Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFENet) Nenden Sekar Arum angkat bicara ihwal dugaan impor alat sadap atau spyware oleh Polri Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) dari Israel. Menurut dia, Polri dan BSSN harus transparan dalam mengimpor spyware itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Kita kan enggak tahu sejauh ini belum ada konfirmasi sebenarnya spyware ini digunakan untuk apa dan ditargetkan kepada siapa,” ujar Nenden saat dihubungi, Kamis, 9 Mei 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dengan nihilnya penjelasan tentang tujuan impor spyware, Nenden mengatakan wajar bila masyarakat bertanya-tanya dan merasa waswas. Ada kemungkinan spyware ini tidak menarget pelaku kriminalitas, tetapi memang untuk memata-matai seluruh warga. “Itu sangat wajar bicara seperti itu, karena tidak ada penjelasan dari pemerintah,” kata dia
Bila spyware digunakan untuk mengawasi masyarakat sipil, Nenden mengatakan itu merupakan praktik illegal surveillance atau pengawasan ilegal. Sebab, selama ini belum ada undang-undang yang secara spesifik mengatur tentang penyadapan. Adapun Rancangan Undang-Undang Penyadapan mandek di DPR sejak masuk Program Legislasi Nasional 2014–2019.
Dengan adanya kekhawatiran itu, Nenden mengatakan wajar bila dalam jangka panjang, masyarakat melakukan self-cencorship atau swasensor untuk membatasi diri dalam berpendapat. Bila berlarut-larut, dia mengatakan ketakutan itu akan memengaruhi kondisi demokrasi., “Mungkin tidak akan terlihat secara singkat dalam waktu dekat tapi kalu ini dibiarkan berlarut-larut dampaknya akan ke demokrasi,” kata dia.
Menurut laporan majalah Tempo edisi 5 Mei 2024, Amnesty International Security Lab mencatat ada 19 alat sadap yang dibelanjakan dan diantar ke kantor Staf Logistik Polri di Jakarta Timur pada 15 Juli 2021. Pengiriman dilakukan oleh ESW Systems PTE, perusahaan yang berkantor di Singapura. Nilai impor peralatan teknologi itu mencapai US$ 10,87 juta atau sekitar Rp 158 miliar sesuai kurs saat itu.
Tempo telah berupaya mengonfirmasi soal pengadaan alat sadap ini kepada Markas Besar Polri dengan mengirimkan surat permohonan wawancara. Kemudian Mabes Polri mengirim jawaban tertulis melalui Kepala Biro Pengelolaan Informasi dan Data Divisi Hubungan Masyarakat Polri Brigadir Jenderal Tjahyono Saputro pada Jumat, 3 Mei 2024.
“Bahwa informasi yang diminta mengenai penggunaan teknologi surveilans pada Polri merupakan salah satu informasi yang dikecualikan di lingkungan Polri,” tulis Tjahyono.
Alat sadap bisa digunakan oleh aparat penegak hukum untuk penyelidikan dan penyidikan suatu tindak pidana. Namun penggunaannya pun mesti melalui izin ketua pengadilan negeri setempat. Pelaksanaan penyadapan oleh kepolisian juga diatur dalam Peraturan Kapolri Nomor 5 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penyadapan pada Pusat Pemantauan Polri.