Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BEBERAPA pemuda berjalan dari salah satu gang sempit di Jalan Kota Bambu Selatan VII, Kelurahan Kota Bambu Selatan, Kecamatan Palmerah, Jakarta Barat, pada Senin siang, 29 Juli 2024. Mereka diduga baru selesai membeli narkotik dan obat-obatan terlarang atau narkoba di kawasan yang disebut Kampung Boncos itu. “Habis bertransaksi itu,” ujar salah seorang warga Kampung Boncos, Agustin—bukan nama sebenarnya—kepada Tempo. Pria 64 tahun itu meminta namanya disamarkan karena khawatir mendapat ancaman dari para bandar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di depan gang lain, masih di jalan yang sama, seorang pemuda kurus berambut gondrong terang-terangan menawarkan narkotik kepada setiap orang yang melewatinya. Menurut Agus, suasana itu menjadi pemandangan sehari-hari di Kampung Boncos. Hampir semua gang menjadi jalur masuk penjualan narkoba. “Mereka belanja sudah seperti beli kacang,” kata Agustin. “Belanja” yang dimaksud merupakan transaksi jual-beli narkotik jenis sabu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak ada warga sekitar yang mengenal para pembeli. Mereka biasanya memarkir kendaraan di sepetak lahan kosong dekat masjid di Jalan Kota Bambu Selatan VII. Dari pantauan Tempo, pada Senin siang hingga sore, 29 Juli 2024, beberapa mobil terlihat bergantian parkir. Sementara itu, kendaraan roda dua hilir-mudik mencari parkiran kosong di beberapa titik di tepi jalan. Lapak parkir tersebut dijaga dua-tiga orang. Masih berdasarkan keterangan Agustin, sebagian besar pengguna kendaraan yang parkir biasanya membeli narkoba di sana.
Peredaran narkotik di Kampung Boncos masih menjamur meski Satuan Reserse Narkoba Kepolisian Resor Metropolitan Jakarta Barat menggerebek kawasan itu pada Rabu, 17 Juli 2024. Saat itu polisi menangkap 46 orang. Sebanyak 42 orang di antaranya positif menggunakan narkoba. Polisi menggerebek Kampung Boncos setelah menangkap IS dan HS di parkiran hotel di wilayah Kecamatan Palmerah. Polisi menyita 10 kilogram sabu dari tangan mereka.
Sehari kemudian, Kepolisian Sektor Metro Palmerah menangkap basah tujuh pengguna narkotik di Kampung Boncos. Namun pengedarnya kabur. Polisi juga menghancurkan bangunan semipermanen yang disebut bedeng, tempat ketujuh orang itu diduga mengkonsumsi narkotik.
Kepala Kepolisian Resor Metro Jakarta Barat Komisaris Besar Muhammad Syahduddi mengatakan transaksi narkoba di Kampung Boncos memang sudah mengkhawatirkan. “Kampung Boncos zona merah peredaran narkotik,” tutur Syahduddi.
Warga Kampung Boncos lain, Budiman—bukan nama sebenarnya—mengatakan 46 orang yang ditangkap polisi beberapa waktu lalu hanya pemain kecil. Ia menyebut ada tiga kategori bandar di Kampung Boncos, yakni kecil, sedang, dan besar. Salah satu bandar besar di Kampung Boncos dikenal sebagai Ibu Ratu. Pria 74 tahun itu tidak menyebutkan nama Ibu Ratu sebenarnya. Tapi ia menggambarkan Ibu Ratu sebagai wanita kaya yang memiliki beberapa kendaraan mewah dan berbisnis puluhan pintu kamar kos. Usianya sekitar 40 tahun.
Pengamanan warga yang dinyatakan positif menggunakan narkotik melalu tes urine setelah penggerebekan Kampung Boncos di Palmerah, Jakarta, 17 Juli 2024./Dok Humas Polri
Selain diduga menjual narkotik, Ibu Ratu menyediakan tempat yang disebut Hotel Boncos di sana. Tempat itu disewakan untuk pelanggan yang hendak mengkonsumsi narkoba. “Tarif sewanya Rp 10 ribu per jam,” ucap Budiman. Hingga kini, Budiman mengaku heran polisi masih belum bisa menangkap bandar besar di Kampung Boncos, padahal semua warga sekitar sudah mengenalnya.
Wakil Kepala Satuan Reserse Narkoba Polres Metro Jakarta Barat Komisaris Retno Jordanus membantah kabar mengenai adanya bandar besar yang dikenal sebagai Ibu Ratu. “Bukan bandar itu,” ujarnya. Ia tak menjelaskan siapa sosok Ibu Ratu tersebut. Ia mengklaim Polres Metro Jakarta Barat rutin menggelar patroli di kawasan Kampung Boncos. Tapi, dia menjelaskan, penanganan Kampung Boncos sebagai sarang narkotik bukan hanya tugas polisi.
Budiman mengatakan polisi kesulitan memberantas peredaran narkotik di Kampung Boncos karena modusnya terus berkembang. Mereka, misalnya, punya mata-mata yang memantau situasi kampung. Kabar penggerebekan akan langsung tersebar lewat telepon seluler. Warga sekitar sebenarnya sudah berupaya ikut memberantas narkoba. Misalnya memasang kamera pengawas hingga sering melapor ke polisi. Tapi cara ini tak pernah manjur. “Sekarang masyarakat sudah apatis,” tuturnya.
Direktur Tindak Pidana Narkoba Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI Brigadir Jenderal Mukti Juharsa juga mengeluhkan sulitnya memberantas peredaran narkoba di Kampung Boncos. Bahkan, saat menjabat Direktur Reserse Narkoba Polda Metro Jaya, ia mengaku telah berkali-kali menggerebek kampung itu. Tapi upayanya selalu gagal menyetop peredaran narkotik di sana. “Memang susah, penggunanya banyak di situ,” katanya.
Direktur Pembinaan Masyarakat Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya Komisaris Besar Badya Wijaya mengatakan pihaknya akan menggelar operasi narkoba serentak di berbagai kawasan dalam waktu dekat. Operasi akan dilakukan kepolisian bekerja sama dengan prajurit Tentara Nasional Indonesia. Ia mengklaim operasi itu akan membasmi peredaran narkotik hingga ke akarnya.
Badya Wijaya menjelaskan, Polda Metro Jaya juga memiliki program rehabilitasi kawasan yang terjangkit penyalahgunaan narkoba. Salah satunya lewat media sosial. Ia tak menampik label “kampung narkoba” di sebuah daerah berdampak pada warga yang sudah bersih dari narkoba. Tapi berbagai upaya tersebut tetap dilakukan. “Kasihan generasi yang diberi label karena daerahnya jadi ‘kampung narkoba’,” ujar Badya.
Berdasarkan data Badan Narkotika Nasional (BNN) pada 2019, Jakarta menjadi provinsi dengan wilayah peredaran narkotik terbanyak. Jumlahnya 117 wilayah. Selain Kampung Boncos, ada Kampung Ambon di Kelurahan Kedaung Kali Angke, Kecamatan Cengkareng, Jakarta Barat; dan Kampung Bahari di Kelurahan Tanjung Priok, Kecamatan Tanjung Priok, Jakarta Utara, yang menjadi langganan penggerebekan polisi. Provinsi lain seperti Aceh memiliki 64 kawasan narkoba, Sumatera Utara 59 wilayah, serta Jawa Barat dan Jawa Timur 33 wilayah.
Kepala BNN Komisaris Jenderal Marthinus Hukom mengatakan pihaknya sudah berupaya masuk ke perkampungan yang peredaran narkobanya sudah melembaga. Ia mencontohkan Kampung Beting, Kalimantan Barat. Para pengedarnya memiliki sistem rayon yang menampung anak-anak yang tidak bisa melanjutkan sekolah. Daerah itu juga dijuluki kampung preman. Ada juga kampung narkoba di Madura, Jawa Timur, yang sulit diberantas karena pengedarnya menyatu dengan masyarakat. “Solusinya, temui mereka, jangan membuat stigma buruk,” ucapnya.
Salah satu upaya BNN mengubah perkampungan menjadi bersih dari narkoba adalah memberi pelatihan, dari pertanian hingga permesinan, kepada warga sekitar. Harapannya, mereka akan bisa mencari nafkah di bengkel. BNN juga cenderung mengkampanyekan metode rehabilitasi ketimbang memidanakan pengguna narkotik. Marthinus mendorong penggunaan klinik institusi penerima wajib lapor yang tersedia di berbagai wilayah. Klinik itu melayani konseling, rehabilitasi sosial, dan konsultasi medis pencandu. “Layanannya gratis,” kata Marthinus.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
M. Faiz Zaki berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Ibu Ratu di Kampung Boncos"