Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Papua Nugini masuk turbulensi krisis politik terburuk sejak negara itu merdeka dari jajahan Australia pada 1975. Negara berpenduduk 6,7 juta jiwa itu kini memiliki dua perdana menteri, dua gubernur jenderal—karena masuk Persemakmuran Inggris—dua kepala polisi, dan dua kabinet.
Di belakang kubu dua perdana menteri, Sir Michael Somare,75 tahun, dan Peter O'Neill, 48 tahun, terdapat dua kekuatan ekonomi besar, yaitu Cina dan Amerika Serikat. Cina hadir sebagai Metallurgical Corporation of China, perusahaan di bidang tambang nikel di Provinsi Madang. Sedangkan kepentingan Amerika Serikat diwakili ExxonMobil, yang membuka tambang gas alam cair di Provinsi Southern Highlands.
Hingga Jumat pekan lalu, dualisme pemerintahan ini belum berujung solusi. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Ban Ki-moon mengingatkan kedua belah pihak agar segera menyelesaikan krisis politik secara damai. "Jika eskalasi konflik terus meningkat, Papua Nugini bisa menjadi negara gagal."
Australian Financial Review melaporkan Australia telah mempersiapkan rencana kontingensi bila gejolak politik di Papua Nugini tak terkendali. Pasukan telah bersiaga dan siap diterjunkan bila terjadi kerusuhan atau jika "diminta" pihak Papua Nugini. Amerika Serikat pun telah memberi keleluasaan bagi Australia untuk bertindak.
Menurut peraturan Persemakmuran, Ratu Elizabeth II sebenarnya berhak menunjuk salah satu dari dua kepala pemerintahan itu. Namun langkah tersebut tampaknya tak akan menyelesaikan masalah. Sebab, kubu Somare dan O'Neill gencar saling sikut dan menjauhi jalan kompromi.
Pada Desember lalu, misalnya, Mahkamah Agung memutuskan pengangkatan Perdana Menteri O'Neill oleh parlemen inkonstitusional. Somare juga menantang O'Neill menggelar pemilihan umum dini, sebelum yang dijadwalkan, Juni 2012.
Tantangan itu dibalas O'Neill dengan menutup semua kantor pemerintahan dari para pendukung Somare. O'Neill mengusir pengusaha asal Selandia Baru, sahabat Somare, Graham Osborne, pada akhir Desember lalu. Dia juga segera menggelar investigasi atas dana perawatan kesehatan Somare ke Singapura, yang besarnya mencapai US$ 2 juta.
"Drama" politik itu dimulai ketika Somare, "Pemimpin Besar"—demikian julukannya—yang berkuasa sejak negara yang berbatasan dengan Papua, Indonesia, itu merdeka, berobat ke Singapura. Pada April lalu, Somare terkena serangan jantung dalam persidangan tentang pemberhentian sementara dia sebagai kepala pemerintahan selama dua minggu karena terlambat menyerahkan laporan pertanggungjawaban keuangan negara. Somare pun menjalani operasi jantung di Singapura. Pada Mei lalu, istri Somare dan anaknya, Arthur Somare, mengumumkan Somare tidak lagi menjadi perdana menteri karena alasan kesehatan.
Selama sekitar empat bulan, Papua Nugini menggelinding tanpa pemimpin. Koalisi partai penguasa retak. Parlemen pun amburadul. Sebab, menurut konstitusi Papua Nugini, apabila pemimpin pemerintahan sakit dalam waktu lama, pemimpin oposisi berhak naik sebagai pengganti. Pada awal Agustus 2011, parlemen mengangkat O'Neill—menteri tenaga kerja dan mantan menteri keuangan—sebagai perdana menteri baru.
Penyebab kekalahan Somare dalam pemungutan suara di parlemen adalah pengkhianatan partai politik koalisinya, Partai Aliansi Nasional. Dari 70 suara pendukung Somare, hanya tersisa 24 suara. O'Neill menyabet 79 dari total 109 suara di parlemen. Partai Aliansi menganggap Somare tak membagi "rezeki" politik.
Somare memang dikenal dekat dengan perusahaan yang sebagian besar sahamnya dimiliki pemerintah Cina, Metallurgical Corporation of China, dan Rimbunan Hijau, perusahaan kayu yang dimiliki Malaysia-Cina. Kedua perusahaan masing-masing memiliki omzet lebih dari US$ 1 miliar per tahun.
Beberapa kali pada 2004 dan 2010, Somare diundang dan berkunjung ke Cina. Perdana Menteri Wen Jiabao pun melakukan kunjungan balasan ke Papua Nugini pada April 2011. Pemerintah Cina melobi agar sejumlah perusahaannya bisa masuk ke Papua Nugini, yang memang telah diserbu pendatang dari Asia, terutama Cina.
Akhirnya, Somare membuka pintu untuk perusahaan Cina itu sejak 2009. Metallurgical Corporation menyanggupi berinvestasi US$ 1,5 miliar. "Cina akan meningkatkan kerja sama pada sektor pertanian, kehutanan, perikanan, energi, telekomunikasi, dan transportasi," kata Jiabao dalam pertemuan dengan Somare di Tianjin.
Pemerintah Somare pun selalu membela kepentingan perusahaan Cina. Sejumlah aturan dalam pertambangan dibuat lebih bersahabat dengan dua perusahaan itu. Padahal Metallurgical Corporation dan Rimbunan Hijau dituding telah merusak lingkungan. Rimbunan Hijau Watch menuding operasi Rimbunan Hijau sudah memasuki hutan perawan dan melanggar hak-hak tradisional masyarakat adat sebagai pemilik kawasan. Kasus dugaan pembalakan liar ini sempat masuk pengadilan. Melalui gencarnya pemberitaan positif oleh koran The National, media massa yang pro-Somare, kasus itu meredup, lalu menguap tanpa kelanjutan.
Metallurgical Corporation, yang diduga merusak lingkungan dengan membuang limbah berbahaya, juga lolos dari jerat hukum. Upaya banding penduduk Desa Mindere, Provinsi Madang, yang tempat hidupnya tercemar, ditolak Mahkamah Agung. "Mereka telah mengeruk alam kami. Pemerintah mendapat untung, tapi tidak bagi kami," kata Bustin, warga Mindere. Air minum sudah terkontaminasi. Penduduk sempat berharap memperoleh penghidupan lebih layak ketika perusahaan Cina itu beroperasi, tapi Metallurgical Corporation memilih mendatangkan pekerja dari negara asalnya. Penduduk lokal hanya mendapat jatah sebagai pekerja kasar.
Sementara itu, kekuatan ekonomi Amerika Serikat diwakili ExxonMobil. Perusahaan yang bergerak di bidang penambangan minyak dan gas ini akan berinvestasi US$ 16 miliar untuk pengembangan gas alam cair di Papua Nugini, yang akan mulai berproduksi pada 2014. Proyek ini diperkirakan bisa memproduksi 6,6 juta ton gas alam cair dan meningkatkan pendapatan domestik bruto 20 persen. ExxonMobil akan menggandeng perusahaan Australia, Santos.
O'Neill punya jasa besar kepada ExxonMobil. Dia berhasil menyelesaikan persoalan sengketa tanah—yang bakal dipakai ExxonMobil—di Provinsi Southern Highlands. Daerah tersebut memang dikenal sebagai tempat dengan potensi konflik tinggi di antara para kepala suku. O'Neill menjanjikan kemudahan kepada ExxonMobil melalui undang-undang tentang pertambangan.
Ia juga akan memojokkan perusahaan lawannya. Perusahaan pengolah kayu Rimbunan Hijau, yang diduga telah mencuri 5,2 juta hektare tanah di bawah rezim Somare, akan dibawa ke Komisi Penyelidikan Sewa Bisnis Pertanian. Metallurgical Corporation, yang semula dibiarkan membuang limbah beracun ke laut, juga terancam.
Pemerintah Australia jelas mendukung O'Neill. Perdana Menteri Julia Gillard menyatakan Papua Nugini merupakan rekan Australia, Oktober lalu, saat menerima kunjungan O'Neill. Australia pun segera mengirim polisi dan militer untuk ditempatkan di Papua Nugini—enam tahun lalu, Somare mengusir 150 polisi Australia dari negaranya.
Sedangkan Menteri Luar Negeri Australia Kevin Rudd, melalui akun Twitter-nya, menyatakan telah membahas krisis Papua Nugini dengan mantan Presiden Amerika Serikat Bill Clinton saat mengunjungi Washington. Dalam sambutannya pada konferensi pers singkat bersama, Rudd menekankan komitmennya mendorong diplomasi agresif pemerintah Obama di Asia-Pasifik untuk melemahkan pengaruh Cina.
BB, Eko Ari (TVNZ News, Sydney Morning Herald, Xinhua, Forestnetwork.com, Deutsche Presse Agentur,
www.goondiwindiargus.com.au)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo