Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Serasa di Kebayoran Baru

Pada awal abad ke-20, sejumlah arsitek dari Hindia Belanda mengunjungi Curacao dan meninggalkan warisan yang bagai pinang dibelah dua.

26 Oktober 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GEDUNG-gedung di tepi pelabuhan Willemstad, Curacao, yang serupa dengan arsitektur bangunan di kota-kota di Belanda itu tampil dengan warna mencolok: kuning terang, merah jambu, biru langit. Konon, dulu hampir semua bangunan di Willemstad bercat putih. Pada awal abad ke-19, Gubernur Jenderal Curacao mengeluh tentang matanya dan dokternya memberi diagnosis bahwa itu disebabkan oleh refleksi matahari yang terlampau silau dari gedung-gedung tersebut. Sang Gubernur Jenderal pun kemudian mengeluarkan peraturan: semua gedung harus diberi warna. Peraturan itu berlaku sekitar seabad dan menghasilkan pemandangan waterfront kota yang menakjubkan.

Begitulah kesan pertama saya ketika bertandang ke Willemstad pada pertengahan September lalu. Saat itu saya belum menemukan bangunan-bangunan di sana yang mirip dengan yang ada di Indonesia, seperti yang disebutkan sejumlah literatur. Tapi, begitu menelusuri lebih jauh lagi, saya menjumpai berbagai bangunan di Willemstad yang sangat mirip dengan gedung-gedung di Jakarta, Bandung, atau Semarang. Ini boleh jadi karena Curacao dan Indonesia selama ratusan tahun berada di bawah jajahan Belanda, yang juga membangun tata kota kedua negara tersebut hingga pertengahan abad ke-20. Fort Amsterdam, benteng pertahanan yang mulai dibangun pada 1634 ketika Belanda berkuasa di Curacao, punya banyak kemiripan dengan Museum Fatahillah di Jakarta, yang mulai dibangun Belanda pada 1626 sebagai balai kota.

Di sejumlah tempat lain di Curacao juga terlihat gedung dalam gaya Art Deco, seperti bangunan bioskop Cinelandia--mirip dengan bioskop Metropole di Jalan Diponegoro, Jakarta--yang sayangnya dalam keadaan rusak cukup berat. ”Jejak arsitektur Hindia Belanda yang pasti meninggalkan warisan penting di sini,” kata arsitek Dennis Klaus, yang menemani Tempo menyusuri jalanan lebar di sekitar kawasan perumahan Emmastad.

Klinik Dr Capriles dengan desain atap khas yang diterapkan arsitek Henri Maclain Pont, di Curacao. -Linawati Sidarto

Emmastad dan Julianadorp, beberapa kilometer sebelah utara Willemstad, dibangun untuk mengakomodasi pegawai industri kilang minyak, yang pada awal abad ke-20 mendongkrak ekonomi Curacao dan menciptakan lowongan kerja dari tingkat buruh sampai direksi. Tata ruang dan bangunan kawasan ini adalah hasil rancangan Richard Schoemaker. Arsitek Indo kelahiran Jawa ini bersama kakaknya, Wolff Schoemaker, pernah menjadi guru besar arsitektur di Technische Hogeschool Bandung, yang kemudian dikenal sebagai Institut Teknologi Bandung. Kakak-adik Schoemaker juga mendirikan rumah hunian dan bangunan ikonis di Bandung, seperti Vila Isola dan Hotel Preanger.

Richard Schoemaker mengunjungi Curacao pada 1935 atas undangan perusahaan kilang minyak Curacaosche Petroleum Insdustrie Maatschappij. ”Dia diundang untuk memberi saran dalam perencanaan pembangunan gedung dan tata ruang kota buat perumahan para pegawai,” ujar Ronald Gill dalam bukunya, Een Eeuw Architectuur op Curacao (Seabad Arsitektur di Curacao).

Hasilnya adalah daerah perumahan yang membuat kita serasa dibawa oleh mesin waktu ke kawasan seperti Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Jalanan yang lebar dan lengang dengan pohon-pohon rindang yang meneduhinya. Rumah-rumah di sana pun serupa dengan banyak tempat tinggal di berbagai kawasan hunian kota-kota Indonesia. Atap lancip bergenting merah, pelataran depan yang lebar dan terbuka, lengkap dengan dekorasi ala Art Deco di dinding pelataran dan jeruji pagar. ”Emmastad bagian barat mirip dengan kawasan Kota Baru, yang dibangun pada 1920-an di Yogyakarta,” kata Gill.

Lalu, menurut Gill, tata ruang dan pengelompokan bangunan kompleks rumah sakit jiwa Rustoord Groot Kwartier, yang dibangun pada 1936, juga serupa dengan kompleks besar, seperti rumah sakit, di Hindia Belanda. Gill mengambil contoh Rumah Sakit Jiwa Sumber Porong di Lawang, Jawa Timur, serta kompleks rumah sakit dan Institut Pasteur di Bandung.

Satu detail menarik yang juga diambil dari Hindia Belanda adalah desain atap khas yang diterapkan arsitek Henri Maclain Pont dalam membangun kampus Technische Hogeschool Bandung pada 1916. Atap mencuat bangunan kembar aula barat dan aula timur Institut Teknologi Bandung itu merupakan gabungan dari unsur tradisional Indonesia dengan gaya Eropa. Desain serupa bisa ditemui di berbagai rumah di Emmastad, Curacao, dan di satu gedung Rustoord Groot Kwartier, yang sekarang bernama klinik Dr Capriles.

Beberapa tokoh lain dari Hindia Belanda juga memegang peran besar dalam sejarah perkembangan tata ruang Curacao. Sebut saja J.V.D. Werbata, yang dikirim ke Curacao oleh Dinas Topografi Hindia Belanda dari Batavia pada 1906 untuk menggarap peta Curacao. Pembuatan Topographische Kaart van Curacao (Peta Topografis Curacao) tersebut memakan waktu tiga tahun. Sampai sekarang, peta yang lebih dikenal sebagai Werbata Kaarten (Peta Werbata) itu masih dipakai. Peraturan bangunan Kota Semarang, yang disusun arsitek dan urban planner Thomas Karsten, dijadikan dasar peraturan hunian dan bangunan Curacao pada 1935.

Desain atap khas yang diterapkan arsitek Henri Maclain Pont. -Linawati Sidarto

Hingga kini, arsitek berdarah Indo, seperti Dennis Klaus, masih tetap bergulat dengan warisan bangunan ”Hindia Belanda” itu. Klaus adalah salah seorang pendiri Fundashon Pro Monumento, yayasan yang berupaya menjaga kelestarian bangunan bersejarah di Curacao. ”Walau banyak bangunan dan rumah sebetulnya berada di daftar bangunan terlindung, sebagian akhirnya toh dirombak oleh pemilik yang lihai menghindari peraturan tersebut dengan uang dan gugatan hukum,” ucap Klaus. Salah satu contoh yang berlarut-larut sampai sekarang, tutur dia, adalah bioskop Cinelandia. Bioskop itu sudah bertahun-tahun terbengkalai karena benturan antara pemiliknya dan instansi pelestarian gedung terlindung.

Ronald Gill sendiri turut memberi sumbangan yang tidak kecil kepada Curacao: dia adalah penyusun proposal akhir untuk menjadikan kota tua Willemstad sebagai situs warisan dunia UNESCO, badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk urusan pendidikan dan kebudayaan. Gelar terhormat itu akhirnya dianugerahkan ke Willemstad pada 1997. ”Kami sungguh bangga Willemstad masuk daftar ini,” kata Gill.

Gill mengingatkan bahwa Jakarta adalah salah satu sister city Willemstad, karena termasuk dalam gabungan kota yang dibangun Belanda, seperti Cape Town di Afrika, Paramaribo di Suriname, dan Galle di Sri Lanka. ”Galle dan Paramaribo juga sudah masuk daftar situs warisan dunia UNESCO. Kapan giliran Jakarta?” ujar Gill.

LINAWATI SIDARTO, KONTRIBUTOR TEMPO (CURACAO)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus