Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kenaikan harga BBM akan berpengaruh besar terhadap kenaikan tarif transportasi dan logistik.
Apindo memprediksi inflasi akibat kenaikan harga BBM tidak lebih dari 6,5 persen.
Pengusaha meminta kejelasan pemerintah soal skema perdagangan karbon dan peta jalan bebas karbon.
KEPUTUSAN pemerintah menaikkan harga BBM atau bahan bakar minyak telah memicu demonstrasi di berbagai daerah. Kenaikan yang mencapai 30 persen itu diperkirakan akan mendorong naiknya harga barang dan menambah beban masyarakat. Tak berselang lama, sejumlah sektor usaha juga mengumumkan penyesuaian tarif sebagai respons kebijakan baru ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani, dampak kenaikan ini akan sangat terasa pada sektor usaha yang komponen utamanya adalah energi, yaitu transportasi dan logistik. Asosiasi layanan pengiriman barang di darat (trucking) akan menyesuaikan tarif sampai 25 persen dan logistik 10 persen. Inflasi, ujar Hariyadi, sudah pasti akan naik, tapi tak akan lebih tinggi dari 6,5 persen. “Insya Allah enggak,” kata Hariyadi mengenai kemungkinan terjadinya hiperinflasi dan pemecatan besar-besaran.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam wawancara selama sekitar satu jam dengan wartawan Tempo, Abdul Manan dan Iwan Kurniawan, pada Rabu, 7 September lalu, Hariyadi memaparkan dampak kenaikan harga bahan bakar dan pengaruhnya terhadap upah minimum pekerja. Ia juga menguraikan sejumlah tantangan yang dihadapi dunia usaha untuk masuk ke energi terbarukan dan langkah-langkah yang bisa dilakukan pemerintah agar lebih banyak pengusaha yang tertarik menggunakannya.
Apakah Apindo sudah mengantisipasi kenaikan harga bahan bakar minyak?
Kita sudah sama-sama melihat bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara mematok asumsi harga minyak mentah hanya US$ 60 per barel, tapi tiba-tiba melonjak menjadi lebih dari US$ 100, bahkan pernah US$ 128 per barel. Rata-rata sekarang US$ 109 per barel. Dengan kondisi itu, APBN pasti bermasalah. Pemerintah mengalokasikan Rp 502 triliun sudah dibelanjakan untuk subsidi terkait dengan energi itu. Memang negara lain juga melakukan hal yang sama. Hanya, karena subsidi BBM sekarang terbuka, bukan tertutup, Menteri Keuangan bilang bahwa 70 persen (subsidi energi) tidak tepat sasaran. Itu yang sebetulnya dari awal sudah kita ketahui. Subsidi terbuka akan seperti itu. Sekarang ini sedang dikoreksi. Situasinya memang kita bisa pahami dari awal.
Pengusaha pernah diajak bicara ihwal kenaikan ini?
Enggak. Kalau masalah seperti ini kami tidak pernah diajak berbicara. Selama republik ini berdiri, kalau pemerintah mau menaikkan harga BBM, tidak pernah ngomong-ngomong (ke pengusaha). Ngomongnya sama Dewan Perwakilan Rakyat. Kan kita sudah diwakili DPR.
Apa dampak langsung bagi dunia usaha?
Yang terkena dampak pasti yang sektornya menggunakan energi sebagai komponen utama, yaitu transportasi dan logistik. Itu yang paling terkena dampak. Teman-teman di trucking, asosiasinya sudah mengeluarkan pernyataan akan menyesuaikan tarif sampai 25 persen, logistik kira-kira 10 persen. Kalau taksi, (kami) belum tahu penyesuaiannya berapa. Banyak orang bertanya apakah inflasi akan naik. Ya, memang pasti akan ada pengaruh. Seberapa besar? Menurut pandangan kami, (inflasi) masih di bawah perkiraan 6,5 persen.
Bagaimana hitungannya mengenai inflasi itu?
Karena tidak ada push demand (tekanan permintaan). Kalau ada permintaan besar melebihi suplai, harga pasti akan naik. Nah, itu tidak ada. Push demand hanya ada saat Idul Fitri karena di situ ada tunjangan hari raya, gaji ke-14, bonus, dan segala macam. Jadi daya beli tinggi. Itu diikuti harga yang ikut-ikutan naik. Situasi sekarang tidak ada yang begitu. Artinya, daya beli normal saja, sehingga kalau naik, siapa yang mau beli? Inflasi, perkiraan kami, tidak lebih dari 6,5 persen itu. Itu pun cenderung akan turun, kecuali nanti pada Desember mungkin ada sedikit belanja yang naik.
Apakah kenaikan harga bisa sampai 30 persen seperti kenaikan harga BBM?
Tidak akan seperti itu. Tetap mereka (pengusaha) akan menyesuaikan juga dengan daya beli masyarakat. Semua pada akhirnya akan melihat kembali pasokan dan permintaan. Sepanjang suplainya mencukupi, permintaan tidak naik alias normal-normal saja. Menurut saya, ya, pelan-pelan akan kembali normal. Harga BBM naik kan bukan kali ini saja.
Kenaikan tarif transportasi apakah akan sebesar kenaikan harga BBM?
Nanti kita lihat. Kalau saya bilang, enggak. Kalau ikut naik 30 persen, nanti dampaknya ke pembelinya. Sekarang mari sama-sama kita lihat. Mungkin ini (penilaian) prematur. Jalanan masih macet, tuh. Saya ke Depok dua hari lalu sampai harus naik sepeda motor. Enggak sanggup naik mobil dari Menteng ke Depok. Macet banget. Kan, seharusnya, kalau ada konsekuensi ke sana, otomatis ada penurunan arus lalu lintas.
Komponen BBM dalam biaya produksi sebenarnya berapa persen?
Tergantung pada sektornya. Kalau sektor transportasi memang besar. Mungkin ia bisa sampai lebih dari 50 persen. Angkutan umum, misalnya, bisa lebih dari 50 persen. Di pesawat terbang, bisa 40 persen. Kalau di industri produsen, relatif kecil (karena) yang besar penggunaan listrik. Nanti jadi masalah kalau listrik juga naik.
Ada yang merisaukan kenaikan harga BBM bisa menyebabkan pemutusan hubungan kerja.
Itu hiperbola. Ada ekonom yang bilang juga bisa terjadi hiperinflasi (inflasi yang sangat tinggi dan tidak terkendali), PHK besar-besaran. Ya, insya Allah enggak.
Bagaimana Anda yakin?
Hiperinflasi tidak mungkin terjadi karena tidak ada tekanan permintaan. Kalau PHK, selama ekonominya berjalan, masyarakat beraktivitas, alasannya apa untuk PHK? Pada masa pandemi, permintaannya hilang, orang tidak boleh beraktivitas dan dikurung di rumah, itu mau tidak mau (terjadi) PHK.
Apakah ekonomi kita sudah pulih?
Belum sepenuhnya. Di sektor pariwisata, mungkin baru 60 persen dibanding kondisi 2019. (Yang pulih sepenuhnya) mungkin di makanan dan barang konsumsi, yang memang terkena dampak, tapi praktis cepat baliknya.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia, Hariyadi Sukamdani, di ruang kerjanya di Jakarta. 8 September 2022/TEMPO/Febri Angga Palgunav
Mitigasi apa yang dilakukan pengusaha untuk meredam dampak kenaikan harga BBM?
Sebetulnya, selama faktor utama komponen industri tidak naik berlebihan, itu masih bisa dikontrol. Misalnya bahan baku. Kalau bahan baku masih bisa diperoleh, kenaikan harga tidak signifikan. Ini terutama berlaku pada bahan pangan karena langsung bisa dihitung sebagai komponen inflasi. Makanya suplai bahan baku harus dijaga betul. Lalu, mengenai listrik, kalau bisa jangan naik, lah, karena itu komponen utama untuk semua industri. Nah, untuk perbankan, Otoritas Jasa Keuangan (mesti) ikut mengawasi supaya bank juga realistis melihat kalau ada perusahaan yang memang dalam proses pemulihan, dibantu. Bukannya malah ditekan. Akhirnya, itu bisa berpengaruh terhadap kesehatan perusahaan. Jadi bank betul-betul memberikan ruang bagi sektor riil untuk pulih dan kebutuhan masyarakat juga bisa terpenuhi dengan baik.
Bagaimana dampak kenaikan harga BBM ini pada pengupahan?
Kenaikan upah dibahasnya pada Oktober nanti. Kita kan sudah ada formula. Nanti kita lihat di situ.
Artinya kenaikan upah minimum tidak terhindarkan?
Ya. Nanti kan di rumusnya sudah memasukkan inflasi. Tahun lalu di bawah 4 persen. Tahun ini, perkiraan karena kena dampak kenaikan harga BBM, enggak akan lebih dari 6,5 persen. Sekitar 6 atau 5,5 persen.
Itu kenaikan yang masih bisa ditoleransi?
Masih. Itu nanti diperhitungkan. Untuk pengupahan itu, (hitungannya) inflasi wilayah, bukan inflasi nasional, (jadi) bisa saja ada yang inflasinya lebih tinggi dari inflasi nasional.
Kenaikan upah minimum provinsi Jakarta sempat dipersoalkan pengusaha.
Itu gara-gara (Gubernur DKI Jakarta) Pak Anies Baswedan mau tampil beda. Dia tidak ikut Peraturan Pemerintah tentang Pengupahan. Pak Anies kalah, dia dapat nama; menang, dapat nama juga. Yang bayarin kan pengusaha. Dia tidak keluar duit.
Sebetulnya, sekarang ini, kalau bicara pengupahan, jauh lebih baik. Formula dalam peraturan pemerintah itu sudah mencakup banyak faktor yang, menurut saya, jauh lebih lengkap, dari inflasi, kebutuhan minimum, hingga kebutuhan hidup layak. Disparitas antarwilayah juga diperhitungkan. Tapi, memang, kalau bicara pengupahan, apalagi mendekati pemilihan umum, biasanya banyak kepala daerah yang genit-genit. Karena, paling enak kalau (mereka berbicara) tentang pengupahan. Dia tak keluar duit. Yang bayar kan pengusaha. Dia tinggal cari popularitas saja.
Kenaikan harga BBM ini juga karena pengaruh invasi Rusia ke Ukraina. Bagaimana dengan dampak lain, misalnya pasokan gandum?
Yang jelas gandum naik harganya. Gandum menjadi bahan utama makanan kita, untuk turunannya, yaitu bahan baku mi, roti. Otomatis itu berpengaruh pada bahan olahan. Sekarang kami juga melihat mulai ada kelonggaran untuk ekspor gandum dari Ukraina. Rusia sendiri menghasilkan gandum juga. Bagi Indonesia, sebetulnya gandum banyak dipakai untuk makanan sekunder.
Apa dampak berkurangnya pasokan gandum?
Sempat ramai harga mi instan naik. Saya sudah tanya (ke pengusaha), kalaupun naik, enggak terlalu signifikan juga. Yang saya pantau juga dari produk bakery, yang pakai gandum juga. Kalaupun naik, tidak signifikan. Malah yang harganya naik cabai dan bawang.
Kecilnya kenaikan harga itu karena konsumsinya sedikit atau ada sumber alternatif?
Karena volume juga (kecil). Dari segi efisiensi produk, relatif juga cukup baik. Memang, dengan kelangkaan gandum kemarin, mereka (pengusaha) mencari (gandum) dari mana-mana, termasuk India dan sebagainya. Sampai sejauh ini, yang saya pantau, masih oke. Enggak ada yang mengeluh sampai pabrik stop gara-gara tidak ada bahan baku.
Perang di Ukraina apakah ada keuntungan bagi Indonesia?
Kita dapat windfall sehingga pemerintah bisa mengalokasikan subsidi untuk menahan pengaruh kenaikan harga BBM sampai Rp 502 triliun. Itu karena windfall dari komoditas.
Tapi secara umum dampak perang ini lebih menguntungkan atau merugikan?
Jelas merugikan. Karena mereka perang, harga BBM naik. Gandum susah. Namanya perang di mana-mana bikin susah.
Sekarang banyak negara mulai meninggalkan energi berbahan fosil, seperti minyak. Apa upaya pengusaha untuk beralih ke energi terbarukan?
Energi terbarukan memang kami sudah pikirkan. Pada saatnya nanti energi fosil memang membahayakan lingkungan. Yang kami perlukan, pemerintah nanti betul-betul konsisten soal peta jalannya, menuju bebas karbon itu bagaimana. Kalangan industri sendiri juga mulai berpikir bagaimana beralih dari energi fosil ke energi terbarukan. Sudah banyak (yang mulai), dari biomassa, sampah, sinar matahari, sampai angin. Yang menjadi tantangan, kapasitas potensi energi terbarukan ini yang bisa diekspor masih kecil keluarannya.
Apakah anggota Apindo sudah ada yang menggunakan energi terbarukan?
Ada. Beberapa sudah mulai. Ada yang bergerak di bidang konversi menggunakan panel surya. Juga ada yang mendekatkan ke hidropower. Ada beberapa perusahaan yang basisnya di batu bara sudah mulai siap-siap masuk ke biomassa. Tambang-tambang yang mulai enggak produktif mereka tanami lagi.
Bagaimana dengan regulasinya?
Kalau berhubungan dengan karbon, sampai sekarang belum jelas yang boleh melakukan perdagangan karbon siapa. Kata pemerintah, enggak boleh pihak swasta jual karbonnya langsung kepada pembeli. Ini harus cepat-cepat diselesaikan.
Bukankah pemerintah sudah menetapkan peta jalan untuk bebas karbon pada 2060?
Nah, itu yang sebetulnya bagi kami belum jelas. Peta jalannya bagaimana sebetulnya? Misalnya (apakah) mau diubah menjadi energi terbarukan semuanya? Lalu kira-kira harga ke konsumen itu berapa (dari energi terbarukan)? Kami belum tahu. Dasar hitungannya sendiri belum begitu kami pahami. Kalau cuma dibilang 2060 akan bebas karbon, semua orang bisa ngomong begitu. Menuju ke sananya bagaimana? Apalagi sekarang sudah diberlakukan pajak karbon.
Bukankah pajak karbon belum berlaku?
Ditunda. Seharusnya efektif berlaku pada April. Belum tahu sampai kapan. Yang jadi pertanyaan, kalau pajak karbon diberlakukan, dananya (seharusnya) dipakai untuk semua upaya mengurangi karbon. Nanti kita lihat saja apakah akan ke sana. Yang kami khawatir adalah pajak karbon bukan dialokasikan untuk menurunkan karbon, tapi dipakai untuk APBN secara umum. Itu yang juga harus diawasi. Energi terbarukan relatif mahal investasinya. Output-nya kecil. Ini jadi pekerjaan rumah.
Apakah sudah mendapatkan penjelasan dari Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup mengenai insentif bagi pengusaha yang menggunakan energi terbarukan?
Sudah. Misalnya, kalau kami memakai panel surya, mereka bantu untuk mensubsidi panel suryanya.
Hariyadi Sukamdani/Tempo
Sebenarnya insentif apa yang bisa diberikan pemerintah agar dunia usaha lebih tertarik?
Insentif yang berdampak pada harga jual energi terbarukan ini agar mendekati harga keekonomian. Kalau ia tidak mencapai nilai keekonomian, harus ada serangkaian program yang mendekatkan itu. Makanya ide pajak karbon seharusnya lari ke sana. Ia harus mendekatkan disparitas biaya. Itu problem umum energi terbarukan. Beda dengan nuklir, energi yang bisa dihasilkan besar.
Selama ini listrik dari energi terbarukan masih tergolong mahal.
Karena investasinya mahal. Listrik dari panas bumi, kalau tak salah Rp 10-12 sen, sedangkan batu bara sekitar Rp 4 sen per kilowatt-jam. Pemerintah harus membuat bantalan supaya sewaktu dia (pengusaha) beli energi terbarukan, ada subsidi di sana. Waktu dijualnya ke masyarakat harganya bisa terjangkau.
Mekanismenya seperti apa?
Pemerintah (mesti) membeli listrik dari energi terbarukan lebih mahal. Kalau enggak, enggak ada yang mau bikin energi terbarukan, tidak mau eksplorasi panas bumi, bikin panel surya, dan sebagainya.
Beberapa negara di Eropa mulai concern terhadap bisnis yang hijau. Sudah ada dampaknya?
Saat ini belum. Tapi itu bakal merepotkan. Kami sudah mulai bahas. Kalau bank mensyaratkan begitu, waduh, kepikiran juga. Tujuan regulasinya tentu baik, tapi implementasinya harus disesuaikan dengan kondisi di lapangan. Misalnya pembangkit batu bara. Mengubahnya (ke energi terbarukan) kan enggak segampang itu. Ada biaya dan segala macam.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo