Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Percakapan tak biasa berlangsung dalam sidang Mahkamah Konstitusi pada Rabu siang itu. Majelis hakim konstitusi bergantian menasihati pemohon uji materi, Ignatius Ryan Tumiwa, agar membatalkan permohonan uji materi yang dia ajukan. Padahal agenda utama sidang semestinya adalah penyampaian saran hakim mengenai perbaikan berkas gugatan, bukan imbauan untuk mencabut gugatan.
"Saya ngeri membaca permohonan ini. Sebelumnya tak pernah terjadi kayak begini," kata anggota majelis hakim Patrialis Akbar dalam sidang pada 16 Juli lalu. Siang itu digelar sidang perdana uji materi Pasal 344 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal yang diajukan Ignatius itu melarang seseorang membantu orang lain mengakhiri hidup. Jika itu dilanggar, pelakunya diancam hukuman 12 tahun penjara.
Patrialis lantas menasihati Ignatius, 48 tahun, agar tak berputus asa. Kesulitan hidup, menurut Patrialis, juga dialami banyak orang. Ignatius pun disarankan menggunakan "kepintaran"-nya untuk mencari jalan keluar, termasuk meminta tolong keluarga.
Anggota hakim konstitusi lainnya, Anwar Usman, ikut memberi "tausiah". Dia bahkan menyinggung ajaran agama yang melarang manusia mengakhiri hidup. Namun, di akhir komentar, Anwar tak lupa kembali ke pokok persoalan. Dia menyarankan Ignatius memperbaiki berkas permohonan uji materi.
Ignatius, kata Anwar, harus menguraikan hubungan Pasal 344 KUHP dengan pasal yang dijadikan batu uji dalam Undang-Undang Dasar 1945. Terutama soal kerugian yang dialami Ignatius akibat berlakunya pasal dalam KUHP itu. "Atau paling tidak, dengan berlakunya pasal ini, suatu saat pemohon berpotensi dirugikan," kata Anwar.
Mengaku tak paham dengan saran majelis hakim, Ignatius bolak-balik meminta penjelasan ulang. Dia pun meminta majelis hakim mencoret-coret berkas perkara, seperti dosen pembimbing memberi saran kepada mahasiswa yang menyusun tugas akhir. "Kalau lisan begini, saya cuma bisa menangkap 20 persennya," ujar Ignatius.
Hakim lalu memerintahkan Ignatius menemui panitera untuk meminta risalah sidang. Ignatius lantas diberi waktu 14 hari untuk memperbaiki berkas permohonan. "Syukur-syukur kalau sudah pulang nanti Saudara berubah pikiran mencabut permohonan ini," kata ketua majelis hakim Aswanto.
Menggondol gelar master administrasi fiskal dari Universitas Indonesia pada 1998, Ignatius pernah bekerja di kantor akuntan publik internasional terkemuka di Jakarta. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, berbagai kemalangan menimpanya. Tak lama setelah Ignatius keluar dari kantor akuntan yang termasuk lima besar dunia itu, pada 2005 ibunya meninggal. Lalu, dua tahun kemudian, menyusul ayahnya.
Hingga kini, tujuh tahun sudah Ignatius hidup sebatang kara di rumah warisan orang tuanya di kawasan Tamansari, Jakarta Barat. Pernah pindah-pindah kerja sebagai tenaga paruh waktu, sejak tahun lalu Ignatius menganggur total. "Setiap hari saya cuma bisa makan roti dan biskuit," katanya.
Kepada Tempo, beberapa tetangganya bercerita, dalam beberapa tahun terakhir Ignatius lebih suka mengunci diri di dalam rumah. "Dia jarang sekali ke luar rumah," kata Liong Ping Giu, salah seorang tetangganya. Liong adalah teman bermain dan sekolah Ignatius dari SD sampai SMP. "Di sekolah, dia sangat pintar. RankÂing-nya selalu teratas," ujar Liong.
Kini, jangankan dengan tetangga, dengan dirinya pun Ignatius seperti tak peduli. Rumah mungil warisan orang tuanya tak pernah dia bersihkan. Sarang laba-laba terlihat bergelayutan di setiap sudut langit-langit. Tumpukan koran bekas, dengan kertas menguning, teronggok di ruang tamu. Kantong sampah berserakan di setiap sudut rumah, menguarkan bau tak sedap ke mana-mana.
Ketika ditemui, Ignatius hanya memakai baju cokelat tanpa lengan. Celana hitam pendek yang dia kenakan pun tampak compang-camping dan banyak sobekan. "Ketika masih bekerja, penampilan dia rapi," ujar Lena, tetangga samping rumah Ignatius. "Sekarang bajunya saja kayak enggak pernah ganti."
Ignatius mengakui menderita tekanan batin dan kesulitan keuangan. Sisa tabungan semasa kerja, juga harta peninggalan orang tua, sudah kandas. Karena tak lagi menyenangkan, Ignatius beranggapan hidup harus diakhiri. Namun rupanya dia ogah memilih cara langsung, misalnya dengan menggantung diri atau meloncat dari gedung tinggi. "Saya ingin dibius, lalus disuntik mati," ujar Ignatius.
Ignatius pernah mendatangi Kementerian Kesehatan untuk meminta petunjuk bagaimana caranya mengakhiri hidup dengan rasa sakit minimal (eutanasia). Di Kementerian, dia malah mendapat penjelasan bahwa perbuatan itu terlarang. "Hambatannya ada di KUHP," kata Ignatius.
Ignatius membulatkan tekad untuk menggugat pasal KUHP itu ke Mahkamah Konstitusi. Tapi dia tak punya pengalaman menyusun berkas perkara. Untuk menyewa pengacara, ia tak mampu. Karena itu, tanpa mengutarakan maksudnya, dia meminjam contoh berkas gugatan kepada seorang kenalannya. Ignatius pun menyusun sendiri berkas permohonan uji materi itu.
Ignatius meminta Mahkamah Konstitusi membatalkan Pasal 344 KUHP. Bunyi pasal itu, "Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun."
Menurut Ignatius, Pasal 344 KUHP itu bertentangan dengan Pasal 28 D ayat 1 UUD 1945. Pasal dalam konstitusi itu menyebutkan, "Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum."
Ignatius tak berpanjang-panjang membuat alasan uji materi. Dia berangkat dari kenyataan bahwa warga negara yang tak punya pekerjaan tak menerima tunjangan dari pemerintah Indonesia. Karena itu, ketimbang menjadi beban masyarakat, orang seperti dirinya harus diizinkan menerima suntik mati. Jika dilarang, itu justru menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan. "Itu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar," tulis Ignatius dalam berkas gugatan. Dengan dalil ala kadarnya itu, pada 20 Mei Ignatius memasukkan berkas gugatannya ke Mahkamah Konstitusi.
Praktek eutanasia telah hampir satu abad menjadi perdebatan di kalangan ahli hukum dan praktisi kesehatan dunia. Tak mengherankan bila hal itu akan kembali menjadi salah satu topik bahasan dalam World Congress on Medical Law (WCML) yang ke-20 di Nusa Dua, Bali, pada 21-24 Agustus ini. Dalam kongres yang dihadiri wakil dari 90 negara itu, setidaknya ada enam ahli hukum kesehatan yang akan memaparkan makalah tentang polemik seputar eutanasia.
Menurut Presiden WCML M. Nasser, perdebatan tentang boleh-tidaknya eutaÂnasia berpangkal pada perbedaan pemahaman mengenai hak asasi manusia. Ketika sebagian ahli berpendapat bahwa hak untuk hidup merupakan hak mendasar setiap orang, ada juga ahli yang berpandangan bahwa orang berhak memilih mati dan menentukan cara kematiannya.
Memang, menurut Nasser, tak ada hukuman bagi orang yang mengakhiri sendiri hidupnya. Tapi, ketika orang meminta bantuan orang lain untuk mengakhiri hidupnya, "Muncul pertentangan etik dan perdebatan hukum."
Terlepas dari perdebatan itu, konstitusi dan hukum positif Indonesia hanya mengakui hak untuk hidup sebagai hak asasi. Pasal 28 A dan 28 I UUD 1945, misalnya, memasukkan hak untuk hidup sebagai hak dasar yang tak bisa dikurangi dalam kondisi apa pun. Hak untuk hidup disejajarkan dengan hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran, hak beragama, dan hak untuk tidak diperbudak. Sebaliknya, tak ada satu pun ayat dalam UUD 1945 yang mengakui hak orang untuk mati. Prinsip serupa lebih detail diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 tentang Hak Asasi Manusia. Nah, menurut Nasser, jika Ignatius "menabrakkan" larangan eutanasia dalam KUHP (Pasal 344) dengan konstitusi, "Tak ada jalan bagi hakim untuk mengabulkannya."
Ketua majelis hakim konstitusi, Aswanto, juga sudah mengingatkan Ignatius bahwa hukum pidana Indonesia tak mengatur hak untuk mati. Kalaupun Pasal 344 diubah, dalam KUHP masih banyak pasal lain yang melarang seseorang menghilangkan nyawa orang lain. Misalnya, Pasal 338 tentang pembunuhan dengan sengaja, Pasal 340 tentang pembunuhan berencana, dan Pasal 345 tentang mendorong dan membantu orang lain bunuh diri. "Bila Saudara minta supaya dokter melakukan suntik mati atau eutanasia, sang dokter bisa masuk penjara," ujar Aswanto.
Meski sudah diingatkan, Ignatius berkukuh melanjutkan gugatannya. "Kalau Mahkamah Konstitusi belum mengabulkan, itu belum final," katanya.
Jajang Jamaludin, Nuriman Jayabuana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo