Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

hukum

Siapa Menjegal RUU Perampasan Aset di DPR

Rencana pembahasan RUU Perampasan Aset di DPR kembali kandas. Ada kekhawatiran penyalahgunaan kewenangan.

11 Februari 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUDUK berhadapan dengan Presiden Joko Widodo, Yunus Husein mengeluhkan lambatnya pembahasan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset di Istana Bogor, Jawa Barat, pada 14 September 2023. Jokowi membalas dengan mengatakan sudah menghubungi semua ketua umum partai politik agar rancangan undang-undang ini segera dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). “Semua bilang akan ditindaklanjuti,” Yunus menceritakan ulang jawaban Jokowi kepada Tempo pada Jumat, 9 Februari 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Yunus menagih pembahasan RUU Perampasan Aset lantaran Jokowi sudah mengirim surat presiden tentang RUU Perampasan Aset Terkait dengan Tindak Pidana pada 4 Mei 2023 kepada Ketua DPR Puan Maharani. Tapi tak ada respons dari Senayan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Saat bertemu dengan Jokowi saat itu, Yunus hadir sebagai Ketua Kelompok Kerja Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi yang menjadi bagian Tim Reformasi Hukum bentukan mantan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Mohammad Mahfud Md. Selain ditemani Mahfud, mantan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) itu didampingi Menteri Sekretaris Negara Pratikno.

Dalam pertemuan itu, Jokowi meminta tim ikut mendorong pembahasan rancangan undang-undang tersebut di DPR. Tapi keputusan pembahasan ada di tangan DPR. “Presiden meminta tim mendorong percepatan pembahasan RUU Perampasan Aset,” ujar Mahfud kepada wartawan sehari setelah pertemuan di Istana itu.

Upaya itu pun akhirnya gagal. DPR tak kunjung membahas RUU Perampasan Aset. Kepastian ini terlihat saat sidang paripurna DPR terakhir pada 6 Februari 2024. Dalam pidatonya, Puan tak menyinggung soal RUU Perampasan Aset. Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu malah membahas surat presiden dari Jokowi soal Rancangan Undang-Undang Desa yang baru diterima pada 5 Desember 2023.

Puan beralasan tata tertib DPR mengatur setiap komisi akan membahas dua undang-undang lebih dulu. Setelah keduanya selesai, barulah kemudian komisi mengusulkan pembahasan undang-undang lain. “Jadi kami menunggu dulu bagaimana posisi pembahasan undang-undang di komisi,” katanya tanpa menyebutkan perihal RUU Perampasan Aset.

Saat menjadi Kepala PPATK, Yunus mengusulkan pemerintah menyusun RUU Perampasan Aset pada 2008. Draf rancangan undang-undang pertama baru muncul empat tahun kemudian. Pada 2019, draf kedua muncul. Nasib kedua draf ini sama: mandek.

Pada 2022, Jokowi memerintahkan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia menyusun draf ketiga. Tugas ini diserahkan kepada Wakil Menteri Hukum dan HAM kala itu, Eddy Omar Sharif Hiariej. “Saya dipanggil Profesor Mahfud untuk mempercepat pembahasan di tingkat pemerintahan,” ujar pria yang biasa disapa Eddy Hiariej itu kepada Tempo.

Pembahasan draf RUU mulai dikebut pada Januari 2023. Eddy beralasan saat itu pemerintah mendahulukan pembahasan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Pemicunya adalah anjloknya skor indeks persepsi korupsi Indonesia versi Transparency International tahun 2022 menjadi 34 poin dari 38 poin pada tahun sebelumnya.

Ketua DPR Puan Maharani menyampaikan pidato dalam rapat paripurna ke-12 masa persidangan III 2023-2024 di Gedung Nusantara Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 6 Februari 2024./Tempo/M Taufan Rengganis

Surat presiden yang dikirim ke meja Puan turut menyertakan draf versi ketiga RUU Perampasan Aset. Pelaksana tugas Deputi V Kantor Staf Presiden, Rumadi, mengatakan, karena surat presiden sudah dikirim, pemerintah hanya bisa menunggu proses politik di parlemen. “Sekarang bolanya di DPR,” tuturnya.

Dua bulan setelah surat presiden tentang RUU Perampasan Aset dikirim, DPR masih diam. Eddy Hiariej mengklaim pemerintah sudah berupaya melobi DPR. “Saya secara informal sempat membahas dengan beberapa teman lintas fraksi di Komisi Hukum,” kata Eddy.

Lobi ini juga tak mempan. Eddy mengatakan DPR lebih memprioritaskan rancangan undang-undang lain yang kadung masuk daftar program legislasi nasional (prolegnas) yang belum dibahas. RUU Perampasan Aset sebenarnya sempat masuk daftar Prolegnas Prioritas 2023, tapi terlempar pada 2024.

Anggota Komisi Hukum dari Fraksi NasDem, Taufik Basari, membenarkan adanya prioritas pembahasan regulasi di DPR. Ia menyebutkan Komisi Hukum masih punya antrean rancangan undang-undang lain, yakni RUU Mahkamah Konstitusi, RUU Narkotika, dan RUU Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. “Rencana membahas RUU Perampasan Aset terlambat karena pemerintah baru belakangan menyerahkan naskah,” tuturnya.

Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, Muhammad Nur Ramadhan, menganggap janggal alasan DPR yang tak membahas RUU Perampasan Aset karena adanya antrean rancangan undang-undang lain. DPR biasanya langsung membacakan surat presiden dalam rapat paripurna setelah menerimanya dari presiden. “Ini jarang-jarang, sudah ada surat presiden prosesnya enggak jalan,” ucapnya.

Seseorang yang ikut dalam pembahasan rancangan undang-undang ini mengatakan pemerintah sebetulnya sempat mendekati anggota Komisi Hukum DPR agar turun ke sejumlah kota, seperti Semarang, Surabaya, dan Jakarta. Upaya lain berlanjut di tengah kunjungan kerja Komisi Hukum ke Washington, DC, Amerika Serikat, pada awal Oktober 2023.

Sebanyak 13 anggota Komisi Hukum bertandang ke Stolen Asset Recovery atau StAR Initiative. Ini adalah unit kerja sama antara Bank Dunia dan Kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa Urusan Obat-obatan dan Kejahatan (UNODC) yang ikut mendorong upaya negara-negara untuk menjalankan regulasi perampasan dan pemulihan aset.

Kepada Tempo, anggota Komisi Hukum dari Fraksi PDI Perjuangan, I Wayan Sudirta, dan anggota dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Achmad Baidowi, yang ikut dalam lawatan enggan menjelaskan isi pertemuan tersebut. Mereka menyerahkan penjelasan mengenai acara itu kepada pimpinan komisi.

Saat dimintai konfirmasi, Wakil Ketua Komisi Hukum dari Fraksi Partai NasDem, Ahmad Sahroni, membenarkan adanya kegiatan tersebut meski tak ikut berangkat. “Itu terjadi pas mau pendaftaran capres-cawapres,” ujarnya.

Semua upaya ini pada akhirnya tak kunjung membuat DPR segera memulai pembahasan RUU Perampasan Aset. Macetnya pembahasan di Dewan kemudian membuat sejumlah kelompok masyarakat sipil bersurat kepada DPR pada awal Januari 2024. Mereka menemui dua anggota Komisi Hukum, yaitu Muhammad Nasir Djamil dari Partai Keadilan Sejahtera dan Johan Budi Sapto Pribowo dari PDI Perjuangan.

Koalisi mendapatkan jawaban tak memuaskan. “Keduanya mengaku belum ada penugasan dari pimpinan soal surat presiden ini,” kata Nur Ramadhan, yang tergabung dalam kelompok masyarakat sipil. Dihubungi terpisah, Nasir tak merespons permintaan konfirmasi Tempo. Sementara itu, Johan mengaku sedang sibuk di daerah pemilihan.

Seseorang di lingkaran Istana yang mengetahui proses RUU Perampasan Aset mengatakan hampir semua fraksi sudah menyerahkan nasib rancangan undang-undang ini kepada keputusan ketua umum partai. Tapi para pemimpin partai khawatir bila rancangan undang-undang ini segera diterapkan. Salah seorang perwakilan fraksi bahkan meminta rancangan undang-undang ini diterapkan 10 tahun lagi.

Kekhawatiran lain ihwal RUU Perampasan Aset ini adalah potensi penyalahgunaan wewenang aparat penegak hukum. Mereka dituding bisa serampangan merampas aset. Sebab, pasal 2 pada draf terbaru mengatur norma non-conviction based asset forfeiture (NCB) atau perampasan aset bila dilakukan tanpa harus melalui proses pemidanaan terhadap pelaku.

Salah seorang anggota Komisi Hukum yang dikabarkan menyoroti masalah ini adalah Arteria Dahlan. Saat dimintai konfirmasi mengenai kabar ini, politikus PDI Perjuangan itu enggan memberi penjelasan. Ia hanya membenarkan adanya pertemuan antara Komisi Hukum dan StAR Initiative di Washington, DC. “Betul, saya hadir langsung,” ujarnya.

Taufik Basari mengakui soal NCB ini menjadi isu krusial dalam RUU Perampasan Aset. Kewenangan perampasan aset pelaku meski tanpa ada pemidanaan masih terus didiskusikan. “Ini jadi perdebatan teoretik,” ucapnya.

Pada 2023, Ketua Komisi Hukum Bambang Wuryanto alias Bambang Pacul juga pernah mengatakan aturan perampasan aset ini harus dibahas secara teliti karena bisa menjerat semua pihak, bukan hanya penyelenggara negara. “Ini akan mengubah sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara,” katanya.

Direktur Penegakan Hukum Auriga Nusantara Roni Saputra menangkap ada kecemasan di DPR jika RUU Perampasan Aset diterapkan. Ia menduga pasal dalam rancangan undang-undang itu dikhawatirkan berpotensi menyerang balik partai dan DPR. “Kalau penyidik enggak suka si A dan B, bisa main sita saja,” ujarnya.

Roni menyebutkan masyarakat sipil tidak menafikan adanya potensi pelanggaran hak asasi dalam RUU Perampasan Aset. Untuk mencegah hal itu, penyidik harus mendapat izin dari pengadilan saat hendak menyita aset seseorang. Hal ini sebenarnya sudah tercantum di dalam draf. “Penyitaan melewati proses penetapan di sidang,” tuturnya.

Kekhawatiran lain juga muncul karena rancangan undang-undang ini menyasar aset berupa harta yang tidak seimbang dengan pendapatan atau tidak dapat dijelaskan sumbernya alias unexplained wealth yang diatur dalam pasal 5 ayat 2. Yunus Husein menyebutkan kekhawatiran-kekhawatiran yang muncul ini sangat tidak beralasan. Sebab, rancangan undang-undang sudah menyediakan mitigasinya. “Pihak yang dirugikan bisa mengajukan keberatan,” katanya.

Direktur Hukum dan Regulasi PPATK Fithriadi Muslim tak memungkiri masih banyak kekurangan dalam RUU Perampasan Aset. PPATK menilai aturan ini begitu penting karena Financial Action Task Force meminta negara-negara anggotanya mempunyai mekanisme perampasan aset seluas-luasnya. “Kalau ada yang kurang, diperbaiki atau ditambah. Tapi, kalau bisa, jangan digantung tidak jelas,” ujarnya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Lani Diana berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Lobi Macet RUU Perampasan Aset"

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus