Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Ada dua usul pengaturan hubungan platform digital dan media.
Perbedaan termasuk tentang perlu-tidaknya membentuk badan baru sebagai pelaksananya.
Dewan Pers mengedepankan terwujudnya jurnalisme berkualitas.
SEJAK Internet menjadi platform baru dalam penyebaran informasi, ada relasi timpang antara kantor berita dan perusahaan platform digital semacam Google atau Facebook. Mereka membutuhkan berita, tapi memakai mesin algoritma untuk memilih berita apa saja yang menjangkau publik. Dengan kuasa seperti itu, perusahaan digital menguasai 80 persen kue iklan. Perusahaan media yang bekerja keras membuat berita berebut sisa-sisanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Independensi media pun terancam. Tak hanya bisnisnya akan tergerus, perusahaan digital bakal menjadi pengendali informasi. Para wartawan mau tak mau harus menyesuaikan cara membuat berita dengan mesin algoritma perusahaan digital agar berita mereka menjangkau publik yang luas. Tanpa mengikuti rumus mereka, berita yang penting dan relevan akan tersuruk di sudut maya entah di mana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketimpangan itu mendorong Dewan Pers membentuk Kelompok Kerja Keberlanjutan Media pada 2020. Tujuannya mencari model hubungan yang saling menguntungkan antara media dan perusahaan platform digital untuk menjaga mutu jurnalisme. Presiden Joko Widodo, dalam peringatan Hari Pers Nasional di Medan, Kamis, 9 Februari lalu, meminta Dewan Pers menyodorkan konsep keberlanjutan media dalam waktu satu bulan untuk dijadikan peraturan presiden.
Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu mengatakan ada dua draf usulan rancangan peraturan presiden tentang keberlanjutan media. Satu draf dibuat Kelompok Kerja Keberlanjutan Media dan lainnya oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika. Meski tujuannya sama, keduanya menyodorkan konsep berbeda.
Peraturan presiden itu kelak mengatur wilayah bisnis media dan platform digital. Namun, Ninik mengingatkan, jurnalisme dan bisnis tak bisa dipisahkan. Apa saja yang akan diatur dalam rancangan itu? Tidakkah regulasi ini membuka pintu bagi pemerintah untuk mengintervensi independensi media? Wartawan Tempo Abdul Manan menemui Ninik pada Jumat, 17 Februari lalu.
Apa isi peraturan presiden tentang keberlanjutan media itu?
Mengenai tanggung jawab perusahaan platform digital untuk jurnalisme berkualitas. Dewan Pers memiliki komitmen mengatur keseimbangan dan keadilan antara platform dan media. Tujuan akhirnya adalah jurnalisme yang berkualitas. Jadi domainnya menegakkan Undang-Undang Pers. Tujuan undang-undang itu kan dua: menjaga kemerdekaan pers dan menumbuhkan pers nasional. Menumbuhkan pers nasional itu dalam semua ekosistem, baik sosial, politik, budaya, maupun ekonomi.
Mengapa Dewan Pers membuat kelompok kerja?
Selama ini Dewan Pers lebih melihat konten, medianya tersertifikasi atau belum, apakah sudah bekerja secara profesional, perusahaannya sehat atau tidak. Dewan Pers punya kewenangan melihat apakah karya jurnalistik juga memiliki kredibilitas. Tapi, ketika produk jurnalistik masuk ke ruang publik, platform digital mengkapitalisasinya tanpa reward yang memadai. Sedangkan dari algoritma mereka mendulang keuntungan. Media tak bisa profesional kalau terus-menerus dilindas seperti ini. Media-media nasional yang besar mungkin memiliki kemampuan bernegosiasi dengan platform. Bagaimana dengan media-media lain? Sekarang jumlah media siber 40 ribu meskipun yang terdaftar tidak lebih dari 1.700. Ini pekerjaan rumah Dewan Pers, yakni menjaga perusahaan pers profesional dan redaksi tetap kredibel serta menjadikan hubungan mereka setara dengan platform.
Mengapa bentuk aturannya berupa peraturan presiden?
Pada awalnya kami ingin legislasi berupa undang-undang. Tapi koridornya tetap Undang-Undang Pers. Sebab, tidak bisa perusahaannya saja yang sehat dan profesional. Daya lenting redaksi tidak bisa ditinggalkan. Maka acuannya bukan hanya business-to-business, tapi menjaga karya jurnalistik berpegang pada kode etik. Itu ada di Undang-Undang Pers yang rumahnya di Dewan Pers. Presiden ingin regulasi selesai satu bulan. Kalau membuat undang-undang kan lama, sementara kebutuhan di depan mata. Maka peraturan presiden adalah langkah awal menuntaskan pengaturan keberlanjutan media ini.
Bukankah dengan begitu bisa jadi pintu masuk pemerintah ikut campur urusan pers?
Jawabannya, ya, harus di Dewan Pers. Jangan sampai hadirnya mekanisme baru soal algoritma atau keberlanjutan media ini tidak membuat iklim pers lebih kondusif. Tugas media itu banyak sekali: meningkatkan intelektual publik, memberikan informasi, melakukan kontrol sosial. Bayangkan kalau nanti tugas itu diintervensi atas nama bisnis.
Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu di Jakarta, 15 Februari 2023. Tempo/Hilman Fathurrahman W
Omong-omong, mengapa keberlanjutan media ini perlu diatur?
Semua yang menjadi karya jurnalistik, termasuk yang didistribusikan oleh platform digital, harus berpegang teguh pada kode etik jurnalistik dan tidak merusak tatanan berbangsa kita. Media itu pilar demokrasi. Platform digital harus menghormati itu. Jadi kita tidak bisa diatur platform. Platform yang diatur oleh regulasi kita. Soal pemberitaan, tidak bisa tidak, ia mengikuti kebutuhan platform. Tinggal bagaimana mengatur relasinya supaya seimbang.
Apa yang diinginkan Dewan Pers dalam regulasi itu?
Kami ingin seperti yang dihasilkan Kelompok Kerja. Itu hasil konsultasi dengan konstituen. Dalam perkembangannya, ada beberapa perubahan. Kami akomodasi yang kami anggap relevan dalam memperbaiki konsep ini, termasuk draf pemerintah. Setelah berkonsultasi dengan konstituen, kami memutuskan menyusun draf sendiri. Draf ini nanti menyandingkan hasil Kelompok Kerja tahun 2021 dan draf pemerintah.
Apa hal krusial dalam draf tersebut?
Soal detail seperti pembagian hasil (revenue sharing) antara media dan platform digital. Detail perjanjian itu cukup dengan prosedur operasi standar (SOP) karena akan mudah berganti. Dalam penyelesaian sebuah kasus ada dua model: mediasi dan konsiliasi. Pendekatan dalam dunia bisnis tidak bisa dengan pendekatan sanksi. Mereka lebih senang dengan arbitrase, mediasi, atau konsiliasi.
Apa catatan penting Anda atas draf itu?
Mari kita letakkan persoalan pers yang terkait dengan bisnis ini di bawah Undang-Undang Pers. Poin besarnya itu. Jangan dibawa ke dalam kewenangan pemerintah. Sebab, akan mereduksi kerja pers yang terus kami dorong agar independen. Jadi rujukannya juga tetap kode etik dalam Undang-Undang Pers. Kalau tidak mengacu pada Undang-Undang Pers, nanti ada berita yang penting bagi publik tidak tayang karena ada urusan bisnis.
Itu jika wewenang pengaturannya bukan di Dewan Pers?
Ya. Itu fatal. Janganlah karena urusan uang daya lenting redaksi terpengaruh. Kami meminta teman-teman wartawan jangan mencari iklan. Pencari iklan biar bagian bisnis.
Keinginan Dewan Pers seperti apa?
Kami yang membentuk badan pelaksana keberlanjutan media ini. Undang-Undang Pers menyebutkan tugas soal pendataan, pendidikan, dan lain-lain. Kami bisa memasukkannya di antara itu. Jadi kami enggak akan keluar dari kewenangan. Dalam setiap proses legislasi selalu ada dinamika. Apakah nanti perlu perubahan undang-undang kalau, misalnya, peraturan presiden tidak cukup mengakomodasi. Peraturan presiden itu ada batas kewenangan dan jangka waktunya. Sepemahaman saya, kalau peraturan presiden membentuk badan, ia tetap tidak bisa menjatuhkan sanksi. Peraturan presiden yang kita punyai membentuk badan itu adalah tentang Komisi Nasional Perempuan. Dia enggak punya mekanisme sanksi, maka fungsinya pemantauan.
Target presiden satu bulan menyusun peraturan presiden bisa dipenuhi?
Kami mesti tahu juga tata cara proses legislasi. Dewan Pers menyerahkan, tapi yang punya izin prakarsa Kementerian Komunikasi. Kalau izin prakarsa turun, bukan berarti peraturan presiden langsung ditandatangani. Nanti, dengan izin prakarsa itu, Kementerian akan mengundang para pihak membahasnya kembali.
Apa tantangan terbesar komunitas pers saat ini?
Pendaftaran ke Dewan Pers. Ini memang bukan rezim izin, tapi daftar. Dengan demikian, kita saling menjaga. Dewan Pers bisa melindungi teman-teman media dan sebaliknya.
Presiden Joko Widodo ditemani Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu (kanan) menghadiri Puncak Peringatan Hari Pers Nasional (HPN) Tahun 2023 di Gedung Serbaguna Pemerintah Provinsi Sumatra Utara, Deli Serdang, 9 Februari 2023. BPMI Setpres/Laily Rachev
Menjaga dari apa?
Banyak. Termasuk potensi gempuran ekonomi.
Tantangannya lebih banyak soal ekonomi atau kualitas jurnalistik?
Dua-duanya. Kontennya juga masih berantakan. Angka pengaduan makin tinggi. Pada 2022 ada 691 pengaduan. Bukan hanya soal jumlah. Kualitas pemberitaan yang dipersoalkan juga makin beragam.
Bagaimana pembagian keuntungan yang adil dari platform ke media bisa memperbaiki kualitas jurnalisme?
Minimal memberi perlindungan kepada kehidupan jurnalisnya. Perlindungan kepada jurnalis itu bukan hanya karena dipukuli orang, tapi kehidupan ekonominya, kesehatannya.
Ninik Rahayu
Tempat dan tanggal lahir: Lamongan, Jawa Timur, 23 September 1963
Pendidikan:
- S-1 Fakultas Hukum Universitas Jember
- S-2 Fakultas Hukum Universitas Airlangga
- S-3 Fakultas Hukum Universitas Jember
- Program Pendidikan Reguler Angkatan 52 Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas), 2014
Pekerjaan:
- Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, 2006-2009 dan 2010-2014
- Anggota Ombudsman RI, 2015-2021
- Tenaga profesional Lemhannas, 2021-sekarang
- Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang; dan Universitas Airlangga, Surabaya, Jawa Timur, 1987-sekarang
- Ketua Dewan Pers, 2022-sekarang
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo