Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KINI junta militer Myanmar terus menghadapi perlawanan keras di berbagai daerah, terutama di wilayah-wilayah perbatasan dengan negara tetangga seperti Cina, India, dan Thailand. United States Institute of Peace (USIP), lembaga penelitian independen yang didanai Kongres Amerika Serikat, mencatat, sejak 27 Oktober lalu, kelompok-kelompok perlawanan bersenjata telah merebut sejumlah penyeberangan perbatasan strategis dan mengusir Tatmadaw, militer Myanmar, dari 150 pos lebih. Ini merupakan kemunduran terbesar junta setelah kudeta militer pimpinan Jenderal Senior Min Aung Hlaing pada 1 Februari 2021.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Pihak militer tampaknya berada di tengah-tengah krisis eksistensial dan belum mampu merespons secara efektif selain mengebom sasaran-sasaran sipil, seperti yang kita lihat dilakukan Rusia di Ukraina, tentaranya membelot ke oposisi dan jumlahnya mencapai ratusan, situasi saat ini sudah menjadi sangat cair. Dan kemungkinan besar hal ini akan menyebabkan guncangan dalam kepemimpinan militer,” kata Priscilla Clapp, penasihat senior USIP, dalam siniar lembaga itu pada Senin, 20 November lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Yang mendorong perkembangan luar biasa ini adalah koordinasi antaretnis yang belum pernah terjadi di antara tiga kelompok milisi etnis dan Pasukan Pertahanan Rakyat (PDF), milisi bentukan Pemerintah Persatuan Nasional (NUG). Operasi perlawanan pada 27 Oktober lalu itu, yang disebut Operasi 1027, dipimpin Tentara Aliansi Demokratik Nasional Myanmar (MNDAA), yang membentuk aliansi Tiga Persaudaraan dengan dua kelompok bersenjata utama lain, yakni Tentara Arakan dan Tentara Pembebasan Nasional Ta’ang (TNLA).
MNDAA adalah kelompok bersenjata yang telah lama menguasai wilayah Kokang sebelum disingkirkan Tatmadaw pada 2009. Kini MNDAA kembali, bersekutu dengan Tentara Negara Bersatu Wa, dan membangun hubungan dengan Tentara Kemerdekaan Kachin (KIA) sehingga punya ruang strategis untuk beroperasi dan membangun kapasitasnya di seluruh Myanmar utara.
Operasi 1027 berhasil menguasai lebih dari 100 pos militer di sepanjang perbatasan Cina di Negara Bagian Shan Utara dan menguasai kota-kota perbatasan utama serta pos pemeriksaan di sepanjang jalur perdagangan utama Cina ke Mandalay. “Junta kini berada di ambang kehilangan kendali atas penyeberangan perbatasannya yang paling penting, yang mewakili lebih dari 40 persen perdagangan lintas batas yang penting bagi pendapatan pajak,” ujar Priscilla Clapp.
Tentara militer Myanmar yang ditangkap selama pertempuran di Loikaw, Myanmar, 15 November 2023. Angkatan Pertahanan Kebangsaan Reuters/Karenni
Pertempuran di perbatasan itu membuat Cina angkat bicara. Kementerian Luar Negeri Cina meminta pihak-pihak terkait melakukan gencatan senjata dan menghentikan pertempuran sesegera mungkin. “Cina meminta pihak-pihak terkait menyelesaikan perbedaan secara damai melalui dialog dan konsultasi, menghindari peningkatan insiden, dan mengambil langkah-langkah konkret dan efektif untuk menjamin keamanan dan stabilitas perbatasan Cina-Myanmar,” tutur juru bicara Kementerian Luar Negeri Cina, Mao Ning, dalam konferensi pers pada 27 Oktober lalu.
Ketua Tim Informasi Dewan Administrasi Negara (SAC) dan Wakil Menteri Penerangan Myanmar, Mayor Jenderal Zaw Min Tun, menuding USIP menyebarkan informasi palsu untuk menghasut Cina dan Myanmar dalam konflik di Negara Bagian Shan. “Kita dapat melihat organisasi-organisasi tersebut, terutama media yang didukung blok Barat, berupaya memicu terjadinya kesalahpahaman antara Cina dan Myanmar mengenai konflik di bagian timur laut Negara Bagian Shan dengan berbagai cara. Karena itu, semua orang perlu memperhatikan upaya ini,” ujarnya sebagaimana dikutip Global New Light of Myanmar pada Jumat, 1 Desember lalu.
Namun junta sudah khawatir terhadap perlawanan kelompok etnis bersenjata ini. Bahkan penjabat Presiden Myanmar, U Myint Swe, mengatakan, jika pemerintah tidak secara efektif menangani insiden yang terjadi di wilayah perbatasan, Myanmar akan terpecah menjadi beberapa bagian. “Stabilitas dapat dipulihkan sampai batas tertentu berkat pengorbanan nyawa Tatmadaw dalam tugas pertahanannya,” katanya dalam rapat Dewan Pertahanan dan Keamanan Nasional di Naypyitaw, 8 November lalu.
David Scott Mathieson, analis independen mengenai Myanmar yang berbasis di Asia Tenggara, menilai situasi ini sebagai kemunduran bagi junta. “Hampir bisa dipastikan junta sedang mengalami kemunduran yang parah. Mereka tidak mempunyai sedikit pun legitimasi pada hari mereka melancarkan kudeta dan sama sekali tidak mampu memperoleh legitimasi domestik dan internasional. Mereka juga telah kehilangan kemampuan untuk memerintah secara efektif karena ketidakmampuan dan korupsi, dan perlawanan bersenjata sebagian besar, tapi tidak selalu, menggunakan pendekatan perang yang adil terhadap perlawanan bersenjata,” ujarnya pada Kamis, 30 November lalu.
Mathieson menilai hilangnya wilayah dari penguasaan junta belakangan ini adalah hasil tindakan yang lebih terkoordinasi di antara berbagai kelompok bersenjata, juga perjuangan panjang kelompok bersenjata dan pendukungnya di tempat seperti Karenni, Karen, Arakan, Chin, dan Kachin. “Alasan utama meluasnya perlawanan bersenjata adalah kebrutalan militer yang telah membunuh ribuan warga sipil, membakar hampir 80 ribu rumah dan bangunan, serta membuat lebih dari 2 juta warga sipil mengungsi," ucapnya.
"Singkatnya, banyak orang di Myanmar percaya bahwa satu-satunya pilihan yang layak untuk perdamaian di masa depan adalah mencabut militer dari kekuasaan politik di masa depan dan menyingkirkan mereka dari semua bidang ekonomi dan sosial,” ujar Mathieson.
Ada pandangan bahwa hilangnya kendali Tatmadaw ini akan membuat Myanmar terbelah-belah dan dikuasai setiap kelompok bersenjata. Mathieson menilai komposisi politik negara di masa depan tidak mungkin diprediksi saat ini. “Yang pasti adalah banyaknya inovasi perencanaan dan tindakan yang dilakukan oleh berbagai kelompok menunjukkan federalisme bottom-up kemungkinan besar akan menjadi model pergerakan di banyak bagian negara itu untuk maju,” katanya.
Model-model pemerintahan, seperti konfederasi atau subsidiaritas (delegasi ke tingkat lokal), tutur Mathieson, telah bergabung dengan federalisme sebagai cara baru untuk memahami unit-unit politik masa depan, yang merupakan gabungan dari pendekatan-pendekatan berbeda terhadap pemerintahan di tingkat negara bagian.
“Bagaimana hal ini akan berkembang setelah SAC jatuh masih bersifat spekulatif. Tapi, berdasarkan apa yang telah terjadi, kemungkinan besar akan ada banyak daerah kantong semiotonom yang bekerja sama dengan negara pusat," ujarnya. "Hal ini memerlukan negosiasi yang intensif dan penerimaan bahwa model-model yang berbeda harus ditoleransi selama model-model tersebut bertindak secara damai untuk mencapai visi lokal mengenai perdamaian dan pembangunan.”
Justice For Myanmar, kelompok bawah tanah yang memperjuangkan terbentuknya federasi Myanmar, menilai kekalahan Tatmadaw belakangan ini sebagai hasil perlawanan rakyat Myanmar yang ingin bebas dari kediktatoran militer. “Perlawanan massa yang terus berlanjut menunjukkan keinginan rakyat Myanmar untuk membangun demokrasi federal dan membubarkan militer,” kata Yadanar Maung, juru bicara Justice For Myanmar, pada Kamis, 30 November lalu.
Menurut Yadanar, junta kini tidak memiliki kendali yang efektif dan bukan merupakan pemerintah Myanmar. Dia mengkritik ASEAN yang terus melibatkan dan melegitimasi junta dalam berbagai pertemuan. “Pemerintah Indonesia dan ASEAN harus mengakhiri pendekatan mereka yang gagal dan berpihak pada rakyat Myanmar, mengakui Pemerintah Persatuan Nasional sebagai pemerintah yang sah dan mengambil langkah nyata untuk memblokir akses junta terhadap dana, senjata, dan bahan bakar jet,” ujarnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Setelah Operasi 1027"