Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MILITER Amerika Serikat dan Inggris mengirim pesawat tempur, kapal perang, dan kapal selam ke hampir 30 lokasi di Yaman untuk meredam perlawanan kelompok pemberontak Houthi pada Jumat dinihari, 12 Januari 2024. Hal ini dilakukan sebagai tanggapan atas serangan milisi Houthi terhadap kapal-kapal komersial di perairan Laut Merah. Tindakan Amerika ini didukung Australia, Kanada, Belanda, dan Bahrain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Serangan ini merupakan pesan yang jelas bahwa Amerika Serikat dan mitra kami tidak akan menenggang serangan terhadap personel kami atau membiarkan pihak yang bermusuhan membahayakan kebebasan navigasi,” kata Presiden Amerika Serikat Joe Biden dalam pernyataan Gedung Putih. Biden menyatakan dia tidak akan ragu mengambil langkah-langkah lebih lanjut jika diperlukan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Amerika menyatakan milisi Houthi telah menyerang 27 kapal komersial di perairan internasional Laut Merah sejak 17 Oktober 2023. Houthi juga membajak kapal lebih dari 20 negara dan menyandera awaknya. Lebih dari 2.000 kapal juga terpaksa berbelok ribuan kilometer untuk menghindari perairan itu, yang menyebabkan pengiriman produk tertunda selama berminggu-minggu.
Serangan Houthi kali ini berkaitan dengan perang Hamas-Israel di Jalur Gaza. Kelompok ini mengancam akan menyerang Israel dan tidak akan mengizinkan kapal-kapal yang berhubungan dengan Israel melewati perairan Laut Merah dan Selat Bab el-Mandeb sampai operasi militer Israel di Gaza dihentikan.
Dalam sidang Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 12 Januari 2024, Vasily Alekseyevich, Wakil Tetap Rusia di PBB, menyatakan bahwa perang di Gaza telah merembet ke Laut Merah dan serangan besar-besaran yang dilakukan Amerika dan Inggris “tidak ada hubungannya” dengan hak untuk membela diri. “Tindakan koalisi itu melanggar Piagam PBB,” ujarnya. “Jika eskalasi terus berlanjut, kawasan Timur Tengah bisa menghadapi bencana.”
Amerika Serikat
SAP Terlibat Kasus Suap Indonesia
Logo perusahaan software SAP di Davos, Swiss, Januari 2020. REUTERS/Arnd Wiegmann/File Photo
SAP SE, perusahaan perangkat lunak global yang berbasis di Jerman, harus membayar lebih dari US$ 220 juta atau hampir Rp 3,5 triliun dalam kasus korupsi di Afrika Selatan dan Indonesia. Putusan itu dikeluarkan Kejaksaan Amerika Serikat yang berkoordinasi dengan pihak berwenang di Afrika Selatan pada 10 Januari 2024. Badan Penyelidik Federal (FBI) sedang menyelidiki kasus ini.
Pembayaran itu bagian dari perjanjian SAP dan Departemen Kehakiman untuk menangguhkan penuntutan selama tiga tahun. “SAP memberikan suap kepada pejabat di badan usaha milik negara di Afrika Selatan dan Indonesia untuk mendapatkan bisnis pemerintah yang berharga,” kata penjabat Asisten Jaksa Agung, Nicole M. Argentieri, dalam siaran pers Kantor Kejaksaan.
“Kasus ini menunjukkan bukan hanya pentingnya upaya internasional yang terkoordinasi untuk memberantas korupsi, tapi juga bagaimana kebijakan penegakan hukum korporasi kita memberikan insentif kepada perusahaan untuk menjadi korporasi yang baik dengan bekerja sama dalam penyelidikan dan melakukan remediasi yang tepat sehingga kami dapat mengambil tindakan tegas untuk mengatasi pelanggaran.”
SAP dan agen-agennya telah menyuap dalam bentuk uang tunai, kontribusi politik, dan transfer elektronik beserta barang-barang mewah yang dibeli selama pelancongan. Selama 2015-2018, SAP diduga menyuap pejabat Indonesia guna mendapatkan keuntungan bisnis yang tidak pantas dari kontrak pemerintah Indonesia, termasuk Kementerian Kelautan dan Perikanan serta Balai Penyedia dan Pengelola Pembiayaan Telekomunikasi dan Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel pertama terbit di bawah judul "Militer Amerika Serikat Serang Houthi"