Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KNESSET, parlemen Israel, kini sedang membahas rancangan undang-undang yang akan memasukkan UNRWA, badan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang menangani pengungsi Palestina, sebagai teroris dan mengusir mereka dari Negeri Yahudi. Bila hal itu benar-benar terjadi, ini pertama kalinya dalam sejarah badan PBB diusir oleh negara yang merupakan anggota badan dunia tersebut. Israel telah lama menganggap UNRWA sebagai duri dalam daging, terutama di tengah perang Hamas-Israel di Jalur Gaza sekarang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rencana itu memicu protes dari berbagai penjuru dunia. Qatar, Arab Saudi, Indonesia, Yordania, Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), Dokter Lintas Batas (MSF), Uni Eropa, serta sejumlah negara dan organisasi lain mengecamnya. “Israel saat ini berupaya melabeli UNRWA sebagai organisasi teroris dan Indonesia mengecam keras upaya ini,” kata Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi, Rabu, 5 Juni 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Tuduhan terhadap UNRWA terbukti salah dan upaya untuk mendiskreditkan badan tersebut secara politik telah gagal,” ujar Menteri Luar Negeri Yordania Ayman Safadi. Dia menyebut situasi kemanusiaan di Jalur Gaza sekarang sebagai “bencana besar”. “Pihak lain mana pun tidak bisa menggantikan peran UNRWA,” katanya, seperti dikutip Anadolu Agency.
Knesset, parlemen Israel, telah menerima rancangan undang-undang itu pada akhir Mei 2024 dan memerlukan tiga kali pembahasan sebelum bisa dinyatakan lolos. Rancangan itu diajukan oleh Yulia Malinovsky, anggota Knesset dari Yisrael Beiteinu, partai oposisi yang memiliki 6 dari total 120 kursi di parlemen. Malinovsky menuduh sekitar 190 pegawai UNRWA punya hubungan dengan Hamas dan mengklaim pasukan Israel telah menemukan contoh senjata Hamas tersimpan di fasilitas UNRWA di Gaza.
Dia mengklaim setidaknya 12 pegawai UNRWA berhubungan dengan serangan Hamas pada 7 Oktober 2023 dan ambil bagian dalam pembunuhan serta penculikan atas nama Hamas. “Tanpa keraguan, UNRWA terbukti terlibat dalam pembantaian 7 Oktober sebagai organisasi teroris dan tidak ada bedanya dengan organisasi teroris Hamas,” tulis Malinovsky dalam pengantar rancangan itu, seperti dikutip The Jerusalem Post.
Jonathan Fowler, Manajer Komunikasi Senior UNRWA, menilai ada suatu pola serangan terhadap UNRWA sekarang, dari serangan fisik hingga verbal, yang bertujuan membubarkan lembaganya. “Ada orang-orang di pemerintahan Israel dan bahkan para pendukungnya yang melihat UNRWA sebagai bagian dari masalah. Mereka ingin masalah pengungsi Palestina hilang dan mereka percaya bahwa, jika mereka menghapus UNRWA, masalah pengungsi Palestina juga akan hilang,” tuturnya kepada Tempo, Senin, 10 Juni 2024. “Tentu saja pandangan itu benar-benar tidak masuk akal.”
Majelis Umum PBB membentuk UNRWA pada 1949 dengan mandat khusus untuk memberikan bantuan kepada semua pengungsi akibat perang Arab-Israel pada 1948. Mandat itu diperbarui setiap tiga tahun dan tahun lalu telah diperpanjang lagi hingga 2026. Badan ini bekerja di lima kawasan, yakni Yordania, Libanon, Suriah, Jalur Gaza, dan Tepi Barat, termasuk Yerusalem Timur. Alasan mengapa mandat ini terus berlanjut, kata Fowler, adalah krisis pengungsi Palestina belum juga hilang.
UNRWA mempekerjakan 30 ribu staf lebih, yang kebanyakan warga Palestina. Mereka menangani semua kebutuhan pengungsi, dari kamp pengungsi, pendidikan, kesehatan, sanitasi, hingga layanan sosial. “Kami adalah salah satu lembaga terbesar karena kami memiliki peran yang sangat spesifik, yaitu memberikan layanan ala pemerintah kepada pengungsi Palestina. Tidak ada badan PBB lain yang melakukan hal tersebut,” ujar Fowler.
Fowler mengakui ada badan PBB lain yang bekerja di wilayah Palestina, seperti Dana Anak-anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (Unicef), Program Pangan Dunia, dan Kantor Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia, tapi jumlah stafnya jauh lebih kecil karena mereka tidak melakukan sebanyak apa yang UNRWA kerjakan. “Bila orang berkata 'Hapus UNRWA' dan sebagainya, itu tidak akan mungkin,” ucapnya.
Fowler mencontohkan peran lembaganya di Gaza. Di sana ada sekitar 13 ribu staf UNRWA. Ketika perang sekarang pecah, tinggal 3.500-4.000 staf. “Tidak ada badan PBB lain yang memiliki orang sebanyak itu dengan peran kemanusiaan terbesar di Gaza. Faktanya, jumlah staf PBB lain di Gaza tidak lebih dari 200 orang. Anda tidak bisa membandingkan 13 ribu atau bahkan 4.000 orang dengan 200 orang.”
Tekanan dan serangan terhadap UNRWA bukan sekali ini. Badan itu berkali-kali mendapat tekanan dari pemerintah dan warga Israel sejak dulu dan berpuncak pada perang kali ini. Gaza adalah contoh ekstrem serangan terhadap lembaga itu, yang mengakibatkan tewasnya 193 staf dan rusaknya 187 fasilitas UNRWA sejak perang dimulai.
Di Tepi Barat dan Yerusalem pun kerja UNRWA sering diganggu. Pergerakan staf badan itu dibatasi, misalnya dilarang masuk kawasan Yerusalem, tempat Kantor Lapangan UNRWA berada. Akibatnya, guru yang tinggal di Ramallah tak dapat bekerja di sekolahnya di Betlehem, Yerusalem, yang sebenarnya jarak tempuhnya dekat. Kadang mereka bisa tertahan di pos pemeriksaan sampai empat jam. Sekolah mereka bahkan pernah ditembaki dengan gas air mata.
Kantor UNRWA baru-baru ini juga didemonstrasi. Massa memukuli kendaraan mereka dan meludahi staf lembaga itu. Ada pula orang yang melempari batu ke arah karyawan dan gedung kantor mereka. Pada awal Mei 2024, bahkan ada yang berupaya membakar kompleks perkantoran UNRWA.
Izin kerja staf internasional UNRWA juga dipersulit. Menurut Fowler, mereka dulu mendapatkan visa dari Israel yang berlaku selama 12 bulan, tapi sekarang hanya untuk dua bulan dan itu pun harus menunggu selama lima bulan buat mendapatkannya. Bank Leumi, bank terbesar Israel, juga memblokir rekening UNRWA sejak Februari 2024 dengan alasan adanya transfer dana yang mencurigakan.
Salah satu serangan besar adalah ketika UNRWA dituduh terlibat dalam serangan Hamas ke Israel pada 7 Oktober 2023. Israel menuduh 19 staf UNRWA terlibat dalam serangan itu. Tuduhan itu membuat banyak negara menghentikan pendanaan mereka ke UNRWA dan sempat membuat badan tersebut goyah karena terancam tak bisa menjalankan kerja-kerja mereka, terutama di Palestina.
Kantor Layanan Pengawasan Internal PBB (OIOS), pengawas independen PBB, telah menyelidiki tuduhan itu, tapi sejauh ini tak terbukti. Menurut Fowler, seorang staf UNRWA dinyatakan bersih karena tak ada bukti seperti yang dituduhkan. Penyelidikan terhadap enam orang ditangguhkan karena tidak cukup bukti yang diberikan oleh otoritas Israel untuk melanjutkan penyelidikan. “Penyelidikan lain masih berjalan dan kami masih mengumpulkan informasi dan mencoba mendapatkan informasi dari Israel,” katanya.
Fowler menuturkan, kebanyakan tuduhan itu muncul di media dan media sosial. Ketika penyelidikan benar-benar dimulai dan mereka meminta bukti dari pihak Israel, ternyata bukti itu tidak ada. Menurut dia, tuduhan bahwa segelintir staf UNRWA terlibat Hamas dan kemudian Israel mengatakan seluruh UNRWA terinfeksi Hamas itu tidak proporsional. “Mohon maaf, 19 orang dari 30 ribu itu secara statistik (terlalu jomplang). Sekalipun tuduhan tersebut terbukti benar, hal ini masih merupakan anomali statistik,” ujarnya.
UNRWA menyatakan selalu tegas menegakkan netralitasnya, termasuk memastikan stafnya bersikap netral melalui sistem yang mereka bangun. Sejak 2022, OIOS telah menyelidiki 66 orang yang diduga melanggar netralitas, termasuk yang diduga mendukung Hamas atau kelompok lain. Tak semuanya terbukti dan sebagian penyelidikan masih berjalan. Namun 66 dari 30 ribu staf itu hanya 0,22 persen.
“Sama sekali tidak ada alasan untuk menggambarkan secara menyeluruh bahwa 'institusi secara keseluruhan' telah 'disusupi sepenuhnya'. Sebaliknya, persentase kecil tersebut menggarisbawahi bahwa sebagian besar staf UNRWA yang berdedikasi tinggi mematuhi prinsip-prinsip yang menjadi komitmen mereka ketika mereka bergabung dengan badan tersebut,” begitu menurut UNRWA dalam dokumen yang dirilis pada Mei 2024.
Netralitas itu juga mereka jaga saat mengelola sekolah-sekolah para pengungsi. Israel menuduh sekolah itu menggunakan buku pelajaran yang memakai materi yang menyokong terorisme dan mendorong kebencian terhadap Israel. Fowler mengklarifikasi bahwa mereka tidak menyediakan buku pelajaran itu.
“Di mana pun kami bekerja, buku-buku sekolah sebenarnya disediakan oleh pemerintah tuan rumah. Artinya, di wilayah Palestina kami menggunakan buku sekolah Otoritas Palestina. Kami tidak memproduksinya,” ujarnya.
Jika ada isi yang bermasalah di buku itu, kata Fowler, mereka memiliki sistem untuk mengajarkannya. UNRWA mempunyai pengajar yang ahli mengenai pemikiran kritis, hak asasi manusia, dan sebagainya. “Mereka akan mengadakan kelas yang mengajak siswa berpikir kritis dan analitis. Mengapa ini benar? Mengapa ini salah?”
Selain itu, Fowler melanjutkan, lembaganya tidak bertugas merekonsiliasi narasi-narasi yang berbeda di berbagai wilayah. Dia mengakui ada dua versi yang sangat berbeda tentang sejarah, geografi, dan semacamnya antara Palestina dan Israel.
“Jika Anda bersekolah di sekolah Israel, Anda akan mendengar cerita yang sangat berbeda dari sekolah Palestina. Hal itu tidak bisa dihindari,” tuturnya. “Kalau orang-orang tidak suka kepada apa yang diajarkan di sekolah ini karena tidak sesuai dengan narasi mereka, bukan tugas kami untuk mengubahnya.”
Setelah dihajar berbagai tekanan dan berkali-kali menangkisnya, kini UNRWA terancam diusir melalui rancangan undang-undang baru Israel. Menurut Fowler, masalahnya tidak sesederhana itu. “Kami mendapat mandat dari komunitas internasional untuk melakukan hal ini. Jadi tidak ada satu pun partai, satu pun pemain, satu pun pemerintahan, atau apa pun di kawasan ini yang bisa mengambil keputusan seperti ini,” ucapnya.
Pengusiran semacam itu, kata Fowler, melanggar norma dan hukum internasional. “Satu-satunya yang dapat mengubah mandat UNRWA di Palestina adalah Majelis Umum PBB sebagai badan dunia yang memberikan mandat tersebut pada 1949 dan belum dicabut hingga kini.”
Fowler menuturkan, hubungan UNRWA dengan Israel rumit karena Israel sebetulnya bukan negara tuan rumah. Negara itu adalah penguasa pendudukan Palestina yang berperan seolah-olah tuan rumah. Setelah Perjanjian Oslo I pada 1993 dan Perjanjian Oslo II pada 1995, wilayah Palestina terbagi dua antara wilayah Israel, wilayah Palestina, dan wilayah pendudukan Israel.
Status Gaza lebih rumit karena daerah itu dulu bagian dari Mesir. “Faktanya, saat kami bekerja di Tepi Barat, misalnya, kami sebagian bekerja di wilayah pendudukan Israel dan sebagian di wilayah yang dikendalikan oleh Otoritas Palestina. Jadi kami memiliki hubungan dengan kedua otoritas tersebut.”
Fowler menyebutkan otoritas Israel punya pandangan berbeda mengenai status wilayah di sana. Dia mencontohkan, kantor UNRWA di Yerusalem Timur itu mereka sewa dari Yordania sejak 70-an tahun lalu. Pada 30 Mei 2024, Badan Pertanahan Israel (ILA) memerintahkan UNRWA mengosongkan kantor itu dalam tempo 30 hari karena mereka berutang 27,1 juta shekel atau sekitar Rp 119 miliar atas penggunaan tanah Israel tanpa izin selama tujuh tahun.
“Kami mendapat sewa dari Yordania. Bagi kami, situasinya tidak berubah apa pun konstelasi politik dan penguasaan wilayah. Faktanya, kami berada di wilayah pendudukan dan kami masih memiliki hak sewa yang sah dari otoritas Yordania,” tutur Fowler. “Otoritas Israel tentu saja memiliki persepsi yang sangat berbeda mengenai hal itu dan kami ingin melihat apa yang akan terjadi ketika batas waktu 30 hari ini berakhir.”
Fowler menyatakan PBB sudah terbiasa dikritik dan mereka mendengarkan kritik itu. Mereka telah diserang secara fisik dan kini secara legal. “Saat ini kami sedang mempelajari apa yang sebenarnya terjadi di parlemen Israel karena rancangan undang-undang itu merupakan inisiatif anggota parlemen. Ia tidak disponsori oleh pemerintah atau semacamnya,” ujarnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Jalan Parlemen Bubarkan UNRWA"