyerahkan pengadilan para pelaku pembunuhan Mimika itu kepada Mahkamah Agung. Jika penyidikan memenuhi syarat koneksitas, menurut dia, itu adalah kewenangan Mahkamah.
Di atas semua itu, Andrean juga meminta siapa saja menghentikan stigma kepada orang Papua. “Kami orang hutan ini selalu dicap sebagai OPM sehingga di tanah sendiri kami dibantai seperti itu,” tuturnya soal mutilasi itu.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo