Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Keberhasilan pendekatan soft approach dalam operasi pembebasan Pilot Susi Air, Philip Mark Mehrtens dinilai menjadi upaya jitu dalam menangani konflik kemanusiaan di tanah Papua.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Profesor riset pada Pusat Riset Kewilayahan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Cahyo Pamungkas mengatakan keberhasilan membebaskan Philip mesti menjadi preseden bagi pemerintah, khususnya TNI-Polri dalam penanganan konflik di Papua. "Dengan kata lain segera meninggalkan pendekatan keamanan," kata Cahyo saat dihubungi, Selasa, 24 September 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pendekatan keamanan yang dimaksud Cahyo ialah TNI-Polri tidak lagi mengirimkan pasukan tambahan ke Papua. Menurut dia, keberadaan pasukan organik di Papua yang dimiliki Komando Daerah Militer dan Kepolisian Daerah sudah lebih dari cukup untuk menjaga kondusifitas. "Penyematan label Kelompok Kriminal Bersenjata atau KKB juga perlu ditinjau ulang," ujar Cahyo.
Senada dengan Cahyo, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid mengatakan pendekatan soft approach atau dialogis cenderung lebih efektif ketimbang pemberlakuan pendekatan keamanan.
Ia mencontohkan, keberhasilan pendekatan soft approach dalam penanganan konflik bukan hanya terjadi di Papua kali ini saja. Jauh sebelum itu, konflik di Aceh juga mereda dengan pendekatan dialog. "Oleh karena itu pendekatan soft approach mesti jadi prioritas," ujar Usman.
Kepala Pusat Penerangan Markas Besar TNI, Mayor Jenderal Hariyanto belum menjawab pertanyaan Tempo ihwal rencana penarikan pasukan non-organik di Papua.
Adapun Philip Mark Merhtens dibebaskan milisi TPNPB pimpinan Egianus Kogoya pada 21 September lalu setelah disandera selama hampir 20 bulan lamanya di tanah Papua. Pilot berpaspor Selandia Baru itu disandera milisi Egianus setelah mendaratkan pesawat Susi Air dengan kode registrasi PK-BVY di lapangan terbang Paro, Kabupaten Nduga pada 7 Februari 2023.