Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

internasional

Jejak Hitam Penyokong Genosida Rohingya

Tim Pencari Fakta Perserikatan Bangsa-Bangsa mengungkap jaringan bisnis militer yang membantu operasi pembersihan etnis Rohingya. Menyerukan embargo penjualan senjata ke negeri itu.

7 September 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di bawah bayang-bayang ancaman peradilan pidana internasional, militer Myanmar mengumumkan rencana penyelidikan dan pengadilan militer untuk personelnya yang melanggar hak asasi manusia terhadap warga Rohingya di Negara Bagian Kachin. Mereka diduga telah membunuh 400 warga muslim Rohingya. Juru bicara militer, Tun Tun Nyi, tak bersedia berkomentar tentang temuan tim penyelidik itu. “Kami tidak punya hak mengetahuinya,” kata Tun Nyi kepada Reuters, Ahad, 1 September lalu.

Tatmadaw—sebutan bagi militer Myan-mar—sedang disorot dunia internasional karena dianggap paling bertanggung ja-wab atas kekejaman terhadap warga Ro-hing-ya di Negara Bagian Rakhine. Lebih dari 730 ribu penduduk muslim Rohingya melarikan diri dari perang yang dipimpin militer sejak 2017 di sana. Perserikatan Bangsa-Bangsa menyebut tindakan mili-ter itu sebagai pemusnahan etnis alias genosida.

Langkah baru militer ini ditanggapi skeptis. Human Rights Watch menilai lang-kah itu tidak memadai. “Peradilan militer ini terlihat seperti permainan lain untuk mengalihkan perhatian internasional de--ngan mengorbankan beberapa kambing hitam di tingkat rendah,” ujar Phil Ro--bertson, Wakil Direktur Divisi Asia Human Rights Watch.

Tim Pencari Fakta (TPF) Dewan Hak Asasi Manusia PBB untuk Myanmar me--nya-takan langkah militer itu tidak akan menghentikan proses yang se--dang ber-jalan. Ketua TPF, Marzuki Da--rus-man, me--ngatakan timnya sedang me--ngum-pul-kan bahan untuk pemberkasan penuntutan genosida terhadap Panglima Militer Myan-mar Jenderal Senior Min Aung Hlaing dan sejumlah jenderalnya. “Sudah ditemukan adanya pola pelanggaran genosida yang tidak semata-mata terbatas pada perbuatan satu-dua orang,” tutur Marzuki, Kamis, 5 September lalu.

Temuan terbaru TPF adalah soal bisnis militer Myanmar yang terkait dengan pem-bersihan etnis. Investigasi ini mengikuti rekomendasi yang dibuat tim ahli Dewan HAM PBB setelah ada laporan tentang bagaimana angkatan bersenjata Myanmar secara brutal melanggar hak asasi manusia terhadap kelompok etnis di seluruh negeri. Laporan 2018 itu berfokus pada “operasi pembersihan” terhadap penduduk Ro-hingya di Negara Bagian Rakhine, yang di--mulai pada 25 Agustus 2017, ketika pasukan keamanan membunuh ribuan warga sipil Ro--hingya, memerkosa dan melecehkan istri dan gadis, serta membakar desa mereka.

TPF bekerja selama delapan bulan untuk mengumpulkan bahan laporan tentang bisnis militer ini. Hasilnya diumumkan pada 5 Agustus lalu. Laporan setebal 111 halaman berjudul “The Economic Interests of the Myanmar Military” itu menyebutkan peran penting dua perusahaan, Myanmar Economic Holdings Limited (MEHL) dan Myan-mar Economic Corporation (MEC). Ke--duanya dimiliki dan dikontrol para pe-mimpin militer senior Myanmar, termasuk Jenderal Senior Min Aung Hlaing dan Wakil Panglima Jenderal Senior Soe Win.

MEHL dan MEC tercatat memiliki seti-daknya 120 bisnis yang terlibat dalam segala hal, dari konstruksi, farmasi, ma-nu-faktur, asuransi, pariwisata, hingga per-bankan. Kedua perusahaan itu, bersama setidaknya 26 anak usaha mereka, me--mi-liki lisensi penambangan batu giok dan mirah di Negara Bagian Kachin dan Shan. TPF menemukan pelanggaran hak asasi manusia dan hukum humaniter in--ter-nasional, termasuk kerja paksa dan kekerasan seksual, dilakukan oleh Tat-madaw di Myanmar utara terkait dengan kegiatan bisnis mereka.

Jumpa pers tim pencari fakta kasus Rohingya di Jenewa, Swiss, Agustus 2018./Reuters/Denus Balibouse

Laporan itu menyebutkan pendapatan yang diperoleh militer dari transaksi bisnis domestik dan asing meningkatkan kemampuan mereka untuk melakukan pe-langgaran hak asasi manusia berat dengan impunitas. Laporan itu juga menyatakan militer Myanmar menggunakan bis-nis sendiri, perusahaan asing, dan kese-pa--katan pengiriman senjata untuk men-dukung operasi brutal terhadap Rohingya. Dari banyak perusahaan, laporan tim me--nyebutkan dua perusahaan yang dianggap punya kontribusi cukup besar: KBZ Group dan Max Myanmar.

KBZ Group adalah perusahaan swasta yang sebagian sahamnya dimiliki Aung Ko Win, pengusaha terkemuka yang di--kenal punya hubungan dengan militer. Perusahaan ini bergerak di bidang per-tambangan, perbankan, keuangan, pener-bangan, asuransi, manufaktur, pertanian, real estate, perdagangan, kesehatan, dan pariwisata. Adapun Max Myanmar pe--rusahaan swasta yang bergerak di bidang yang mirip dengan KBZ. Laporan TPF me-nyebut keduanya sebagai perusahaan kroni militer.

KBZ dan Max Myanmar diidentifikasi me-nyumbangkan dana kepada Union En-terprise for Humanitarian Assistance, Re-settlement and Development in Rakhine (UEHRD), badan yang diketuai Penasihat Negara Aung San Suu Kyi dengan  Menteri Kesejahteraan Sosial, Bantuan, dan Pe--mu-kiman Kembali Win Myat Aye sebagai wakilnya. UEHRD adalah badan kemitraan publik-swasta untuk menerapkan kebi-ja-kan pemerintah di Rakhine. Badan ini di-bentuk sebagai respons terhadap kecaman inter-nasional yang meluas atas “operasi pem-bersihan” terhadap Rohingya yang dimulai pada 2017 di Negara Bagian Rakhine utara.

Selain diniatkan untuk memberikan ban-tuan kemanusiaan kepada populasi yang terkena dampak kekerasan dan mem-fasilitasi kembalinya pengungsi Rohingya dari Bangladesh, UEHRD membentuk Satuan Tugas Pembangunan Infrastruktur dan Konstruksi untuk merenovasi ba-ngun-an dan membuat konstruksi baru. Namun TPF menilai proyek-proyek pembangunan ini tidak memberikan manfaat bagi orang-orang Rohingya.

Bantuan KBZ dan Max Myanmar di--be-rikan dalam upacara yang diadakan di Nay Pyi Taw pada 20 Oktober 2017. Saat itu sejumlah pemilik perusahaan ber-janji memberikan hampir US$ 13,5 juta kepada UEHRD untuk rekonstruksi jalan yang melewati desa-desa yang hancur dalam operasi pembersihan pada 2017, pem-bangunan lokasi kamp interniran untuk warga Rohingya yang akan kembali, serta pembangunan pagar perbatasan antara Myanmar dan Bangladesh.

Menurut Frontier Myanmar, proyek pem-bangunan pagar perbatasan ini dikerjakan untuk meningkatkan pagar perbatasan sepanjang 273 kilometer antara Myanmar dan Bangladesh, yang sekitar 210 kilometer sudah dipagari. Pemerintah mengatakan sisanya akan segera dipagari.

KBZ Group mendonasikan US$ 2,2 juta melalui UEHRD untuk pembangunan pagar. KBZ juga menyumbangkan US$ 2.477.857 kepada komandan tertinggi Tat-madaw, Jenderal Senior Min Aung Hlaing, pada 1 dan 10 September 2017. Adapun Max Myanmar menyumbangkan US$ 654 ribu kepada UEHRD dalam acara penggalangan dana. Max juga memberikan sumbangan US$ 976.853 untuk Aung Hlaing dalam peng-galangan dana pada 1 dan 21 September 2017.

Min Aung Hlaing mengatakan peng-ga-langan dana ini ditujukan untuk mengatasi masalah Bengali—sebutan untuk Ro-hing-ya. Nyo Myint, pejabat KBZ Group, me-ngatakan kepada seorang jurnalis bahwa sumbangannya bagi pembangunan pagar dimaksudkan untuk berkontribusi dalam mencegah “migrasi ilegal”.

Adanya sumbangan dan pemanfaatannya membuat TPF memiliki alasan kuat untuk menyimpulkan bahwa pejabat KBZ Group dan Max Myanmar harus diselidiki secara pidana dan dituntut karena memberikan kontribusi yang substansial dan langsung atas kejahatan terhadap kemanusiaan. Bagi Marzuki Darusman, operasi pembersihan oleh militer Myanmar menjadi indikasi kuat untuk mengenyahkan Rohingya. Pem-bangunan pagar perbatasan itu menjadi bukti tak terbantahkan bahwa mereka tak ingin Rohingya kembali.

TPF mendesak komunitas internasional memutuskan hubungan dengan pe-ru-sa-haan yang berbisnis dengan militer Myan-mar karena keuntungannya dipakai untuk operasi militer terhadap Rohingya. “Para pejabat perusahaan-perusahaan ini harus diselidiki dengan penuntutan pidana ka-rena memberikan kontribusi besar dan langsung kepada komisi kejahatan di bawah hukum internasional, termasuk kejahatan terhadap kemanusiaan,” ucap anggota tim ahli TPF, Chris Sidoti, dalam siaran persnya.

Selain itu, TPF menyerukan embargo penjualan senjata ke Myanmar. Setidaknya 14 perusahaan asing dari tujuh negara telah memasok jet tempur, kendaraan lapis baja, kapal perang, peluru kendali, dan peluncur rudal ke Myanmar sejak 2016. Selama periode itulah militer melakukan berbagai pelanggaran hak asasi manusia secara sistematis terhadap warga sipil di Kachin, Shan, dan Rakhine.

ABDUL MANAN (REUTERS, CHANNEL NEWS ASIA, FRONTIER MYANMAR)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus