Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Dua polisi penganiaya wartawan Tempo batal menjalani hukuman penjara.
Belum pernah ditahan sejak dijatuhkannya vonis pengadilan.
Ada hukuman ganti rugi kepada korban.
RENCANA eksekusi penjara untuk Brigadir Kepala Purwanto dan Brigadir Muhammad Firman Subkhi buyar pada Senin, 5 Juni lalu. Keduanya sudah berada di Rumah Tahanan Kelas I Medaeng, Surabaya, Jawa Timur, bersama personel Kejaksaan Negeri Tanjung Perak pada hari itu. Mereka akan dibui lantaran hukuman dalam kasus penganiayaan wartawan Tempo, Nur Hadi, sudah berkekuatan hukum tetap.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemberkasan baru berlangsung beberapa menit. Tiba-tiba sejumlah personel Kepolisian Daerah Jawa Timur datang. Mereka menyerahkan selembar surat bernomor B/5227/V/HUK.12.10/2023 yang ditandatangani Kepala Polda Jawa Timur Inspektur Jenderal Toni Harmanto. Surat itu berisi permohonan peminjaman kedua terpidana. “Keduanya di-bon polisi,” ujar Kepala Rumah Tahanan Medaeng, Wahyu Hendrajati, yang biasa disapa Hendra.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Eksekusi itu didasari putusan kasasi Mahkamah Agung yang menguatkan hukuman penjara selama delapan bulan terhadap Purwanto dan Firman. Keduanya terbukti menganiaya Nur Hadi dan seorang rekannya yang tengah menjalankan tugas jurnalistik. Sejak proses penyidikan hingga akhir persidangan, keduanya belum pernah ditahan dalam perkara ini.
Hendra mengaku belum mengetahui berapa lama Polda Jawa Timur meminjam keduanya. Informasi yang diperoleh, peminjaman tersebut dilakukan lantaran Polda Jawa Timur berencana melengkapi berkas pemeriksaan sidang Komisi Kode Etik Polri. “Biasanya, jika sudah selesai peminjaman, pihak kepolisian akan menginformasikan kami kembali untuk proses pemulangan,” ucapnya.
Baca: Siapa Polisi Penganiaya Nur Hadi
Salinan surat peminjaman Purwanto dan Firman yang diperoleh Tempo menuliskan peminjaman itu merujuk pada ketentuan Pasal 8 ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2003 tentang Pelaksanaan Teknis Institusional Peradilan Umum bagi Anggota Polri. Polisi mengajukan permohonan bon dan menahan keduanya di rumah tahanan Polda Jatim untuk mempermudah pemberkasan sidang disiplin etik.
Hendra mengklaim tak bisa menolak permintaan itu. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan dan Kitab Hukum Acara Pidana memungkinkan lembaga penegak hukum meminta keterangan dari seorang terpidana. “Ini merupakan sinergi dalam proses penegakan hukum sekaligus pelayanan antar-instansi pemerintah,” tuturnya.
Salah seorang kuasa hukum Nur Hadi, Salawati Taher, mempertanyakan alasan peminjaman Purwanto dan Firman Subkhi. Ia menganggap janggal alasan pemeriksaan etik lantaran keduanya sudah pernah menjalani sidang komite etik yang berujung pada sanksi penempatan khusus selama 14 hari. Hukuman itu berlaku sejak 27 Mei 2022. “Ini peminjaman untuk pelanggaran etik yang mana lagi?” ujarnya.
Ketua Aliansi Jurnalis Independen Surabaya Eben Haezer menilai pemeriksaan etik tak lagi relevan karena seseorang tak bisa dihukum dua kali untuk perkara yang sama. Ia menduga peminjaman Purwanto dan Firman merupakan taktik mengulur masa penahanan.
Sejumlah jurnalis di Surabaya bahkan mensinyalir keduanya tak lagi mendekam dalam rumah tahanan. Mereka diduga masih bertugas di kepolisian meski Pengadilan Negeri Surabaya sudah memutus bersalah Purwanto dan Firman pada Januari 2022. “Patut diduga upaya peminjaman itu cuma akal-akalan polisi,” ucapnya.
Kecurigaan muncul karena rekan Eben pernah memergoki Purwanto dan Firman tetap bertugas di kesatuannya sebanyak dua kali. Kala itu, Eben tengah mengikuti sidang tragedi Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, di Pengadilan Negeri Surabaya pada Maret lalu.
Dalam persidangan itu, Firman terlihat menggunakan busana kasual. Ia juga masih beraktivitas seperti biasa. Ia pernah mengunggah aktivitasnya itu lewat foto di Instagram Story. Foto itu memperlihatkan Firman berpose bersama tiga rekannya. Firman seolah-olah sedang menangkap seorang penjahat. Tak dijelaskan kapan pengambilan gambar tersebut.
Muhammad Firman Subkhi-Purwanto/Istimewa
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan Surabaya, yang juga salah seorang penasihat hukum Nur Hadi, Fathul Khoir, mengatakan unggahan aktivitas Firman dan Purwanto di media sosial membuktikan keduanya mendapat berbagai kemudahan dari Polda Jawa Timur. “Jangan sampai peminjaman ini terus berjalan sampai hukuman pidana keduanya habis,” katanya.
Kepala Bidang Profesi dan Pengamanan Polda Jawa Timur Komisaris Besar Iman Setiawan tak merespons permintaan wawancara. Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Jawa Timur Komisaris Besar Dirmanto justru menganggap kasus Purwanto dan Firman sudah selesai. “Tugas penyidikan polisi sudah selesai. Sebaiknya bahas yang lain,” ujarnya.
Penganiayaan Nur Hadi terjadi pada 27 Maret 2021 di gedung Graha Samudera Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut, Jalan Moro Krembangan, Surabaya. Nur Hadi menyambangi gedung tersebut guna meminta konfirmasi ihwal keterlibatan bekas Direktur Pemeriksaan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Angin Prayitno Aji, dalam kasus suap pajak yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi.
Di lokasi itu, Angin tengah melangsungkan resepsi pernikahan anaknya dengan anak mantan Kepala Biro Perencanaan Polda Jawa Timur, Komisaris Besar Achmad Yani. Alih-alih menerima permintaan wawancara, Angin diduga menyuruh ajudannya menginterogasi Nur Hadi dan rekannya.
Sejumlah polisi yang menjadi anggota panitia pernikahan, termasuk Firman dan Purwanto, menyeret Nur Hadi ke luar gedung. Mereka meminta Nur Hadi menghapus semua foto dan rekaman suara yang diambil dalam acara itu di telepon selulernya. Sebagian di antara mereka lalu menganiaya Nur Hadi. Keduanya bahkan sempat menyekap Nur Hadi di sebuah kamar hotel selama dua jam. Mereka baru melepaskan Nur Hadi setelah merusak kartu memori telepon selulernya.
Sejumlah lembaga, seperti AJI Surabaya, Lembaga Bantuan hukum Lentera, Lembaga Bantuan Hukum Pers, serta Kontras Surabaya, mendesak polisi memeriksa Purwanto dan Firman. Penganiayaan ini lantas bergulir di Pengadilan Negeri Surabaya. Nur Hadi mendapat perlindungan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Pengadilan Negeri Surabaya menghukum Purwanto dan Firman selama sepuluh bulan penjara. Putusan banding menyunat hukuman itu menjadi delapan bulan penjara. Selain penjara, putusan Mahkamah Agung Nomor 5995 K/Pid.Sus/2022 tertanggal 16 November 2022 juga memuat keharusan bagi keduanya membayar uang ganti rugi restitusi secara tanggung renteng. Ganti rugi ditetapkan Rp 13,8 juta untuk Nur Hadi dan Rp 21,6 juta bagi rekannya.
Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Timur Mia Amiati mengaku sudah menyampaikan putusan restitusi itu. Kepada jaksa, Purwanto dan Firman menyatakan kesanggupannya membayar kewajiban tersebut dalam waktu delapan bulan.
Jika kewajiban itu tak terlaksana, keduanya bakal menjalani hukuman pengganti penahanan selama enam bulan. “Komitmen kesanggupan itu sudah dituangkan dalam berita acara dan kami sampaikan kepada LPSK,” tuturnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Hanaa Septiana berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Eksekusi Gagal Penganiaya Wartawan"