Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perusahaan penyedia domain, PT Jagat Informasi Solusi, menerima dua pucuk surat pada Senin dua pekan lalu. Pengirimnya atas nama penyidik Direktorat Tindak Pidana Siber Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI dan Pengelola Nama Domain Internet Indonesia (Pandi). Bunyi suratnya sama, yakni meminta perusahaan yang berkantor di Jalan M.H. Thamrin, Jakarta, itu membuka identitas pemilik akun Indonesialeaks.id. Polisi menyatakan permintaan itu bertujuan untuk kepentingan penyidikan pembocoran dokumen.
Chief Marketing Officer PT Jagat Informasi Solusi Frieska Oktaviani awalnya mengaku tak memahami alasan yang melatari permintaan polisi. Belakangan, ia tahu permintaan itu dilatarbelakangi gonjang-ganjing pemberitaan kolaborasi lima media anggota platform IndonesiaLeaks yang mengungkap dugaan perusakan barang bukti di Komisi Pemberantasan Korupsi. ”Kami menolak permintaan polisi,” ujarnya.
Menurut Frieska, perusahaannya tak bisa memenuhi permintaan polisi karena terikat aturan main di Eropa. Ketentuan itu ia patuhi lantaran pemilik akun Indonesialeaks.id membeli nama domain dan menyewa server tak secara langsung, tapi lewat mitra dagang mereka di Belanda, Green-host. PT Jagat ataupun Greenhost, karena itu, tak bisa sewenang-wenang membuka identitas pemilik akun. Aturan General Data Protection di Eropa mengatur sanksi denda miliaran rupiah atas pelanggaran tersebut.
Frieska mengaku telah menyampaikan surat permohonan polisi kepada Green-host. Tapi respons Greenhost atas surat tersebut tak mengubah sikap sebelumnya. Frieska menyarankan polisi menjalin permohonan kerja sama penyidikan melalui jalur Interpol dengan kepolisian Belanda. ”Itu pun harus disertai alat bukti dan alasan yang bisa diterima kepolisian di sana,” ucapnya.
Chief Technical Officer Pandi, Salahudin Manggalany, punya pandangan serupa. Menurut dia, PT Jagat punya kewajiban merespons permintaan polisi tanpa mengabaikan kepatuhan terhadap regulasi General Data Protection. Sebab, kata dia, regulasi General Data Protection tak hanya berpengaruh terhadap entitas hukum di Eropa. Aturan ini juga berdampak di level global. ”Aturan itu semestinya memang tak boleh menghambat kesepakatan antara penyedia dan pengelola nama domain dalam proses penegakan hukum,” ujarnya.
Pasal 19 General Data Protection Regulation menyebutkan identitas pemilik nama domain hanya bisa dibuka atas permintaan pemilik atau kepentingan penyidikan. Meski begitu, kata Salahudin, regulasi ini tak secara spesifik memuat data apa saja yang bisa dikecualikan atau dibuka. Karena itu, dukungan penyidikan dari negara lain akan dipengaruhi oleh politik, hukum, dan protokol kerja sama yang sudah disepa-kati kedua negara. ”Kepolisian Indonesia memiliki batasan yurisdiksi untuk berhubungan langsung dengan Greenhost,” ujarnya.
Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Polri Inspektur Jenderal Setyo Wasisto mengaku belum menerima laporan dari tim penyidik. ”Saya belum dapat laporan,” katanya. Adapun Direktur Tindak Pidana Siber Brigadir Jenderal Rachmad Wibowo dan wakilnya, Komisaris Besar Asep Safrudin, sampai pekan lalu belum bisa ditemui di kantornya. Upaya Tempo menghubungi mereka melalui sambungan telepon dan pesan pendek tak pernah mendapat respons.
Kabar penyelidikan ini belakangan diketahui Free Press Unlimited (FPU) berdasarkan laporan Greenhost. Organisasi yang berbasis di Belanda ini merupakan mitra IndonesiaLeaks di awal masa pembentukan. ”Greenhost mengakui adanya surat permintaan dari kepolisian. Tapi mereka berkomitmen tak akan membuka identitas pemilik domain dan informasi apa pun untuk keperluan penyidikan kasus seperti ini,” ujar Koordinator Free Press Unlimited untuk Kawasan Asia Tenggara, Dessi Damianova.
FPU, kata Dessi, bukanlah pemilik ataupun anggota konsorsium IndonesiaLeaks. Anggota Global Investigative Journalism Network ini hanya berperan membantu teknis penyiapan infrastruktur platform. Dukungan serupa mereka berikan saat menginisiasi platform Publeaks.nl di Belanda pada 2013, Mexicoleaks.mx di Meksiko (2015), dan Leaks.ng di Nigeria (2017). Platform tersebut dibuat untuk memfasilitasi informan publik yang ingin mengungkap skandal yang sengaja ditutupi pejabat publik atau pelaku kejahatan.
Platform IndonesiaLeaks, yang berdiri pada 14 Desember 2017, menurunkan artikel dugaan perusakan barang bukti yang dilakukan dua mantan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi. Keduanya diduga merobek beberapa halaman dan memberikan Tipp-Ex pada buku catatan keuangan PT Impexindo Pratama, perusahaan milik Basuki Hariman, terpidana kasus suap uji materi Undang-Undang Kesehatan dan Peternakan Hewan. Beberapa catatan yang dihilangkan memuat informasi aliran dana kepada sejumlah petinggi kepolisian.
Sebelum buku itu dirusak, penyidik KPK yang lain pernah meminta keterangan seorang anggota staf keuangan perusahaan Basuki. Dari pengakuannya terungkap sedikitnya ada 68 transaksi keuangan yang diduga mengalir untuk sejumlah pejabat. Sebanyak 19 di antaranya diserahkan kepada individu yang berdinas di institusi kepolisian. Sembilan transaksi ditulis mengalir untuk seseorang bernama Tito atau Kapolda. Kepala Polri Jenderal Tito Karnavian enggan memberikan tanggapan ketika dimintai konfirmasi. Ia mendelegasikan jawaban kepada pimpinan Divisi Hubungan Masyarakat Polri.
Berkas pemeriksaan itu diketahui lenyap tak lama setelah perusakan barang bukti. Tapi salinannya masih tersimpan di Direktorat Pengelolaan Barang Bukti dan Eksekusi KPK. Semua media yang tergabung dalam konsorsium IndonesiaLeaks ikut menerima salinan berkas pemeriksaan berkat peran informan publik, termasuk salinan catatan keuangan dalam buku sebelum dirusak. Publikasi atas dokumen itu tayang pada 8 Oktober lalu setelah mendapatkan verifikasi dari keterangan empat pegawai KPK. Delik inilah yang dipakai menelusuri IndonesiaLeaks.
Respons atas pemberitaan itu diberikan polisi setelah sejumlah jenderal meminta forum audiensi dengan Ketua Dewan Pers Yoseph Adi Prasetyo, Kamis dua pekan lalu. Dua di antara mereka adalah Kepala Biro Penerangan Masyarakat Brigadir Jenderal Dedi Prasetyo dan Wakil Kepala Kepolisian Daerah Jawa Timur Muhammad Iqbal. Menurut Stanley—panggilan akrab Yoseph—kehadiran mereka bertujuan untuk mendapatkan penjelasan dan penilaian Dewan Pers tentang berita yang lahir berkat platform IndonesiaLeaks.
Stanley menilai platform Indonesia-Leaks dan berita tentang dugaan perusakan barang bukti merupakan dua hal berbeda. Sebagai produk berita, kata dia, keberatan atas isi produk jurnalistik hendaknya diselesaikan lewat mekanisme hak jawab yang diatur dalam Undang-Undang Pers. Meski begitu, Dewan Pers tidak memiliki kewenangan untuk melakukan mediasi pihak yang merasa berkeberatan terhadap platform IndonesiaLeaks yang diinisiasi sejumlah organisasi kemasyarakatan sipil. ”Tanggung jawab kami hanya terbatas pada berita,” ucapnya.
Seusai penayangan berita dugaan skandal perusakan barang bukti, sejumlah inisiator dan organisasi pendukung IndonesiaLeaks mendapat teror. Pekan lalu, sedikitnya terjadi 296 serangan dalam sistem admin situs Tempo-institute.org—salah satu inisiator IndonesiaLeaks. Penetrasi itu berlangsung dalam waktu empat jam. ”Tapi bisa kami block. Setelah kami lacak, serangan itu rupanya berasal dari IP address yang tidak bisa diidentifikasi karena dioperasikan mesin,” ujar Direktur Eksekutif Tempo Institute Mardiyah Chamim.
Mardiyah juga sempat waswas terhadap laporan petugas satuan pengamanan apartemennya. Seorang anggota satpam melapor kepadanya tentang kedatangan empat orang yang menanyakan unit huniannya. Tak jelas siapa mereka. Salah seorang di antara mereka bahkan berusaha mengorek-ngorek informasi tentang pelat mobil yang biasa digunakan Mardiyah. Untunglah tak ada jawaban yang keluar dari anggota satpam tersebut kala itu. ”Kalau mereka mengenal saya, semestinya tinggal ngasih kabar lewat telepon. Agak aneh memang,” kata Mardiyah.
Musibah dialami organisasi pemerhati lingkungan dan sumber daya alam yang juga pendukung IndonesiaLeaks, Auriga. Kantor mereka di kawasan Kalibata, Jakarta Selatan, disambangi dua maling, Sabtu dua pekan lalu. Tiga komputer jinjing yang berada di ruang rapat digasak. Anehnya, pelaku tidak mengambil dompet yang letaknya bersisian dengan laptop tersebut. ”Ulah mereka terpantau kamera pengawas (CCTV),” ujar Direktur Eksekutif Auriga Timer Manurung.
ANDITA RAHMA, RIKY FERDIANTO
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo