Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

hukum

Tiada Tiket Carilah Calo

Meski sudah menggunakan sistem online, praktek percaloan tiket kereta tetap marak. Modusnya dari "bermain" dengan "orang dalam" hingga menyediakan KTP palsu.

18 Agustus 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lelaki berbadan tegap berambut cepak itu duduk menyendiri di kedai Dunkin Donuts Stasiun Pasar Senen, Jakarta Pusat. Hari itu, sepekan sebelum Lebaran, berkali-kali ia menengok arloji Swiss Army hitam di tangan kirinya. Tak lama berselang, seseorang dengan dandanan perlente menghampirinya. Pria itu menyerahkan sebuah amplop.

Setelah mengecek isi amplop, pria berbadan tegap itu bergegas pergi setelah menjabat tangan pria yang menghampirinya tersebut. "Biasa, pelanggan minta dicariin tiket buat mudik," kata Taufik, pria yang menyerahkan amplop putih itu, kepada Tempo beberapa saat kemudian. Dia terang-terangan mengaku sebagai calo tiket.

Empat tahun sudah Taufik menjadi calo di Stasiun Pasar Senen. Karena itu, pengalamannya sebagai calo bisa dibilang mumpuni. Meskipun sistem pembelian tiket kini sudah dibuat untuk mempersulit percaloan, toh "posisi"-nya sebagai calo tetap eksis.

Taufik mengakui "bisnis" percaloan sekarang jauh lebih rumit. Dulu calo cukup menyediakan modal untuk memborong tiket, tapi saat ini cara itu tak bisa lagi dilakukan. Pasalnya, PT Kereta Api Indonesia mengharuskan penumpang menunjukkan identitas seperti yang tertera pada tiket. Dengan sistem seperti itu, kata Taufik, tak semua calo bisa bermain. Kuncinya, dia menyebutkan, seorang calo harus memiliki jaringan di dalam PT Kereta Api Indonesia untuk memesan tiket.

Contohnya adalah enam tiket tujuan Solo, Jawa Tengah, yang diserahkannya kepada pria berambut cepak tadi. Taufik mengaku baru mendapat pesanan dari pria itu tiga hari lalu. Padahal tiket ke Solo sudah terjual habis sejak dua bulan lalu. Lantas bagaimana Taufik mendapatkan tiket? Dia mengaku mendapat informasi dari koneksinya di PT KAI mengenai tiket yang dibatalkan.

Caranya, Taufik meminta pemesan memberikan uang muka separuh dari harga tiket dan identitas diri. Kemudian dia menghubungi "orang dalam" untuk mencari tiket yang dibatalkan. Jika ada, tiket itu akan langsung dibeli. Cara ini diakuinya mengandung unsur untung-untungan. Jika tiket yang diburu hingga hari keberangkatan tidak ada, uang muka dikembalikan 75 persen. "Dua puluh persennya dipakai ongkos nyari," ujarnya.

Cara lain adalah membeli langsung dari orang yang akan membatalkan perjalanan. Untuk ini, Taufik berani membayar dengan harga pembatalan menurut ketentuan PT Kereta Api Indonesia, yaitu 75 persen dari harga tiket. Sepanjang perbincangan dengan Tempo, pria berumur 25 tahun ini dua kali membeli tiket orang lain yang tidak jadi berangkat.

Tapi bukankah identitas yang tertera di tiket harus sama dengan identitas penumpang? Di sini koneksi Taufik kembali bermain. Cukup dengan salinan identitas si calon penumpang dan tiket yang akan diubah identitasnya, Taufik melangkah ke loket. Dalam hitungan beberapa menit, ia pun mendapatkan tiket sesuai dengan identitas pelanggannya. Pengubahan identitas seperti ini sebenarnya tidak bisa dilakukan. Menurut aturan PT Kereta Api, tiket yang dibatalkan seharusnya masuk sistem untuk dijual ulang, bukan langsung dengan cara tukar nama di depan loket.

Soal harga, Taufik mematok hingga tiga kali lipat dari harga sebenarnya. Untuk tiket kereta bisnis Jakarta-Solo yang baru dia jual harganya Rp 500 ribu. Padahal harga resminya Rp 200 ribu. Untuk tiap tiket, dia "menyetor" Rp 100 ribu buat konek­sinya di PT KAI. Pada musim ramai seperti Lebaran lalu, dia mengaku sehari bisa mendapat untung hingga Rp 1 juta.

Kepala Stasiun Pasar Senen Supendi membantah adanya praktek calo yang melibatkan orang dalam. Saat Tempo menceritakan soal praktek calo ini, dia terdiam sebentar. "Mungkin itu agen tiket dadakan," kata Supendi kemudian. Dia mengatakan biasanya ada calon penumpang yang titip perantara untuk beli tiket. Tapi itu pun tetap dalam jalur resmi, dengan cara online. "Nah, si penumpang kemudian membayar jasa karena sudah dibelikan tiket. Ini kan berarti bukan calo," ujarnya.

l l l

Pembelian tiket kereta api secara online sudah dilakukan oleh PT Kereta Api Indonesia sejak dua tahun lalu. Cara ini berdampingan dengan sistem pembelian tiket secara langsung di loket PT KAI. Khusus untuk arus mudik dan arus balik Lebaran tahun ini, penjualan tiket kereta api hanya dengan cara online. Direktur Utama PT KAI Ignatius Jonan mengatakan sistem ini diberlakukan untuk memberangus calo yang merugikan masyarakat.

Jonan mengatakan sistem online untuk mencegah adanya permainan antara pihak internal dan para calo seperti yang selama ini kerap terjadi. Dia pun menjamin, dengan sistem ini, calo tak akan lagi bisa leluasa bekerja. Di pintu masuk stasiun, petugas PT KAI akan mengidentifikasi penumpang dengan melihat kesesuaian nama tiket dengan kartu identitas resmi penumpang, misalnya kartu tanda penduduk. "Kalau ada petugas yang bekerja sama dengan calo untuk meloloskan penumpang akan kami pecat secara tidak hormat," ujar Jonan.

Jonan tampaknya memang mesti "memasang" mata dan telinga lagi. Kamis dua pekan lalu, Tempo mengikuti seorang calon penumpang yang kebingungan membeli tiket karena KTP-nya hilang. Penumpang yang hendak menuju Semarang itu pun langsung menjadi sasaran empuk calo tiket yang marak berkeliaran di sana. Awalnya, si calo membawa calon penumpang ke sebuah lorong yang di depannya terpasang papan bertulisan "Pusat Kegiatan Kesenian Kurnia Group". Di sinilah calo tiket biasa berkumpul dan bertransaksi.

Tanpa basa-basi, si calo mengeluarkan sebuah telepon seluler pintar dari sakunya dan membuka situs pemesanan tiket kereta paditrain.com. Ia menawarkan KA Senja Utama Semarang kelas bisnis dengan waktu keberangkatan pukul 19.45. Harga tiket dipatok Rp 400 ribu jika calon penumpang memiliki KTP dan Rp 450 ribu jika butuh KTP palsu, dari harga resmi Rp 230 ribu.

Calo meminta uang muka 50 persen dari harga kesepakatan. Setelah itu, wajah calon penumpang difoto dengan ponsel. Si calo berjanji menghubungi calon penumpang tiga jam kemudian. Ternyata, tak sampai tiga jam, "KTP jadi-jadian" dan tiket sudah diterima oleh calon penumpang.

KTP palsu ini terlihat serupa dengan bentuk aslinya. Dicetak di atas kertas tebal dan diberi laminating—hanya tidak ada serat berwarna dalam blangko lazimnya yang asli. KTP ini juga tidak memiliki cetakan sidik jari. Alamat palsu calo penumpang tertulis di Bekasi, Jawa Barat. "Kalau nanti tidak bisa masuk, telepon saya, kami di sini terus sampai malam," dia memberi jaminan. Ia menyebutkan, pada masa Lebaran, ratusan konsumennya lolos dengan cara itu.

Menjelang keberangkatan kereta, Tempo menyaksikan calon penumpang tersebut berjalan ke pintu masuk peron. Seorang petugas keamanan stasiun memeriksa tiket dan KTP, dengan disaksikan tiga petugas lain. Tak ada masalah, ia melenggang masuk.

Manajer Humas PT KAI Daerah Operasi V Purwokerto Surono mengakui pihaknya mengetahui modus KTP palsu itu. Sepanjang arus mudik lalu, pihaknya menemukan 18 calon penumpang yang menggunakan KTP palsu. Mereka gagal berangkat setelah petugas PT KAI mencurigai KTP yang mereka tunjukkan, yang ternyata palsu.

Berdasarkan penelusuran, kata Surono, pemalsuan tiket dengan KTP palsu melibatkan agen tiket resmi yang bekerja sama dengan PT KAI. Mereka memesan tiket dengan KTP palsu yang sudah mereka siapkan. Dalam kasus ini, Surono mengatakan pihaknya sudah memutus hubungan kerja sama dengan dua agen tiket resmi yang terbukti melakukan kecurangan ini. Mereka juga telah memecat seorang karyawan berinisial SD yang diduga terlibat dalam jaringan ini.

Mereka yang melakukan kecurangan itu, kata dia, akan diajukan ke pengadilan. "Agar ada efek jera," ujarnya kepada Tempo.

Febriyan, Syailendra, Maria Yuniar (jakarta), Aris Indrianto (Purwokerto)


Modus Percaloan

1. Membeli tiket yang dibatalkan calon penumpang

  • Calo membeli tiket dari penumpang yang membatalkan secara langsung atau mencari informasi tiket yang dibatalkan oleh penumpang melalui oknum petugas PT KAI.
  • Calo menjualnya ke konsumen.
  • Calo mengganti identitas pada tiket sesuai dengan identitas konsumen melalui oknum petugas.

    2. Menggunakan KTP palsu

  • Calo atau agen membuat KTP palsu.
  • Memborong tiket berdasarkan KTP palsu itu.
  • Menjualnya ke konsumen berikut KTP palsunya.
  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus