Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Para peserta pelatihan “Hu---kum Humaniter Inter-na--sional dan Hukum Islam Terkait Konflik Bersenjata” menyimak dengan tekun pen-jelasan Ahmed al-Dawoody di Sura-baya, Rabu, 4 September lalu. Dalam sesi pertama ceramahnya, Penasihat Hukum Bidang Yurisprudensi dan Hukum Islam Komite Palang Merah Internasional (ICRC) ini menjelaskan prinsip-prinsip hukum Islam terkait dengan konflik bersenjata.
“Hukum humaniter internasional di--se-but juga hukum perang atau hukum konflik bersenjata. Dalam Islam dikenal sebagai fiqih al-siyar atau fiqih al-jihad,” kata Al-Dawoody di hadapan 43 dosen dan akademikus lain dari Indonesia, Malaysia, dan Filipina. Hukum humaniter yang di--maksud Al-Dawoody adalah wawasan ten-tang hukum perang modern yang tertuang dalam konvensi-konvensi Jenewa, yang menjadi patokan standar dalam perlakuan terhadap korban perang.
Al-Dawoody menerangkan, sesuai de--ngan hukum Islam, pihak-pihak yang ber-tikai dalam konflik bersenjata hanya dibolehkan menyerang lawan yang terlibat dalam perang. Perempuan, anak-anak, orang sepuh, pemuka agama, dan al-usafa sangat dilarang dijadikan sasaran. “Kelimanya prioritas karena disebut jelas dalam hadis,” ujar pria kelahiran Beheira, Mesir, 2 April 1973, tersebut.
Al-usafa merupakan bentuk jamak dari asif, yang artinya orang yang dipekerjakan. “Ketika zaman Nabi Muhammad dulu, mereka umumnya budak. Mereka bisa jadi membantu tentara musuh, tapi tidak ter-libat langsung dalam perang,” tutur Al-Dawoody. Pada era modern, mereka yang masuk kelompok ini antara lain petugas medis, petugas kemanusiaan, wartawan, juga juru masak.
Menurut Al-Dawoody, prinsip per-lin-dungan terhadap warga sipil dalam perang telah ada sejak zaman Rasulullah. “Ini me--nandakan nilai-nilai kemanusiaan ber-si-fat uni-ver-sal,” ucapnya. Sejak era Mu---ham--mad, pakar-pakar hukum Islam te--lah berdebat keras membahas soal atur-an hukum perang. Mereka, misalnya, melarang menyerang lawan saat malam dan menggunakan perisai manusia.
Sebelum bergabung dengan ICRC tiga tahun lalu, Al-Dawoody adalah asisten profesor dalam studi Islam dan hukum Islam di Al-Azhar University di Kairo. Dia juga pernah mengajar di Uni Emirat Arab, Amerika Serikat, Inggris, dan Swiss. Dia telah menerbitkan lebih dari dua lusin artikel tentang hukum Islam dan menulis buku Hukum Perang Islam—terjemahannya dalam bahasa Indonesia.
Di sela kesibukannya mengisi materi pe-latihan, Al-Dawoody menerima wartawan Tempo, Mahardika Satria Hadi dan Kukuh S. Wibowo. Selama hampir satu jam dia menjelaskan berbagai hal, dari peran ICRC dalam menengahi konflik bersenjata hingga pentingnya nilai-nilai kemanusiaan dalam perang.
Apa hubungan antara hukum Islam dan hukum humaniter internasional?
Hukum humaniter internasional di--buat untuk membatasi dampak konflik ber-senjata. Tujuannya melindungi war-ga sipil dan non-kombatan dengan me--ne-rapkan batasan pada penggunaan sen-jata dan taktik tertentu sehingga tidak ter-jadi pembunuhan massal. Perang seja-tinya diperbolehkan dan, ketika ber-tempur, Anda hanya boleh menyerang musuh. Sejak era awal Islam hingga abad ketiga peradaban Islam, kaum muslim, khususnya para ahli hukum Islam, telah mengembangkan peraturan rinci yang membahas hukum perang. Mereka me--nyebutnya siyar atau jihad.
Ada komponen dalam hukum humaniter internasional yang diadopsi dari hukum Islam?
Inti hukum humaniter internasional ada--lah empat konvensi Jenewa. Dalam kon-vensi-konvensi Jenewa ini, beberapa negara Islam hadir. Mereka tidak secara khusus membahasnya dari perspektif hukum Islam, tapi dari perspektif budaya atau peradaban. Sejumlah negara Islam, baik secara serius maupun berkelakar, pernah menyatakan bahwa hukum hu-ma-niter internasional sebenarnya disalin dari hukum Islam. Tapi, terlepas dari namanya, keduanya berbagi prinsip kemanusiaan yang sama.
Dengan berbagai konflik bersenjata yang sekarang terjadi, bagaimana Anda melihat hukum perang Islam?
Hukum Islam dikembangkan lebih dari 14 abad lalu, jadi tentu tidak mengatasi konflik yang kita hadapi sekarang karena situasi perang dan senjata yang berbeda. Tapi para ahli hukum Islam sejak era Nabi Muhammad memiliki keprihatinan yang sama dengan apa yang kita hadapi se--karang. Pertama, bagaimana membatasi peng-gunaan kekuatan agar tidak mem-bunuh warga sipil. Kedua, bagaimana me--ngarahkan serangan terhadap musuh dan sasaran militer karena Anda ingin me--menangi perang. Jadi ini skenario yang sangat sulit. Anda punya dua hal yang ber-beda dan menyeimbangkannya.
Yang terjadi sekarang, misalnya di Suriah dan Yaman, kita melihat banyak warga sipil menjadi korban.
Kami di ICRC tidak dapat merujuk pada konflik tertentu dengan menunjuk nama atau negara tertentu. Ini akan dilihat tidak sejalan dengan prinsip-prinsip im-par-sia-litas dan netralitas ICRC.
Lalu apa yang dilakukan ICRC?
Kami memastikan bahwa pihak-pihak yang terlibat konflik menghormati aturan perang. Ini tantangan yang tidak mudah ka-rena sebagian besar konflik sekarang ter-jadi di kota-kota. Dari sejumlah penelitian, sebanyak 92 persen korban perang adalah warga sipil.
Bagaimana Anda melakukannya?
Kami mendekati semua pihak dalam konflik tanpa diskriminasi, entah itu negara entah kelompok bersenjata non-negara. Kami mendekati semua pihak untuk mem-beri tahu secara rahasia bahwa apa yang Anda lakukan salah, itu bertentangan dengan hukum humaniter internasional, dan inilah yang harus dilakukan.
Bagaimana respons mereka?
Beberapa dari mereka menanggapinya. Bagi mereka, ini kewajiban moral bahwa, jika menghormati hukum, mereka akan dihormati masyarakat internasional. Ba--nyak di antara mereka tidak ingin dilihat se-bagai teroris, melainkan pejuang ke--be-basan. Tidak ada orang yang menggunakan kekerasan dan melihat diri mereka sebagai teroris. Mereka pasti menganggap diri me-reka benar.
Bisakah Anda menyebutkan beberapa dari mereka, mungkin Al-Qaidah?
Kami berinteraksi dengan banyak ke--lompok bersenjata non-negara, tapi saya tidak bisa menyebutkan nama. Sebab, jika tidak berbicara dengan mereka, An-da memberi mereka lampu hijau un-tuk berbuat apa pun yang mereka ingin-kan. Jadi yang Anda lakukan ada-lah berkomunikasi dengan mereka, ber-dis-kusi, dan meyakinkan mereka agar me-ngem-bangkan norma mereka sendiri.
Norma seperti apa?
Taliban, misalnya, sejak bertahun-tahun lalu telah membuat semacam kode etik yang disebut Layeha. Setiap anggota mengantonginya. Isinya semacam instruksi tentang apa saja yang harus mereka lakukan dan yang tidak boleh dilakukan. Ini sebuah contoh. Beberapa kelompok bersenjata lain juga memiliki kode etik serupa, misalnya tidak membunuh warga sipil atau menyerang pekerja medis dan organisasi kemanusiaan.
Banyak kelompok radikal Islam yang mengatasnamakan jihad dalam perlawanan mereka.
Jihad adalah istilah yang paling banyak disalahpahami dalam konteks perang suci. Istilah jihad secara harfiah berarti “upaya”. Tapi, jika berbicara tentang jihad sebagai alasan sah untuk pergi berperang, apakah yang kita maksudkan perang defensif atau perang ofensif? Berdasarkan kajian sejarah dalam Al-Quran, jihad yang dimaksud adalah perang defensif. Sebagian besar umat Islam setuju dengan versi ini. Tapi memang ada ruang interpretasi lain yang selalu menghubungkan jihad dengan perang suci.
Simbol Palang Merah sempat memicu kontroversi di Indonesia karena oleh sebagian orang dianggap sebagai lambang salib. Bagaimana tanggapan Anda?
Ini kesalahpahaman utama di sebagian besar negara muslim. Banyak orang di dunia muslim berpikir lambang ICRC dikaitkan dengan agama Kristen, organisasi Kristen, atau lembaga misionaris. Padahal ide di balik lambang Palang Merah adalah untuk menghormati pendiri ICRC, Henry Dunant, yang berasal dari Swiss. Emblem ICRC adalah versi kebalikan bendera Swiss, yang berwarna merah dengan salib putih. Seperti organisasi kemanusiaan Bulan Sabit Merah, yang simbolnya versi kebalikan bendera Turki.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo