Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

internasional

Pembangkangan dari Atas Ranjang

Warga Palestina, Maher al-Akhras, mogok makan selama tiga bulan karena ditahan secara sewenang-wenang oleh militer Israel. Keluarga dan 30 tahanan lain turut mogok makan.

31 Oktober 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Maher al-Akhras mogok makan selama tiga bulan sejak ditahan militer Israel tanpa pengadilan.

  • Militer Israel menuduhnya sebagai anggota Jihad Islam padahal tak ada bukti.

  • Keluarga dan 30 tahanan lain turut mogok makan untuk mendukung Akhras.

MAHER al-Akhras, warga Silat ad-Dhahr di wilayah Tepi Barat, kini terbaring lunglai di ranjang Kaplan Medical Center, rumah sakit di Rehovot, 20 kilometer dari Tel Aviv, Israel. Sudah tiga bulan dia mogok makan sebagai protes karena ditahan militer Israel.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ahlam Haddad, pengacara Akhras, menjenguk kliennya itu pada Sabtu, 24 Oktober lalu. Menurut Haddad, saat itu Akhras mengaku sangat lemas dan tubuhnya gemetar. Akhras juga susah berkonsentrasi serta berbicara, pandangannya kabur, dan jantungnya seperti terimpit.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Anat Litvin, anggota staf Dokter untuk Hak Asasi Manusia Israel, mengatakan Akhras kini dalam kondisi kritis. “Orang yang mulai mogok makan dan tak minum apa pun kecuali air selama berhari-hari dapat meninggal pada hari ke-75,” kata Litvin kepada Times of Israel.

Akhras ditangkap tentara Israel pada 28 Juli lalu. Shin Bet, badan intelijen dalam negeri Israel, menyatakan mereka memiliki informasi bahwa Akhras terlibat dalam Jihad Islam, organisasi garis keras Palestina yang dicap sebagai teroris oleh Israel dan sejumlah negara lain.

Michael Lynk, pelapor khusus PBB tentang hak asasi manusia di wilayah Palestina, mendesak pemerintah Israel segera membebaskan Akhras. “Akhras sekarang dalam kondisi yang sangat lemah.... Kunjungan para dokter baru-baru ini ke ranjang rumah sakitnya di Israel menunjukkan bahwa dia di ambang menderita kegagalan organ utama, dan beberapa kerusakan mungkin permanen,” ujar Lynk seperti dikutip Palestine News Network, Senin, 26 Oktober lalu.

Maher al-Akhras adalah ayah dari enam anak yang mempunyai peternakan sapi perah terbesar di Tepi Barat. Menurut Haaretz, dia pernah ditahan pada 2005 dengan tuduhan menjadi anggota organisasi terlarang. Dokumen pengadilan menyebutkan dia pernah mengikuti pawai Jihad Islam serta berpidato dan menulis komentar ekstrem di Facebook.

Pengacara yang mewakili pemerintah dan Shin Bet mengklaim memiliki rekaman video saat Akhras mengaku bangga menjadi anggota Jihad Islam. Atas permintaan Ahlam Haddad, wakil pemerintah menyerahkan transkrip rekaman itu. Namun tak ada pernyataan Akhras tentang Jihad Islam di sana. Transkrip itu hanya memuat sumpah Akhras yang menyatakan ia akan terus mogok makan sampai bebas atau meninggal sebagai martir. Akhras juga bersumpah akan melindungi Masjid Al-Aqsa dan ingin beribadah di sana.

“Satu-satunya yang mereka (Shin Bet) tanyakan kepada saya adalah tentang pertemuan saya dengan rekan-rekan saya yang dulu dibui bersama saya dan masih berteman setelah dibebaskan,” ucap Akhras kepada Haaretz. “Saya secara pribadi tak tahu apakah ada di antara rekan saya, yang dulu dipenjara atau tidak, yang pernah menjadi anggota suatu organisasi.”

Haddad mengatakan kliennya membantah tudingan sebagai anggota Jihad Islam dan menyatakan tak terlibat dalam kegiatan politik apa pun dalam periode yang dituduhkan. “Israel mengklaim dia mengatakan dan punya pandangan ekstremis, tapi tak memberikan bukti apa pun, bahkan jika ada di Facebook,” tuturnya.

Ini penahanan kelima Akhras. Lelaki Palestina itu pertama kali ditahan tentara Israel pada 1989 ketika baru berusia 18 tahun, lalu pada 2004. Pada 2009, Akhras disekap selama 16 bulan dan pada 2018 selama 11 bulan. Baru beberapa bulan dia bebas, tentara kembali menciduknya pada Juli lalu. Sejak itu, Akhras tak makan apa pun dan hanya minum air putih. Ketika kondisi kesehatannya memburuk, dia dipindahkan dari ruang perawatan penjara ke Kaplan.

Atas kondisi kesehatannya, Haddad dan istri Akhras, Taghreed, telah dua kali mengajukan petisi kepada pengadilan untuk meninjau penahanan Akhras. Dalam sidang pertama di Mahkamah Agung pada 23 September lalu, hakim Isaac Amit, Ofer Grosskopf, dan David Mintz menyatakan alasan penahanan itu sepenuhnya dapat dibenarkan. Namun, menurut mereka, kondisi Akhras saat ini membuatnya bukan lagi ancaman bagi Israel sehingga alasan penahanannya gugur. Majelis hakim lalu memutuskan menangguhkan penahanan Akhras hingga dia pulih.

Meskipun perintah penangguhan penahanan sudah keluar, otoritas Israel menolak memindahkan Akhras ke rumah sakit di wilayah Palestina supaya keluarga Akhras dapat menjenguknya. Saat ini hanya istrinya yang boleh membesuknya.

Sidang kedua pada 12 Oktober lalu ditangani hakim Noam Solberg, Yael Vilner, dan Menachem Mazuz. Wakil pemerintah tetap menolak membebaskan Akhras. Mazuz, satu-satunya hakim yang punya pendapat berbeda, menyatakan pemerintah tak dapat menyebutkan dasar hukum penolakan itu. “Saya tak paham logika di belakang negara Israel yang menangguhkan penahanannya tapi tetap menentukan nasibnya,” ujarnya. Namun baik wakil pemerintah maupun hakim Solberg dan Yael Vilner menyatakan terserah Akhras untuk memutuskan hidup atau mati selama masa mogok makan.

Pemerintah Israel hanya berjanji tak akan memperpanjang masa tahanan Akhras, yang berakhir pada 26 November nanti, bila dia berhenti mogok makan dan kemudian tinggal menghabiskan sisa masa tahanannya. Majelis hakim meminta Akhras menerima tawaran pemerintah ini. Tapi, lewat Taghreed, Akhras menolaknya.

Taghreed, tiga anaknya, dan ibunya kemudian turut mogok makan dan melakukan aksi duduk di depan kamar perawatan Akhras sejak Ahad, 25 Oktober lalu. Sekitar 30 tahanan Palestina juga mogok makan sebagai bentuk solidaritas. Perdana Menteri Palestina Mohammad Shtayyeh dan mantan pemimpin politik Hamas, Khaled Mashal, mendesak pemerintah Israel membebaskan Akhras. Brigade Quds, sayap militer Jihad Islam, mengancam akan membalas Israel bila Akhras sampai meninggal.

Israel telah menerapkan kebijakan penahanan administratif selama bertahun-tahun. Pada 2001-2002, mereka menahan lebih dari seribu orang Palestina. Beberapa tahun belakangan, mereka menahan sekitar 500 orang setiap bulan. Saat ini, menurut organisasi hak asasi manusia Israel, B’Tselem, terdapat 350 orang Palestina yang dibui dengan aturan tersebut.

Tahanan administratif tak pernah diadili. Pemenjaraan semata didasari bukti intelijen yang tak pernah ditunjukkan kepada tahanan ataupun pengacaranya sehingga mereka tak bisa membela diri di pengadilan. Masa penahanan juga tak jelas karena komandan militer Israel dapat memperpanjang masa tahanan semaunya. Kebanyakan penahanan berlangsung sampai dua tahun, tapi ada juga yang sampai enam tahun.

Penahanan ini kadang berakibat fatal. Daoud Talaat al-Khatib meninggal karena serangan jantung pada 2 September lalu, beberapa bulan sebelum 18 tahun masa penahanannya berakhir. Pria 45 tahun dari Betlehem itu meninggal di penjara Ofer di Tepi Barat. Dia anggota Fatah, organisasi yang dulu bernama Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) saat didirikan oleh Yasser Arafat, dan aktif menolak pendudukan Israel. Menurut Masyarakat Tahanan Palestina (PPS), Khatib sudah lama menderita penyakit jantung, tapi keadaan penjara yang buruk dan kondisi psikologis telah menggerus kesehatannya.

Laporan penelitian Julie M. Norman dari University College London pada 2020 menemukan mogok makan adalah puncak perlawanan para tahanan Palestina yang umumnya dilakukan secara kolektif. Sedikitnya sudah terjadi 30 kali mogok makan massal para tahanan Palestina sejak 1968. Yang terkenal adalah pemogokan pada 1973 di Ashkelon yang berlangsung tiga pekan dan berakhir dengan perundingan antara tahanan dan Kementerian Keamanan Umum. Hasilnya, antara lain, pejabat penjara itu dicopot dan Palang Merah diizinkan mengantarkan buku-buku untuk para tahanan.

Anat Matar, guru besar filsafat Tel Aviv University yang berkoordinasi dengan kelompok advokasi Komite Israel untuk Tahanan Palestina, menyatakan telah mengupayakan berbagai cara, tapi pemindahan Akhras ke Tepi Barat tetap ditolak. “Kami bersama keluarga dan orang dekat Akhras ingin mendukung prinsip yang dia perjuangkan. Di sisi lain, masalah ini sangat sulit,” ucapnya kepada The Guardian. “Yang penting bagi kami adalah memprotes penahanan administratif. Apa yang dia inginkan adalah mengangkat kasusnya ke masalah umum penahanan. Itulah mengapa dia bersedia membayar dengan nyawanya.”

Michael Lynk menyebut penahanan administratif Israel ini sebagai penyimpangan terhadap aturan dalam masyarakat demokratis mana pun yang tunduk pada penegakan hukum. “Ini sistem hukuman yang rawan disalahgunakan dan menganiaya,” katanya. Lynk meminta pemerintah Israel menghapus praktik ini dan membebaskan para tahanan.

IWAN KURNIAWAN (THE GUARDIAN, PALESTINE NEWS NETWORK, TIMES OF ISRAEL, HAARETZ)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus