Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mengenakan kaus putih dan ikat kepala merah, ribuan pengunjuk rasa memadati jalan-jalan utama Kota Yangon, Myanmar, Rabu pekan lalu. Mereka berkumpul di Pagoda Sule untuk menyuarakan dukungan terhadap perubahan konstitusi negara itu.
Para demonstran membentangkan spanduk bertulisan “#KamiInginPerubahan” dalam aksara Burma. Tulisan yang sama menempel pada kaus dan ikat kepala mereka. Sesekali mereka menyerukan yel-yel, “Istirahatlah, kediktatoran militer!”
Unjuk rasa tidak hanya diikuti kaum muda. Thein Tun, 73 tahun, dan istrinya, Khin Khin Win, terlihat berada di antara kerumunan massa demonstran. “Saya ingin mengubah semua bagian konstitusi yang mengganggu jalannya pemerintah saat ini,” katanya.
Mya Aye, pemimpin pro-demokrasi terkemuka di Myanmar, dalam orasinya di depan para demonstran mengatakan bahwa konstitusi 2008 perlu segera dirombak. “Kita tidak dapat menerima konstitusi ini karena tidak disusun oleh perwakilan rakyat,” ujarnya.
Ini unjuk rasa kedua dalam satu pekan yang menyuarakan perubahan konstitusi. Demonstrasi terjadi beberapa hari setelah parlemen menyetujui pembentukan komite amendemen konstitusi. “Kami berunjuk rasa untuk mendukung komite amendemen. Kami berada di pihak rakyat,” ucap Yin Htwe, salah satu penyelenggara demonstrasi.
Suhu politik di negeri itu menghangat sejak akhir Januari lalu setelah partai berkuasa, Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), mengusulkan pembentukan komite gabungan untuk merombak konstitusi. Partai besutan Aung San Suu Kyi itu menilai konstitusi 2008, yang digodok junta militer, menghambat jalannya demokratisasi di sana.
Konstitusi 2008 telah lama memicu kontroversi di negara berpenduduk 53 juta orang itu. Junta militer, yang berkuasa dengan tangan besi selama 1962-2011, menyusun konstitusi tersebut untuk mewadahi demokratisasi setelah mendapat tekanan internasional. Namun militer enggan melepas seluruh kekuasaan ke tangan sipil. Walhasil, demokrasi berjalan setengah hati.
Konstitusi itu mengatur pembagian kekuasaan yang ketat antara militer dan sipil. Aturan itu, antara lain, memastikan jatah kursi sebesar 25 persen untuk militer di parlemen nasional dan parlemen daerah. Militer otomatis menduduki kursi menteri dalam negeri, menteri perbatasan, dan menteri pertahanan—tiga pos kementerian paling vital di Myanmar. Militer juga berhak menempati satu dari tiga kursi wakil presiden.
Bagi Suu Kyi dan NLD, konstitusi 2008 adalah ganjalan besar. Aturan itu membatasi peluang Suu Kyi menjadi presiden padahal ia memimpin NLD memenangi pemilihan umum 2015. Konstitusi itu melarang siapa pun yang memiliki pasangan atau keturunan asing menjadi presiden. Suami Suu Kyi terdahulu, Michael Aris, dan kedua putranya adalah warga negara Inggris.
Ganjalan itu mendorong Suu Kyi dan NLD bermanuver dengan membentuk posisi Penasihat Negara, peran “di atas presiden” yang menjadikan Suu Kyi pemimpin de facto Myanmar. Perempuan 73 tahun itu juga menjabat menteri luar negeri.
Ye Htut, anggota parlemen NLD, mengatakan reformasi konstitusi adalah pilar utama kampanye NLD menjelang pemilihan umum 2015, yang mereka menangi secara telak dan mengantar para kadernya menguasai mayoritas kursi di parlemen. Tapi, dalam tiga tahun terakhir, NLD kesulitan mendorong amendemen karena enggan berhadapan dengan militer. “Ini janji pemilu,” katanya.
Keputusan NLD untuk merombak konstitusi juga datang ketika para pemimpin sipil dan militer Myanmar menuai kecaman internasional atas tragedi Rohingya. Tindakan keras tentara terhadap etnis minoritas muslim Rohingya pada 2017 telah menyebabkan 730 ribu orang mengungsi ke Bangladesh dan memicu krisis kemanusiaan. Suu Kyi bungkam selama beberapa bulan dan hingga kini tak pernah mengeluarkan pernyataan yang mengkritik aksi militer tersebut.
Dengan pemilihan umum 2020 yang terus mendekat, NLD tidak memiliki banyak pilihan selain mendorong amendemen jika ingin terus menggenggam dukungan rakyat. Untungnya, dalam pemungutan suara pertama tentang usul pembentukan komite amendemen, NLD sukses menggamit dukungan mayoritas anggota parlemen. Para legislator dari militer, yang berseragam hijau, bangkit dari kursi dan sempat berdiri diam selama beberapa menit sebagai tanda tidak setuju.
Militer rupanya berkukuh dengan penolakannya hingga parlemen mengesahkan pembentukan komite amendemen pada 19 Februari lalu. Komite berisi 45 anggota lintas partai tersebut bertugas menyusun rancangan undang-undang untuk mengubah konstitusi 2008. Komite dijadwalkan menyerahkan rancangan konstitusi ke parlemen pada 17 Juli mendatang.
Brigadir Jenderal Than Soe, satu dari delapan anggota komite dari tentara, mengatakan fraksi militer akan terus berupaya mengganjal perubahan konstitusi. Namun upaya ini tidak mudah karena NLD mendapat jatah 18 kursi di komite: dua kursi masing-masing untuk Partai Persatuan Solidaritas dan Pembangunan (USDP) dan Partai Nasional Arakan serta Partai Liga Nasional Shan untuk Demokrasi (SNLD). Sedangkan sisanya untuk partai-partai etnis lain.
Juru bicara militer, Mayor Jenderal Tun Tun Nyi, mengatakan NLD telah menggunakan “prosedur yang salah” untuk merevisi konstitusi 2008. “Membentuk komite gabungan untuk mengubah konstitusi justru tidak sejalan dengan konstitusi,” ucapnya.
Dengan menguasai seperempat kursi parlemen, militer sangat mungkin menghadang manuver NLD. Berdasarkan konstitusi, perubahan apa pun terhadap dasar negara membutuhkan persetujuan lebih dari 75 persen anggota parlemen. Ketentuan ini memberikan veto yang efektif kepada tentara. Artinya, perubahan hanya dapat terjadi jika NLD sukses melobi fraksi militer.
NLD belum mengungkapkan pasal mana saja yang bakal dirombak. Tapi pada 2014, saat mengumumkan manifesto politiknya menjelang pemilihan umum, NLD menerbitkan daftar perubahan pasal dalam konstitusi. Mereka mengusulkan revisi terhadap 168 dari 457 pasal. Belakangan, beberapa kader NLD menyerukan revisi pasal 436, yang memberikan veto kepada militer atas amendemen konstitusi, dan pasal 432, yang melindungi para mantan jenderal dari tuntutan hukum.
NLD tak pelak bakal melalui jalan terjal. Apalagi pemimpin militer Myanmar, Jenderal Senior Min Aung Hlaing, telah mewanti-wanti mereka. “Pada prinsipnya kami setuju dengan gagasan amendemen konstitusi. Tapi poin pentingnya adalah bahwa amendemen tidak boleh merusak esensi konstitusi,” tuturnya kepada kantor berita Jepang, Asahi Shimbun.
Mantan presiden negara itu, pensiunan Jenderal Thein Sein, yang tak muncul di publik dalam empat tahun terakhir, juga angkat suara. Pria 73 tahun yang dulu berkuasa lewat partai pro-militer USDP ini mengatakan konstitusi 2008 disusun dalam waktu hampir 16 tahun dan melibatkan lebih dari seribu pakar hukum. “Jika (konstitusi) benar-benar akan direvisi, anggota parlemen tidak bisa melakukannya sendiri. Berapa banyak dari mereka pakar hukum?” ujarnya.
Bagi Suu Kyi dan NLD, keberhasilan merombak konstitusi bakal mempengaruhi- peluang mereka kembali memenangi pemilu. Apalagi partai-partai baru mulai muncul dan bakal menantang Suu Kyi dan NLD, yang pemerintahan sipilnya dianggap lemah dalam meredam sejumlah konflik etnis dan mengatasi perlambatan ekonomi.
Beberapa pentolan NLD mulai resah dan mengeluhkan kinerja partai dalam pemilihan umum sela November tahun lalu. Saat itu, NLD hanya memenangi 7 dari 13 kursi parlemen. Sisanya direbut partai lokal dan partai yang berafiliasi dengan tentara. “Partai-partai etnis telah bersekutu dan bersiap. Kami tidak bisa hanya bergantung pada partai untuk merebut kepercayaan rakyat,” kata Dashi La Seng, legislator NLD dari Kachin, negara bagian tempat partainya kehilangan kursi.
MAHARDIKA SATRIA HADI (THE IRRAWADDY, REUTERS, MIZZIMA, EURONEWS)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo