Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saya tak akan menyarankan atau memberikan obat yang mematikan kepada siapa pun meski telah dimintakan untuk itu." Demikian penggalan sumpah yang diucapkan Hipokrates (460-377 SM). Sumpah ini pula yang diucapkan para mahasiswa kedokteran yang baru lulus: berjanji tak akan membantu pasien melakukan bunuh diri (eutanasia).
Aturan tentang eutanasia berbeda-beda di banyak negara. Hukum perihal eutanasia pun berubah-ubah seiring dengan perjalanan waktu, norma budaya, dan kemajuan fasilitas pelayanan kesehatan.
Di antara sedikit negara yang mengizinkan eutanasia adalah Belanda dan Belgia. Sedangkan di beberapa negara Eropa lain, seperti Spanyol, Jerman, dan Denmark, eutanasia dianggap kejahatan.
Pada 10 April 2001, Belanda menerbitkan undang-undang yang mengizinkan eutanasia. Undang-undang tersebut efektif berlaku sejak 1 April 2002. Pasien yang mengalami sakit menahun dan tak tersembuhkan diberi hak mengakhiri penderitaannya. Namun, dalam Kitab Hukum Pidana Belanda, eutanasia dan bunuh diri atas bantuan orang lain pun masih dipertahankan sebagai perbuatan kriminal.
Di Belanda, eutanasia memang diatur dengan ketat. Dokter yang diminta melakukan eutanasia harus mengadakan konsultasi dengan rekan sejawat (tidak harus seorang spesialis) serta membuat laporan dengan menjawab sekitar 50 pertanyaan. Setiap tindakan eutanasia wajib dilaporkan ke pengadilan untuk dinilai sudah memenuhi syarat atau belum. Eutanasia juga hanya bisa dilakukan terhadap pasien dengan usia minimal 12 tahun.
Adapun parlemen Belgia melegalisasi eutanasia pada akhir September 2002. Namun, saking ketatnya syarat dan prosedurnya, pendukung eutanasia di sana menyebutnya sebagai "birokrasi kematian" yang disengaja. Pada Februari lalu, parlemen Belgia mengesahkan rancangan undang-undang yang mengizinkan eutanasia untuk anak-anak tanpa batas usia. Jadilah Belgia negara pertama yang menghapus batas usia untuk praktek eutanasia. Undang-undang ini pun tak sepi dari kritik pihak oposisi di negara itu.
Dalam prakteknya, ada dua jenis eutanasia, yakni agresif (aktif) dan non-agresif (pasif). Pada eutanasia agresif, dokter atau tenaga kesehatan membantu mempersingkat atau mengakhiri hidup seorang pasien dengan pemberian senyawa mematikan, baik lewat oral maupun suntikan. Contoh senyawa mematikan adalah tablet sianida.
Adapun eutanasia non-agresif dilakukan dokter dengan cara menghentikan perawatan medis yang, jika tetap diberikan, bisa memperpanjang hidup pasien. Eutanasia pasif misalnya dengan menghentikan bantuan oksigen bagi pasien yang kesulitan pernapasan, tidak memberikan antibiotik kepada penderita pneumonia berat, atau membatalkan operasi yang seharusnya dilakukan untuk memperpanjang hidup pasien.
Presiden World Congress on Medical Law M. Nasser mengatakan eutanasia pasif kerap dilakukan secara terselubung oleh banyak rumah sakit—termasuk di Indonesia. Penyalahgunaan eutanasia pasif bisa dilakukan tenaga medis dengan kesepakatan keluarga pasien. Misalnya dalam kasus keluarga yang tak sanggup lagi menanggung biaya pengobatan. Di sini dokter dan rumah sakit bisa saja meminta si pasien dibawa "pulang paksa" oleh keluarganya.
Dokter atau rumah sakit biasanya "mengakali" eutanasia pasif dengan meminta keluarga pasien membuat surat pernyataan menolak pengobatan atau tindakan medis. Menurut Undang-Undang Kesehatan, pasien memang berhak menolak menerima pengobatan atau tindakan medis tertentu. Perihal ini, Nasser mengingatkan, berdasarkan Undang-Undang Rumah Sakit, dokter dan rumah sakit wajib menolak permintaan pasien bila penghentian pengobatan atau tindakan medis itu bisa langsung menyebabkan kematian.
Jajang Jamaludin
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo