Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

internasional

Pita Hitam untuk Si Peniup Pluit

Dokter yang pertama kali memperingatkan ancaman wabah virus corona di Wuhan wafat. Pemerintah menahan isu corona mencuat lebih awal.

15 Februari 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Dokter pertama yang memperingatkan soal wabah virus corona di Wuhan meninggal karena virus itu.

  • Perkabungan terjadi di Wuhan dan kota-kota lain di dunia.

  • Pemerintah menahan isu corona mencuat menjelang Kongres Rakyat tahunan.

“DOKTER mata di rumah sakit kita, Li Wenliang, telah terinfeksi virus corona selama bekerja dalam melawan wabah virus itu. Dia meninggal pada 7 Februari 2020 pukul 02.58 setelah usaha untuk menyadarkannya dari pingsan gagal,” demikian pengumuman Rumah Sakit Pusat Wuhan, pusat penanganan wabah di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Cina, pada hari yang sama.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Li adalah orang pertama yang memperingatkan penyebaran virus “seperti sindrom pernapasan akut (SARS)” di kota itu. Tak ada yang keliru dari informasi itu, tapi para pejabat kota meremehkan ancaman wabah dan risikonya terhadap masyarakat. Belakangan, Badan Kesehatan Dunia (WHO) memberikan nama resmi untuk virus itu: covid-19—akronim dari coronavirus disease 2019.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wuhan, kota pusat wabah virus itu, telah ditutup selama dua pekan, tapi orang-orang tetap mengungkapkan kehilangan mereka atas Li dengan berbagai cara. Sebagian memanggil namanya dari gedung-gedung apartemen tinggi. Sebagian turun ke jalan dan meniup peluit, simbol Li sebagai “si peniup peluit”. Sebagian mengendarai mobil pelan-pelan sambil menghidupkan lampu hazard di jalanan yang sunyi.

Kabar duka itu dengan cepat menyebar hingga ke Kota New York, Amerika Serikat. Mei Qiqi, mahasiswa Columbia University, menangis dan segera mengganti avatar akun WeChat-nya dengan pita hitam. Dia kemudian memutuskan menggelar upacara berkabung di Central Park, Ahad, 9 Februari lalu. “Berkabung juga sebuah aksi,” kata gadis yang dibesarkan di Chongqing, Cina, itu kepada The New Yorker.

Sejumlah orang menyambut undangan Qiqi dan datang ke taman kota itu. Mereka berbicara tentang Li atau mempersembahkan puisi untuk sang dokter. Ada pula yang membacakan pesan orang-orang yang tak bisa hadir di sana. “Selamat jalan, dokter Li. Selanjutnya, saya akan menyampaikan kebenaran untuk menghormatimu,” demikian bunyi salah satu pesan.

Li Wenliang, di Wuhan, Cina, 3 Februari 2020./ LI WENLIANG/GAN EN FUND via REUTERS

Ini perkabungan pertama dari serangkaian acara serupa di luar Cina. Acara lain berlangsung di Los Angeles, San Francisco, dan Boston di Amerika Serikat serta di Melbourne, Australia, dan di Berlin, Jerman.

Dokter Li Wenliang membunyikan alarm bahaya virus itu pada 30 Desember 2019 melalui grup alumnus sekolah kedokterannya di aplikasi pesan WeChat. Pria 34 tahun ini mengabarkan bahwa ada tujuh pasien dari pasar ikan lokal yang didiagnosis sakit misterius semacam SARS. “(Mereka) dikarantina di ruang gawat darurat,” tulis Li.

Polisi menuduh Li telah menyebar rumor. Dalam surat bertanggal 3 Januari 2020, polisi menyatakan Li mengganggu ketertiban sosial melalui pesan WeChat. Dia diminta menandatangani surat perjanjian menghentikan kegiatan yang dinilai ilegal itu bila tak mau dikenai dakwaan pidana.

Beberapa hari setelah dipanggil polisi, Li merawat seorang pasien yang semula sakit glaukoma tapi kemudian demam. Pemindaian terhadap paru-parunya menunjukkan adanya pneumonia viral atau pneumonia yang disebabkan oleh virus. Pada 12 Januari, saat merasa tak sehat dan diduga telah tertular virus, Li masuk kamar isolasi. Dia dinyatakan positif tertular virus corona pada 30 Januari. Sepekan kemudian, dia wafat dengan meninggalkan seorang anak dan istri yang sedang hamil.

Polisi dikabarkan juga menahan delapan orang yang dinilai menyebarkan informasi keliru di Internet tanpa verifikasi. Namun, menurut Hu Xijin, pemimpin redaksi media pemerintah Cina, Global Times, mereka tidak ditahan seperti kabar yang beredar. Hu telah bertemu dengan delapan orang itu. Menurut Hu, mereka menyebut penyakit tersebut SARS meski bukan profesional di bidangnya.

Menurut New York Post, dua dokter lain mengaku dipaksa tutup mulut oleh polisi setelah menyebarkan dugaan wabah virus itu. Liu Wen dari Rumah Sakit Masyarakat Palang Merah Wuhan memperingatkan para perawat di grup WeChat pada 30 Desember 2019 agar tidak ke pasar Wuhan. Xie Linka, yang bekerja di Rumah Sakit Persatuan Wuhan, mendiskusikan soal wabah tersebut di grup WeChat. Keduanya dipanggil polisi dan diminta menandatangani pernyataan tidak menyebarkan informasi semacam itu.

Berdasarkan wawancara dua lusin narasumber yang meliputi penduduk, dokter, dan pejabat Wuhan, juga bersandarkan pada laporan media Cina, The Straits Times menyimpulkan bahwa pemerintah kota itu sengaja menunda pengumuman selama tujuh pekan awal masa krusial wabah. Dalam periode ini, pemerintah membungkam dokter dan pihak lain yang ingin memberikan peringatan bagi 11 juta penduduk kota itu. Mereka menutup pasar tempat virus diduga muncul pertama kali, tapi mengumumkan bahwa hal itu dilakukan untuk renovasi.

Pemerintah daerah enggan mengumumkan wabah, menurut The Straits Times, diduga karena motif politik pejabat setempat yang sedang mempersiapkan Kongres Rakyat—pertemuan tahunan lembaga legislatif yang dikendalikan Partai Komunis Cina—pada Januari 2020. Karena tidak segera memperingatkan masyarakat dan petugas medis, ahli kesehatan masyarakat menilai pemerintah kehilangan kesempatan terbaik untuk mencegah wabah menyebar.

“Ini soal tidak bertindak,” ucap Yanzhong Huang, profesor sekolah diplomasi dan hubungan internasional yang juga Direktur Center for Global Health Studies di Seton Hall University, New Jersey, Amerika Serikat. “Tak ada tindakan dari dinas kesehatan Wuhan untuk memperingatkan masyarakat,” tutur pakar Cina itu.

Ketika pemerintah mengumumkan secara resmi wabah virus corona pada 20 Januari lalu, virus telah menyebar luas. Hingga Jumat, 14 Februari lalu, sebanyak 63.937 orang terkonfirmasi terjangkit virus, 6.799 sembuh, dan 1.381 meninggal di Cina. Di Provinsi Hubei saja, sebanyak 51.986 orang positif terkena virus dan 1.318 orang meninggal. Adapun di luar Cina, 505 orang dipastikan tertular virus, 62 sembuh, dan 2 meninggal.

Sejak Kamis, 13 Februari lalu, pemerintah Hubei mengubah metode penghitungan jumlah korban. Provinsi itu kini juga memasukkan kasus yang “didiagnosis secara klinis” sebagai kasus “terkonfirmasi terjangkit virus”. Dengan kata lain, orang yang baru menunjukkan gejala serupa dan pemindaian menunjukkan paru-parunya terinfeksi akan langsung dimasukkan ke kelompok orang terjangkit virus tanpa menunggu hasil uji standar asam nukleat seperti sebelumnya. Akibatnya, terjadi lonjakan angka penderita. Dalam 24 jam, sekitar 15 ribu orang di Hubei langsung dinyatakan terjangkit virus.

Kekacauan ini mendorong pemerintah bertindak. Sekretaris Partai Komunis Cina Provinsi Hubei Jiang Chaoliang dicopot dari jabatannya pada 13 Februari lalu dan diganti dengan Ying Yong, sekutu dekat Presiden Cina Xi Jinping. Pemimpin Partai Komunis di Wuhan, Ma Guoqiang, juga kehilangan jabatan. Zhang Jin, Sekretaris Komisi Kesehatan Partai di Hubei, dan Liu Yingzi, Direktur Komisi Kesehatan, turut digusur.

Iwan Kurniawan (BBC, Xinhua, The Guardian)

Korban Pasien Covid-19

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus