Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
AROMA masakan Indonesia terasa menyengat saat memasuki restoran Sambal di Zuikertuintje, sebuah pusat belanja di Willemstad, ibu kota negara pulau Curacao di Laut Karibia, pertengahan September lalu. Restoran yang dindingnya berhiaskan beberapa lukisan Bali dan poster era Hindia Belanda itu menyajikan aneka hidangan khas Nusantara: soto ayam, nasi goreng, gado-gado, rendang, dan sate ayam. Juga ada aneka penganan kecil, seperti kue lapis, lemper, dan risoles. ”Semua sajian kami berasal dari resep ibu saya,” kata Gert-Jan Hendrikx, 59 tahun, pemilik merangkap koki rumah makan Sambal.
Hendrikx menuturkan, ibunya, Sten Komdeur-Barre, lahir di Palembang pada 1927 dari orang tua berdarah Indo--campuran Belanda, Prancis, dan Indonesia. Sten mengalami masa pendudukan Jepang, perang kemerdekaan, dan tahun-tahun pertama Republik, masa ketika banyak orang Belanda dan Indo tidak lagi merasa aman tinggal di Indonesia.
Sten dan suaminya akhirnya pindah ke Belanda pada 1958, saat babak akhir proses nasionalisasi perusahaan Belanda di Indonesia. ”Ibu sudah hamil saya ketika dia berangkat ke Belanda. Jadi bisa dibilang saya sudah hadir di dunia saat masih di Indonesia,” ujar Hendrikx, lalu tertawa. Hanya setahun setelah tiba di Belanda, tutur Hendrikx, mereka pindah untuk mengadu nasib di Curacao.
Peringatan 50 tahun berdirinya Indische Vereniging Curacao dihadiri warga Indo yang tinggal di Curacao, 2011. -Dok IVC
Selain Sambal milik Hendrikx, ada tiga restoran Indonesia (biasa disebut Indisch atau Hindia Belanda) lagi di Curacao. Boleh dibilang restoran-restoran itu menjadi jejak keberadaan ratusan orang dari Indonesia--kebanyakan warga Indo--yang bermigrasi ke negara pulau di Amerika Latin tersebut. Seperti halnya orang tua Hendrikx, mereka menempuh jalur migrasi itu karena merasa tak betah tinggal di Belanda.
Sebagai orang yang berdarah campuran, orang-orang Indo merasa hidup di antara dua dunia. ”Di Indonesia, kami tidak diterima seratus persen. Lalu, di Belanda, kami juga dilihat sebagai orang Hindia Belanda,” kata Ronald Claes, yang lahir di Indonesia pada 1937 dan pindah ke Curacao setelah menetap 12 tahun di Belanda. ”Hidup di Curacao lebih sederhana, lebih mudah. Saya lebih bisa merasa Indo di sini,” ucap Claes, yang awalnya bekerja sebagai teknisi dan kemudian menjadi guru matematika.
Dalam buku Indisch in Curacao karya Ronald Gill disebutkan, banyak dari mereka, seperti halnya Claes, yang akhirnya memilih untuk mencari tempat baru, di antaranya Australia, Amerika Serikat, dan kawasan koloni Belanda di Karibia, seperti Curacao. Antara 1950 dan 1970, lebih dari 600 orang dari Indonesia--sebagian besar Indo--pindah ke Curacao. Umumnya mereka lebih dulu tinggal di Belanda, untuk kemudian pindah ke pulau tropis di utara Venezuela itu.
Berbeda dengan migrasi orang Jawa ke Suriname--juga wilayah jajahan Belanda lain di Amerika Latin--yang diorganisasi pemerintah kolonial pada abad ke-19, kedatangan warga Indo ke Curacao seabad kemudian terjadi secara perseorangan lewat lowongan kerja. Sementara migran Jawa di Suriname banyak yang bekerja di perkebunan, para pendatang Indonesia di Curacao mengisi beragam lowongan pekerjaan dan profesi: dari pegawai negeri, teknisi, pengacara, insinyur, dokter, hingga arsitek.
Dennis Klaus, misalnya, arsitek yang lahir di Surabaya pada 1952 dan besar di Curacao. Kedua orang tua Dennis adalah bagian dari komunitas Indo yang sudah tinggal beberapa generasi di Hindia Belanda. Seperti nasib ribuan orang berdarah Eropa, Frans Klaus, ayah Dennis, ditangkap pada zaman pendudukan Jepang dan disuruh ikut kerja paksa. Pada 1955, seusai perang kemerdekaan, Frans dan keluarganya yang merasa keamanan mereka terancam kemudian pindah ke Belanda. Frans, yang sempat menjabat kepala dinas teknik di perusahaan dagang Borsumij di Surabaya, mulai bekerja sebagai montir dan mendatangi pelanggannya dengan sepeda.
Pada 1960, Frans sebetulnya sudah berkemas untuk berangkat ke Amerika Serikat guna mengadu nasib, tapi seorang rekan kerja asal Curacao menunjukkan iklan lowongan kerja di perusahaan teknik Elga di sana. Akhirnya keluarga Frans Klaus berganti arah dan pindah ke Curacao. Menurut Dennis, keluarganya banyak bergaul dengan keluarga Indo lain di sana. Di rumah, mereka juga selalu makan masakan Indonesia. ”Hanya, saya bukan penggemar berat masakan Indonesia,” ujar Dennis.
Dennis Klaus kecil bersama keluarganya di Curacao, 1960-an. -Dokumentasi Dennis Klaus
Meski keluarganya sehari-hari selalu berbicara dalam bahasa Belanda, tutur Dennis, banyak kata dari bahasa Indonesia atau Jawa yang kerap mereka pakai. Campur-campur. Misalnya telur asin, bobok (tidur), kates (pepaya), dan alang-alang. ”Orang tua saya hanya berbicara dalam bahasa Melayu kalau mereka tidak mau anak-anak menguping pembicaraan mereka,” ucap Dennis.
Setelah lulus sekolah menengah di Willemstad, Dennis pergi ke Belanda dan kuliah arsitektur di University of Delft. Orang tuanya ikut pindah ke Belanda, dan akhirnya menetap di sana ketika Dennis kembali ke Curacao seusai kuliahnya. Di samping bekerja sebagai arsitek, Dennis aktif dalam perhimpunan yang mengupayakan pelestarian bangunan bersejarah di Curacao. ”Saya juga sudah merasa sebagai orang Curacao. Rumah saya di sini,” katanya. ”Bila ada kesempatan, saya berharap suatu hari bisa berkunjung ke Indonesia.”
RONALD Gill, dosen dan penulis kelahiran Surabaya pada 1941, memiliki cerita yang berbeda. Pada 1957, ia dan ibunya berangkat ke Belanda, meninggalkan sang ayah yang berkeras menetap dan memilih kewarganegaraan Indonesia. Antara 1980 dan 1984, Gill bekerja dan tinggal di Curacao. Ia kemudian meninggalkan negeri pulau itu dan kembali ke sana pada 1995-2013.
”Banyak dari mereka yang pindah ke sana menyukai Curacao yang lebih informal dibandingkan dengan suasana di Belanda yang agak kaku dan penuh peraturan,” ucap Gill, yang sekarang menetap di Belanda tapi kerap berkunjung ke Curacao. ”Dan tentu kehangatan iklim tropis amat memikat. Di Curacao, mereka kembali bebas untuk berkegiatan di luar rumah sepanjang tahun.”
Menurut Gill, kebersamaan orang-orang Indo di Curacao juga membantu mereka yang baru datang untuk cepat merasa betah. ”Ikatan komunitas Indo di sana amat kuat. Mereka sering berkumpul dan berpesta bersama,” ujarnya. Selama lebih dari setengah abad, tutur Gill, kegiatan sosial warga Indo di sana bernaung dalam Perhimpunan Indo Curacao atau Indische Vereniging Curacao (IVC). Saat berdiri pada 1961, lebih dari 500 orang hadir dalam pesta peresmian IVC. ”Dan 300 orang langsung mendaftarkan diri sebagai anggota,” kata Gill.
Sejak berdiri, hampir tiap bulan IVC mengadakan acara kumpul-kumpul. Para anggotanya berbincang bertukar pengalaman dan--ini yang amat penting bagi mereka--menyantap makanan Indonesia yang dimasak bersama. Musik rock dan pop menjadi hiburan tetap dalam acara pesta IVC, dengan nama band yang khas, seperti Melati Minstrels (Pendendang Melati) dan Indo Kesasar.
Selain itu, IVC kerap menyelenggarakan pertandingan olahraga dan malam seni, yang antara lain diisi dengan tari dan musik tradisional Indonesia. IVC juga beberapa kali menggelar pasar malam, yang ramai didatangi publik Curacao, dengan bintang tamu dari Belanda, seperti pemusik Indo legendaris Blue Diamonds dan Anneke Grönloh. Kegiatan lain IVC adalah menggalang dana sosial, antara lain untuk panti asuhan dan yayasan parkinson serta untuk orang-orang Indo yang butuh bantuan pindah dari Indonesia ke Belanda atau Curacao.
Ronald Gill, yang aktif dalam IVC ketika dia tinggal di Curacao, sempat mencoba menyelenggarakan acara ceramah tentang politik atau sastra, yang rutin diselenggarakan kelompok-kelompok Indo di Belanda. ”Tapi IVC tidak begitu tertarik. Tujuan mereka jelas: perhimpunan ada untuk gezelligheid (kebersamaan) anggota, dan itu juga amat positif,” ujarnya.
MESKI mayoritas warga Curacao asal Indonesia terdiri atas orang Indo, ada beberapa pendatang dengan latar belakang yang agak berbeda. Contohnya keluarga May Ling, yang berasal dari keluarga peranakan Tionghoa. Ayah May Ling, apoteker Thio Djie Hing, sempat ditahan polisi pada 1966 karena mengajar di sekolah temannya, yang dituduh bersimpati terhadap gerakan politik kiri. Istri Thio, Njo Bien Nio, segera menelepon teman main tenis mereka, seorang jenderal Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat.
Thio pun kemudian dibebaskan setelah ditahan selama 24 jam. Tapi temannya mendekam di penjara selama beberapa tahun. Peristiwa itu makin mengukuhkan niat keluarga Thio untuk pergi dari Indonesia secepat mungkin. Pada 1968, Thio sekeluarga pindah ke Curacao, memenuhi ajakan kerja teman kuliahnya yang pindah lebih dulu ke sana.
Lain lagi dengan Cindy Walintoekan, yang lahir di Tanjung Pandan pada 1951 dari ayah berdarah Manado dan ibu campuran Manado-Portugis. Dia pindah ke Belanda ketika berumur 17 tahun dan ke Curacao enam tahun kemudian. Cindy sempat mengenyam pendidikan di Indonesia sampai sekolah menengah. ”Saya selalu merasa sebagai orang Indonesia,” kata Cindy dalam bahasa Indonesia yang sangat fasih.
May Ling bersama dengan Thio Djie Hing di Curacao, 1970-an. -Dokumentasi May Ling
Cindy juga masih kerap berkunjung ke Indonesia. Ini berbeda dengan kebanyakan warga Indo di Curacao, yang karena persoalan jarak dan biaya enggan berkunjung ke Indonesia. ”Kami punya properti time share di Bali, jadi kami pergi ke sana sekitar sekali dalam dua tahun,” ujar Cindy, yang juga aktif berpartisipasi dalam IVC.
Lantas, sampai kapan budaya Indo akan bertahan di Curacao, yang berjarak sekitar 19 ribu kilometer dari Indonesia? Yang pasti, tutur Cindy, mayoritas warga Indo yang sering kumpul-kumpul di Curacao kini rata-rata berusia antara 70 dan 90 tahun. Boleh jadi inilah penyebab IVC dalam beberapa tahun terakhir jarang beraktivitas. ”Selain mobilitas warga Indo yang berusia lanjut sudah makin terbatas, IVC tersendat karena anak-cucu mereka sudah melebur dalam budaya Curacao, menikah dengan orang lokal, dan tidak lagi beridentitas sebagai orang Indo,” katanya.
Jaap Dicke, yang lahir di Bandung pada 1940 dan tinggal di Curacao sejak 1969, menyayangkan anak-anaknya tidak pernah menjejakkan kaki mereka di Indonesia. ”Sayang sekali. Hindia Belanda di sini akan berhenti setelah saya tiada,” ucap Dicke seperti dikutip dalam buku Indisch in Curacao.
Begitulah. Satu warisan dari Indonesia yang diharapkan tidak akan lekang, menurut Dennis Klaus, adalah perumahan dan bangunan yang dirancang arsitek-arsitek asal Hindia Belanda. ”Bangunan-bangunan itu sampai sekarang masih berdiri di Curacao,” ujarnya.
LINAWATI SIDARTO, KONTRIBUTOR TEMPO (CURACAO)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo