Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

hukum

Banjir Laporan di Kompleks Mirah

Perusahaan milik mantan Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaiman, melaporkan dua pengusaha asal Makassar dalam perkara jual-beli rumah toko. Saling mengklaim sebagai korban.

31 Oktober 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Mantan Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman mengklaim sebagai korban penipuan perjanjian utang-piutang.

  • Amran Sulaiman berkali-kali melaporkan mantan rekan bisnisnya.

  • Rekan bisnis Amran Sulaiman kini berstatus buron.

DIKAWAL belasan polisi berseragam, seorang pegawai Pengadilan Negeri Makassar membacakan risalah putusan di depan bangunan berlantai dua di kompleks rumah toko Mirah nomor 10/14, Jalan Pengayoman, Panakkukang, Makassar, Sulawesi Selatan. “Eksekusi dilakukan karena pihak terlelang belum menyerahkan obyek lelang secara sukarela,” ujar pegawai pengadilan itu saat membacakan risalah pada Senin, 26 Oktober lalu.

Pemillik ruko yang disebut pihak terlelang, Armandsyah Arifuddin, terlihat menghadiri eksekusi. Ia kecewa tapi tak melakukan perlawanan. “Hak keperdataan saya sama sekali tak disinggung dalam risalah eksekusi,” kata Armandsyah. Setelah eksekusi, ruko yang difungsikan sebagai pusat kuliner tersebut beralih kepemilikan ke seorang pengusaha asal Bandung, Jawa Barat.

Armandsyah membeli rumah toko seluas 231 meter persegi itu dari seorang pengusaha sekaligus temannya, Fathir Sarif, pada 24 April 2012. Setelah meneken akta jual-beli, ia mengagunkan ruko ke Bank BNI senilai Rp 3,5 miliar. “Saat ini, utang itu harus dibayar meski kepemilikan rumah sudah beralih,” ucapnya.

Fathir Sarif menjual ruko karena tengah terlilit utang sebesar Rp 2,4 miliar kepada CV Empos Tiran, milik Andi Amran Sulaiman, Menteri Pertanian periode 2014-2019. Perusahaan milik Fathir, PT Kings Tho Bone Prima Indonesia, bergerak dalam perdagangan semen dengan CV Empos. Fathir menunggak pembayaran.

CV Empos sempat mengadukan Fathir ke kepolisian karena tak kunjung melunasi utang. Kedua pihak memilih berdamai dengan membuat perjanjian utang-piutang dengan CV Empos pada 11 November 2011. Fathir mengagunkan sejumlah aset. Salah satunya ruko di kompleks Mirah itu.

Setelah membuat perjanjian utang, Fathir membayar cicilan utang menggunakan cek. Saat akan dicairkan, ternyata rekening di cek itu kosong. CV Empos kembali melaporkan Fathir ke Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan dengan tuduhan penipuan. “Laporan itu dibuat karena Fathir wanprestasi,” kata Amran Sulaiman pada Jumat, 30 Oktober lalu.

Polisi menangkap Fathir atas laporan kedua CV Empos pada awal 2012. Saat proses hukum berjalan, Fathir diduga tetap berupaya menjual ruko kepada Armandsyah. Negosiasi antara Fathir dan Armandsyah berujung kesepakatan pembelian ruko pada 24 April 2012.

Mendengar informasi penjualan ruko kompleks Mirah, CV Empos membuat laporan ketiga ke kepolisian. Kali ini, Fathir dituduh menggelapkan agunan perjanjian utang.

Amran menganggap Fathir tak memiliki iktikad baik. Selain memberikan cek bodong, Fathir menjual ruko yang sudah diagunkan dalam perjanjian utang. “Saya ini korban penipuan. Bisnis yang dijalankan anak buah saya rugi Rp 3 miliar karena ulah dia,” kata Amran.

Laporan ketiga ini berlanjut ke Pengadilan Negeri Makassar. Di persidangan, Fathir beralasan menjual ruko tersebut karena Amran mengabaikan isi surat perjanjian utang. Salah satu pasal perjanjian berisi kesepakatan untuk tidak membawa perkara utang-piutang ini ke kepolisian.

Pada 2014, majelis hakim memenangkan Fathir. Hakim menilai tuduhan penggelapan aset tanah dan bangunan tak terbukti. Dokumen kepemilikan sertifikat tanah bangunan yang pernah disita pengadilan dikembalikan kepada Armandsyah yang dianggap sebagai pemilik sah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menteri Pertanian periode 2014-2019 Andi Amran Sulaiman di Jakarta, Senin, 13 Maret 2017./TEMPO/STR/Eko Siswono Toyudho

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tiga tahun berselang, CV Empos menggugat Fathir secara perdata. Gugatan itu memohon agar akta perjanjian penyelesaian utang dengan Fathir pada 2012 sah secara hukum. CV Empos memenangi perkara ini hingga tingkat kasasi.

Putusan ini yang kemudian menjadi dasar penyitaan rumah toko di kompleks Mirah. Sementara itu, Fathir menghilang. Penyelidikan atas laporan kedua CV Empos terhadap Fathir ke kepolisian ternyata terus berjalan. Polda Sulawesi Selatan memasukkan Fathir ke daftar pencarian orang.

Armandsyah sebenarnya mengetahui Fathir tengah terlilit utang saat akan membeli ruko di kompleks Mirah. Tapi ia sudah mengecek legalitas dokumen rumah. Saat akan dibeli, sertifikat masih dikuasai salah satu bank swasta sebagai agunan kredit Fathir. “Saya cek ke bank, dokumen rumah tak bermasalah,” kata Armandsyah.

Ia mengklaim tak mengetahui perjanjian utang antara Fathir dan Amran. “Saya tahu saat itu dia terlilit utang dengan Amran. Tapi saya tidak tahu kalau aset tersebut sudah diakadkan dengan Amran,” tuturnya.

Armandsyah mengalihkan kredit rumah toko itu ke Bank BNI. Tak ada temuan kejanggalan sertifikat dalam proses peralihan kredit. Armandsyah juga mengajukan permohonan roya ke kantor pertanahan untuk mengalihkan kepemilikan sertifikat.

Amran menyangsikan pengakuan Armandsyah. Ia menduga Armandsyah mengetahui Fathir berutang kepada CV Empos. Saat ditangkap atas laporan pertama Amran ke kepolisian pada awal 2012, Fathir sedang berada di salah satu bank swasta bersama Armandsyah. Amran menduga saat itu keduanya tengah mengurus proses jual-beli ruko kompleks Mirah.

CV Empos sempat berupaya mencegah jual-beli ruko kompleks Mirah dengan menyurati bank swasta tersebut. CV Empos pun menerima informasi Armandsyah akan mengajukan permohonan kredit ke Bank BNI. Mereka juga menyurati Bank BNI. Surat itu berisi pemberitahuan bahwa Fathir mengagunkan ruko kompleks Mirah dalam perjanjian utang.

Namun proses peralihan kredit di Bank BNI tetap berjalan. Amran kembali mengadukan Fathir atas tuduhan pemalsuan pembuatan akta jual-beli.

Tempo berupaya meminta konfirmasi ihwal sengketa ini ke Sukarya, pengacara Fathir. Ia tak merespons permintaan wawancara hingga Jumat, 30 Oktober lalu. Wakil Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Sulawesi Selatan Ajun Komisaris Besar Duhri Akbar mengaku belum mengetahui duduk perkara Fathir, Armandsyah, dan CV Empos. “Saya belum tahu masalahnya,” katanya.

Pemimpin Bank BNI Wilayah Makassar Hadi Santoso mengatakan pengajuan permohonan kredit Armandsyah sudah melewati prosedur dan ketentuan yang berlaku. Pihaknya tak pernah mendapat informasi soal ruko yang sudah menjadi agunan perjanjian utang. “Sertifikat tanah juga tidak sedang dalam permasalahan hukum ataupun pemblokiran oleh pihak lain,” ujarnya, Jumat, 30 Oktober lalu.

Amran Sulaiman pernah menawarkan perdamaian kepada Armandsyah. Ia mengusulkan agar ruko itu dijual dan hasil penjualannya dibagi dua. Tapi Armandsyah menolak tawaran ini. “Saya membeli ruko itu secara sah,” kata Armandsyah.

Mendapat penolakan, Amran melaporkan Armandsyah dengan tuduhan membuat keterangan palsu saat membeli ruko milik Fathir. Ia meyakini Armandsyah mengetahui soal akta perjanjian utang-piutang Fathir. “Fathir dan Armandsyah itu berteman. Kalau dia tahu ruko itu bermasalah, kenapa juga harus dibeli?” tuturnya. Setelah mendapatkan sertifikat dari Armandsyah, Amran menjual ruko itu kepada seorang pengusaha dari Bandung.

RIKY FERDIANTO, DIDIT HARIYADI (MAKASSAR)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus