Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Di malam hari pada pukul 6, Diponegoro meletakkan sebilah keris yang cantik dan mahal di tangan saya dan mengucapkan kata-kata: ‘Lihatlah pusaka dari ayah saya yang sekarang telah menjadi sahabat Allah; keris ini adalah pusaka yang umurnya sudah beratus-ratus tahun lamanya….’”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI ATAS korvet Belanda bernama Pollux yang membawa Pangeran Diponegoro dari Batavia ke Manado pada Kamis, 27 Mei 1830, Letnan Dua Julius Heinrich Knoerle menuliskan kalimat di atas. Lelaki asal Prusia itu adalah perwira Belanda yang bertugas mendampingi Diponegoro. Ia adalah “intelijen” yang bertugas mengorek informasi dari Diponegoro mengenai segala hal tentang Perang Jawa dan melaporkannya kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda Johannes van den Bosch.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Knoerle mencatat semua gerak-gerik, kondisi, dan obrolan Diponegoro selama 78 hari perjalanan laut dari ruang kamar (kabin) Diponegoro sampai tatkala Diponegoro muncul ke dek atau geladak kapal. Dari catatannya itu diinformasikan satu-satunya pusaka yang dibawa Diponegoro dalam perjalanan pembuangannya itu adalah Kiai Bondoyudo.
Kiai Bondoyudo menjadi salah satu titik refleksi Sardono W. Kusumo tatkala memperingati kematian Diponegoro di Masdon Art Center, Kemlayan, Solo, Jawa Tengah, 6-8 Januari 2024. Tak banyak yang ingat akan kematian Diponegoro. Sang Pangeran wafat pada 8 Januari 1855 di Makassar. Ia berwasiat agar dikubur bersama keris Bondoyudo, jimat utamanya yang selalu dibawa ke mana-mana. Bagi Sardono, itu simbol bahwa Diponegoro tidak mengejar kekuasaan. Perjuangannya murni spiritual. Keris itu tidak diberikan Diponegoro kepada anak-anak, keturunan, atau kerabatnya untuk menagih janji kekuasaan, jabatan, atau apa pun.
Malam itu Sardono menjelma menjadi Diponegoro yang sakit-sakitan, letih, berubah-ubah pikiran selama perjalanan laut dari Batavia menuju pembuangannya di Manado. Suasana Masdon Art syahdu karena hujan, membuat pentas sederhana ini kuat. Sardono, yang pada Maret nanti berumur 79 tahun, menggunakan kain putih berlapis. Rambut panjangnya tergerai. Kumis dan cambangnya yang hitam kontras dengan belitan rangkap jubah dan kain putihnya. Ia lebih mirip sosok musafir spiritual atau sanyasin India dalam kisah-kisah perziarahan.
Dua sutradara teater, Hanindawan dari Teater Gidag Gidig, Solo, dan Rahman Sabur dari Teater Payung Hitam, Bandung, bergantian membacakan catatan harian Julius Heinrich Knoerle. Tidak semua tentu karena catatan Knoerle yang diterjemahkan Peter Carey itu sangat panjang. Kedua teaterawan itu membaca dengan intonasi yang jelas dan pas. Mereka mampu menciptakan suasana. Kita seolah-olah bisa membayangkan Diponegoro hilir-mudik dari kabin ke geladak. Kita bisa membayangkan siapa-siapa yang ikut dalam rombongan Diponegoro sampai hal kecil seperti persediaan sirih Diponegoro dan anggur putih.
Sardono W. Kusumo (kanan) saat pementasan "Wasiat Diponegoro" di Masdon Art Center, Kemlayan, Solo, Jawa Tengah, 7 Januari 2024. Eko Crozher & David Fajar
Background panggung ditutupi tafsir dan replika atas lukisan Raden Saleh, Flood of Java (Banjir Bandang di Jawa), dan lukisan Eugène Delacroix, Christ on the Sea of Galilee, yang dikerjakan komunitas mural Solo. Lukisan replika Raden Saleh memperlihatkan Jawa tenggelam. Sekelompok orang berebut meraih bubungan rumah yang atapnya masih belum terkena air, sementara air terus mengejar. Situasi sangat dramatis meski mungkin mengingatkan pada lukisan The Raft of the Medusa (Rakit Medusa) karya Théodore Géricault. “Lukisan ini kritik Raden Saleh atas Jawa yang dikuasai Belanda. Metafora banjir penderitaan yang seperti air bah menyapu Pulau Jawa,” kata Sardono. Adapun lukisan Delacroix juga tentang samudra dan ombak ganas. “Delacroix termasuk pelukis yang dikagumi Raden Saleh. Tema badai saat itu sangat disukai di Eropa,” ucap Sardono.
Replika lukisan Delacroix itu menampilkan gambar sebuah kapal yang ditumpangi Yesus dengan murid-muridnya yang takut dihantam badai. Delacroix membuat beberapa versi atas tema ini. “Lihat, Yesus tampak berusaha tenang tapi murid-muridnya panik,” tutur Sardono sembari menunjuk gambar. Yesus dipercaya murid-muridnya mampu membuat mukjizat menaklukkan ombak liar. Menurut Sardono, ada satu sosok di gambar itu yang tidak takut. Ia adalah juru sampan dari Afrika. “Lihat, dia berdiri dan melambai-lambaikan tangannya ke kapal-kapal lain yang dekat,” ujar Sardono. Dua lukisan yang berlatar air ini dibuat menyatu sebagai latar belakang pembacaan Diponegoro mengarungi lautan.
Pertunjukan dibuka oleh penari dan koreografer Eko Supriyanto. Ia muncul dari balik peti yang mengasosiasikan sebuah kapal. Ia menjadi Diponegoro muda. Eko naik ke atas peti lalu melakukan gerak-gerak bertenaga. Sardono dengan belitan kain-kain putih menjadi sosok Ratu Adil. “Diponegoro mendapat semacam visi. Ratu Adil memanggilnya ke bukit, memintanya memimpin Perang Jawa. Diponegoro mulanya menolak, karena ia takut pada darah dan melihat kematian,” tutur Sardono. Eko menari dengan gerakan di atas semacam wajan besar—alat yang beberapa tahun terakhir sering digunakan Sardono dalam pementasannya, seperti saat di Singapura pada 2016. Tubuh Eko mencari keseimbangan.
Peni Candra Rini menyanyikan tembang mengiringi gerakan Eko. “Ini tembang dandanggula yang diambil dari catatan harian Diponegoro yang ditulis selama sembilan bulan di Manado. Tembang ini khusus bagian datangnya Ratu Adil,” kata Sardono. Menurut Sardono, Diponegoro akhirnya pasrah terhadap titah Ratu Adil. Di panggung, Sardono sebagai Ratu Adil lalu memberikan jubah putih kepada Eko. Ia mengenakannya ke tubuh Eko. Adegan ini menarik. Baru kemudian dilakukan pembacaan catatan Letnan Dua Julius Heinrich Knoerle yang merupakan inti pertunjukan. Musik elektronik yang ditata komponis Otto Sidharta mulai membaurkan lengkingan suara kapal, derap kaki kuda, dan ringkikan kuda dengan bunyi-bunyian lain.
Hanya dengan kata-kata, tanpa diperagakan secara teatrikal atau diberi bantuan video, intonasi Hanindawan dan Rahman Sabur mampu membawa atau menggiring imajinasi kita ke kapal. Kita bisa membayangkan bagaimana Diponegoro berteriak-teriak khawatir karena melihat awan badai tebal dan mengusulkan kapal membuang sauh. Kita juga bisa membayangkan betapa ia berapi-api saat mengatakan orang Eropa sama sekali tidak memiliki perasaan keagamaan. Kita juga bisa membayangkan betapa gusarnya Sang Pangeran saat melihat hukuman-hukuman kekerasan diterapkan terhadap anak buah kapal. Mayat-mayat dibuang ke laut. Ia heran melihat betapa mudahnya hukuman ditimpakan tanpa ada bukti yang kuat.
Eko Supriyanto saat pementasan "Wasiat Diponegoro" di Masdon Art Center, Kemlayan, Solo, Jawa Tengah, 7 Januari 2024. Eko Crozher & David Fajar
Malam itu, kita terutama bisa membayangkan kondisi fisik Diponegoro yang merosot. Diponegoro mengeluh sakit. Ia berkali-kali mengalami demam tinggi. “Saya bayangkan Diponegoro muntah terus-menerus. Tubuhnya lemah. Apalagi saat ia terkena malaria,” ujar Sardono. Untuk menghindari mual-mual, Diponegoro hanya makan ubi-ubian dan minum air beras kencur serta anggur putih agar daya tahan tubuhnya pulih.
Pada Selasa, 11 Mei 1830, Knoerle menulis:
“…Diponegoro berbicara tentang bantuan yang akan diberikan oleh Yang Maha Kuasa kepadanya dan bahwa dia siap untuk mati. Raden Ayu Retnoningsih pun menangis di kakinya. Saya meninggalkan Diponegoro yang sudah makin kurus dan ceking dalam waktu empat atau lima hari terakhir pada sekitar pukul 7.30 malam….”
Di tengah kata-kata yang mengisyaratkan penderitaan, kegundahan batin, serta pengalaman-pengalaman Diponegoro melihat kematian sepanjang perjalanan di kapal yang diucapkan oleh Hanindawan dan Rahman Sabur, Sardono menggeliat memberikan aksentuasi-aksentuasi. Ia memain-mainkan kain putihnya. Ia mengerudungkan kain putih menutupi kepalanya. Ia merunduk dan bergulung lembut di lantai dengan wajah tertutup, juga merebahkan diri dan seperti terninabobokan di “wajan besar”. Bagian terpenting dalam pembacaan itu adalah kalimat yang berkaitan dengan kekuasaan, apakah Diponegoro memang berniat menggulingkan sultan muda yang sah, Hamengku Buwono V.
“Diponegoro mengatakan kepada saya bahwa dia kini berumur 44 tahun dan bahwa dia merasakan panggilan untuk menjadi otoritas Islam tertinggi di Jawa, tapi tidak pernah mengincar gelar Sultan Yogyakarta, sambil mengatakan sudah ada keturunan penguasa yang sah yang menduduki takhta ini dan tidak pernah terlintas dalam pikirannya untuk menggulingkan Sultan Yogyakarta yang masih muda dengan bertindak curang melawan patokan-patokan Sang Nabi.…”
Kalimat ini seolah-olah ingin menekankan bahwa motivasi perang yang dilakukan Diponegoro adalah semata-mata membebaskan masyarakat Jawa, sama sekali tidak berlatar ambisi kekuasaan. Motivasinya adalah spiritual. Berkali-kali kepada Knoerle ia mengutarakan harapan agar pemerintah Belanda mengizinkan dan membiayainya ke Mekah. Diponegoro memiliki kerinduan yang teramat besar untuk pergi ke Mekah. Pertunjukan selama tiga hari yang per hari berlangsung hampir dua jam itu tidak membosankan. Tapi mungkin lebih baik apabila yang dibacakan dari satu hari ke hari lain berbeda sehingga semua catatan harian Knoerle utuh disampaikan. Knoerle sendiri, seperti ditulis Peter Carey, setelah tugas tersebut menjabat Asisten Residen Bengkulu dan pada 1833 secara tragis tewas ditebas di Bengkulu dalam salah satu perjalanan inspeksinya.
Pada akhir pertunjukan, Sardono membujur. Mukanya menengadah. Matanya terpejam. Jenggot hitamnya terurai tak tertutupi kain putih yang digunakannya. Rambut panjangnya tergerai di samping. Sepintas posisi tubuhnya mirip variasi lukisan The Body of the Dead Christ in the Tomb karya Hans Holbein, meski dalam karya itu Sang Kristus ditampilkan bertelanjang dada. Kita tahu, sesudah diasingkan di Manado, Diponegoro dipindahkan ke Makassar. Di Makassar dia berwasiat, bila wafat, ia meminta dikuburkan bersama keris Bondoyudo—keris yang menjadi pegangan utamanya. Sardono di akhir bergumam tentang wasiat itu, tentang Diponegoro yang menolak sebuah dinasti. “Kewahyuan tidak serta-merta terwariskan…,” tuturnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Sardono, Perjalanan Laut Diponegoro, dan Wasiat Bondoyudo"